A.
Rasulullah SAW Meninggalkan Umatnya
Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan surat wasiat kepada seseorang untuk
meneruskan kepemimpinannya (kekhalifahan). Sekelompok orang berpendapat bahwa
Abu Bakar lebih berhak atas kekhalifahan karena Rasulullah meridhainya dalam
soal-soal agama, salah satunya dengan meminta mengimami shalat berjamaah selama
beliau sakit. Oleh karena itu, mereka menghendaki agar Abu Bakar memimpin
urusan keduniaan, yakni kekhalifaan. Kelompok yang lain berpendapat bahwa orang
yang paling berhak atas kekhalifaan ialah dari Ahlul bait Rasulullah SAW, yaitu
Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abu Thalib. Selain itu, masih ada sekelompok
lain yang berpendapat bahwa yang paling berhak atas kekhalifaan ialah salah
satu seorang kaum Quraisy yang termasuk dalam kaum Muhajirin gelombang pertama.
Kelompok lainnya berpendapat, bahwa yang paling berhak atas kekhalifaan ialah
kaum Anshar.
Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi tegang. Padahal
semasa hidupnya, nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati
yang kokoh diantara sesame pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis
suksesi itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras terhadap perebutan
kepemimpinan ini; Anshar. Muhajirin, dan keluarga Hasyim. Dalam pertemuan
dibalai pertemuan Bani Saidah di Madinah, kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah,
permuka Kazraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin mendesak Abu Bakar
sebagai calon mereka karena dipandang paling layak untuk menggantikan nabi. Di
pihak lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib,
karena nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, di samping
Ali adalah menantu dan kerabat nabi.
Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus nabi. Namun
berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan
Abu Ubaidah bin Jarrah yang dengan melakukan semacam kudeta (coup d’etat)
terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai deputi nabi.4 Besar
kemungkinan tanpa intervensi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama
bagi hari depan komunitas muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya
besar. Dengan semangat ukhuwah Islamiyah, terpilihlah Abu Bakar, Ia adalah
orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal karena sejak pertama menjadi
pendamping nabi, ia sahabat yang paling memahami risalah Muhammad, bahkan ia merupakan
kelompok as-sabiqun al-awwalun yang memperoleh gelar Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Abu Bakar bergelar “Khilafah Rasulillah” atau Khalifah. Meskipun dalam
hal ini perlu di jelaskan bahwa kedudukan nabi sesungguhnya tidak akan pernah
tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang menerima ajaran Tuhan sesudah
Muhammad.Sebagai penyampai wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan yang
tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul (khalifah) hanyalah
perjuangan nabi.
Sepeninggal Rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin
yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar dari
sang Guru Agung bagi kemajuan Islam dan umatnya. Oleh karena itu, gelar Al-Khulafa
Ar-Rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka.
B.
Al-Khulafa Ar-Rasyidin
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di
zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi
Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar
karena pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelar
AAsh-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam
berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj. Seringkali mendapingi rasulullah di
saat penting atau jika berhalangan, RAsulullah mempercayainya sebagai pengganti
untuk menangani tugastugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan
actual di Madinah. Pilihan umat terhadap tokoh ini sangatlah tepat.
Hal menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari
setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu
Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan Strategi meraih keberhasilan tertinggi
bagi umat sepeninggal Rasulullah. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari
pidato Abu Bakar yang terkenal itu: “Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk
mengendalikan urusanmu,padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka
jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku,
tetapi jika aku nerlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat,
aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan
orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan
haknya kepadanya. Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya,
kamu tidak perlu mematuhiku”.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang
dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul
akibat wafatnya nabi. Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran
dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas tugas mulia nabi. Ia menyadari
bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang besatu ini, yang
pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan nabi
yang hamper tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di
bawah pimpinan Usamah. Hal tersebut dilakukan untuk membalaspembunuhan ayahnya,
Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Sebagian
sahabat menetang kersa rencana ini, tetapi
khalifah tidak peduli. Nyatanya ekpedisi itu sukses dan membawa pengaruh positif
bagi umat Islam, khususnya di dalam membangkitkan kepercayaan diri mereka yang
nyaris pudar.
Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim.
Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad, yaitu keluar
dari Islam. Mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan baiat kepada
khalifah yang baru dan bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap
bahwa perjanjianperjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal
disebabkan kematian nabi. Maka tidaklah mengherankan dengan banyaknya suku Arab
yang melepaskan diri dari ikatan agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang baru
memasuki Islam. Belum cukup waktu bagi nabi dan para sahabatnya untuk mengajari
mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam. Memang suku-suku Arab dari
padang pasir yan jauh itu telah datang kepada nabi dan mendapatkan kesan
mendalam tentang Islam, tetapi mereka hanyalah setitik air di samudera. Di
dalam waktu beberapa bulan tidaklah mungkin bagi nabi dapat mengatur pendidikan
atau pelatihan yang efektif untuk masyarakat yang tersebar di wilayah-wilayah
yang sangat luas dengan saran komunikasi yang sangat minim pada saat itu.
Mereka melakukan Riddah, yaotu gerakan pengingkaran terhadap Islam.Riddah
berarti murtad, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara
politis merupakan pembangkangan (distortion) terhadap lembaga khalifah.
