Senin, 19 Desember 2016

Pernikahan Wanita Hamil Zina dan Status Anak



Ada dua macam wanita hamil. Hamil oleh suami dan hamil karena berzina. Wanita yang hamil oleh suaminya, kemudian dia bercerai, maka tidak boleh menikah dengan lelaki lain kecuali setelah melahirkan. Adapun wanita yang hamil karena zina maka menurut sebagian ulama boleh menikah dengan laki­laki yang menghamilinya maupun dengan lelaki lain.

Pendapat yang membolehkan/mengesahkan pernikahan semacam itu Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak zina karena tidak ada nasab (keturunan). Berikut keterangan dari kitab-­kitab:

1.     Mazhab Syafi'i ­ As­Syairazi dalam Al­Muhadzab 2/113, menyatakan:
وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ
Artinya: Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya. ­

2.     Ba alwi dalam Bughyatul Musytarsyidin halaman 201, menyatakan:
(مَسْأَلَةُ ش)
 وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ
Artinya: Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh laki­laki yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh. ­

3.     Al­Jazari dalam Al­Fiqh ala Madzahibil Arbaah juz 4/533 menyatakan:
أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى
Artinya: Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii. ­

Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu : (1). Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya, (2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya, dan (3). Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga diperkuat oleh beberapa hadits, yaotu sebagai berikut:

Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An­Nasa'i).

Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang­orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim).

Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki­laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri.

Status Anak Zina yang Ibunya Menikah dengan Ayah Biologisnya

Status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah­­berarti usia kandugan sekitar 3 bulan saat menikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan­­berarti usia kandungan lebih dari 3 bulan saat menikah, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar­benar dari darah dagingnya.

Kesimpulan: hukum pernikahan A dan B sah dan tidak perlu diulang. Dan status C (anak yang dikandung sebelum menikah) juga sah menjadi anak kandung A baik secara biologis dan syariah. Namun jika si jabang bayi C lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar­benar dari darah dagingnya. A juga boleh menjadi wali dari D (anak kedua) karena berasal dari pernikahan yang sah dengan B.

0 komentar:

Posting Komentar