Ada dua macam wanita hamil. Hamil oleh suami
dan hamil karena berzina. Wanita yang hamil oleh suaminya, kemudian dia
bercerai, maka tidak boleh menikah dengan lelaki lain kecuali setelah
melahirkan. Adapun wanita yang hamil karena zina maka menurut sebagian ulama
boleh menikah dengan lakilaki yang menghamilinya maupun dengan lelaki lain.
Pendapat yang membolehkan/mengesahkan
pernikahan semacam itu Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini
tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada
anak zina karena tidak ada nasab (keturunan). Berikut keterangan dari kitab-kitab:
1. Mazhab
Syafi'i AsSyairazi dalam AlMuhadzab 2/113, menyatakan:
وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا
لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ
Artinya: Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya
kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud
dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya.
2. Ba alwi dalam Bughyatul
Musytarsyidin halaman 201, menyatakan:
(مَسْأَلَةُ ش)
وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى
وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ
Artinya: Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh lakilaki
yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari
zina tersebut adalah makruh.
3. AlJazari dalam AlFiqh
ala Madzahibil Arbaah juz 4/533 menyatakan:
أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ
فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ
حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى
Artinya: Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak
ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan
halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut
pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii.
Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin
Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut
berisi tiga (3)
ayat, yaitu : (1).
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya, (2). Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dulu kelahiran anaknya, dan (3).
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh
pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang
dihamilinya. Juga diperkuat oleh beberapa hadits, yaotu sebagai berikut:
Dari Aisyah ra berkata,
"Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan
seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya
perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan
yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
Seseorang bertanya kepada Rasulullah
SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab,
"Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku."
"Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan AnNasa'i).
Dimasa lalu seorang bertanya kepada
Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku
diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya,
namun orangorang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina
tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas
berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa
maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim).
Ibnu Umar ditanya tentang seorang lakilaki
yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar
menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri.
Status Anak Zina yang
Ibunya Menikah dengan Ayah
Biologisnya
Status anak, menurut sebagian ulama, jika
anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikahberarti usia kandugan sekitar 3
bulan saat menikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya
tanpa harus ada ikrar tersendiri. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan
keenam setelah pernikahanberarti usia kandungan lebih dari 3 bulan saat
menikah, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan
secara tegas bahwa si anak memang benarbenar dari darah dagingnya.
Kesimpulan: hukum pernikahan A dan B sah dan
tidak perlu diulang. Dan status C (anak yang dikandung sebelum menikah) juga
sah menjadi anak kandung A baik secara biologis dan syariah. Namun jika si
jabang bayi C lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnya
dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si
anak memang benarbenar dari darah dagingnya. A juga boleh menjadi wali dari D
(anak kedua) karena berasal dari pernikahan yang sah dengan B.
0 komentar:
Posting Komentar