Sikap mereka adalah perbuatan maker yang melawan adama dan pemerintah
sekaligus. Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan
terhadap mereka, Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak
mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut
kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nnabi-nabi palsu
dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Selama tahun-tahun terakhir kehidupan nabi SAW, telah muncuk nabi-nabi palsu
di wilayah Arab bagian selatan dan tengah. Yang pertama mengaku dirinya
memegang peran kenabian muncul di Yaman, ia bernama Aswan Ansi. Berikutnya
ialah Musailamah Al-Kadzab, yang menyatakanbahwa Nabi Muhammad telah mengangkat
dirinya sebagai mitra (partner) di dalam kenabian. Penganggap lainnya
adalah Tulaihah dan Sajjah Ibnu Haris, seorang wanita dai Arab Tengah. Adapun
orang-orang yang tidak mau membayar zakat, di antaranya
karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak
yang dipaksakan penyerahannya ke perbendaharaan pusat di Madinah yang sama
artinya dengan ‘penurunan kekuasaan’; suatu sikap yang tidak sesuai oleh
suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang independen. Alasan
lainnya ialah – dan ini menempati golongan terbesar – disebabkab karena kesalahan
memahami ayat Alquran yang menerangkan mekanisme pemungutan zakat (Surah
At-Taubah: 301). Mereka menduga bahwa hanya nabi yang berhak memungut zakat,
dengan itu kesalahan seseorang dapat dihapuskan dan dibersihkan.
Penumpasan terhadap orang-orang murtad dan para pembangkang tersebut
terutama setelah mendapat dukungan dari suku Gatafan yang kuat ternyata banyak
menyita konsentrasi khalifah, baik secara moral maupun politik. Situasi
keamanan Negara Madinah menjadi kacau sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali
Umar yang dikenal keras menganjurkan bahwa dalam keadaan yang sangat kritis
lebih baik jika mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap ini khalifah menjawab
dengan marah. “Kalian begitu keras di masa Jahiliah, tetapi sekarang setelah
Islam, kalian menjadi lemah. Wahyu-wahyu Allah telah berhenti dan agama kita
telah memperoleh kesempurnaan. Kini haruskah Islam dibiarkan rusak dalam masa hidupku?
Demi Allah, seandainya mereka menahan sehelai benang pun (dari zakat) saya akan
memerintahkan untuk memerangi mereka”.
Dalam memerangi kaum murtad, dari kalangan kaum muslimin banyak hafizh (penghafal
Alquran) yang tewas. Dikarenakan merupakan bagian-bagian Alquran, Umar cemas
jika angka kematian itu bertambah, yang beberapa bagian lagi dari Alquran
musnah. Oleh karena itu, ia menasihati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan”
Alquran. Mulanya khalifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak
menerima otoritas dari nabi, tapi kemudian member persetujuan menugaskan Zaid
binTsabit. Menurut Jalaludin As-Suyuti bahwa pengumpulan Alquran ini termasuk
salah satu jasa besar dari khalifah Abu Bakar.
Peperangan melawan para pengacau tersebut meneguhkan kembali khalifah Abu
Bakar sebagai “Penyelamat Islam”, yang berhasil menyelamatkan Islam dari
kekacauan dan kehancuran, dan membuat agama itu kembali memperoleh kesetiaan
dari seluruh Jazirah Arab. Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar
lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia
dan Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan melawan
kedua kekaisaran itu.
Tentara Islam di bawah pimpinan Musanna dan Khalid bin Walid dikirim ke Irak
dan menaklukkan Hirah. Sedangkan ke Syiria, suatu negara di utara Arab yang
dikuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu
Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil. Ekpedisi ke Syiria
ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat karena daerah
protektorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi
Timur. Dengan bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya
nabi, impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama Islam hidup
kembali. Mereka menyokong sepenuhnya pergolakan itu serta melindungi
orang-orang yang berani berbuat maker terhadap pemerintahan Madinah. Dalam
peristiwa Mu’tah, bangsa Romawi bersekongkol dengan suku-suku Arab pedalaman (Badui)
dan orang Persia memberikan dukungan yang aktif kepada mereka untuk melawan
kaum muslimin.
Faktor penting lainnya dari pengiriman pasukan besar-besaran ke Syiria ini
sehingga di pimpin oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat Islam Arab
memandang Syiria sebagai bagian integral dari semenanjung Arab. Negeri itu didiami
oleh suku bangsa Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian,
baik untuk keamanan umat Islam (Arab) maupun untuk pertalian nasional dengan
orang-orang Syiria adalah sangat penting bagi kaum muslimin (Arab). Ketika
pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan Kerajaan Hirah, dan telah
meraih beberapa kemenangan yang dapatselanjutnya, Khalifah Abu Bakar meniggal
dunia, pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari
terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan ke khalifahannya berlangsung
selama 2 tahun 5 bulan 11 hari.
2. Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Umat bin Khatthab nama lengkapnya adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan
Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi, salah satu suku yang terpandang mulia.
Umar dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah
seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara
ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku
bangsanya, Quraisy unutk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan
suku-suku yang lain. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan
menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi SAW serta dijadikan sebagai tempat
rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah
yang rumit tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam memimpin
umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan memilih dan menbaiat Abu Bakar sebagai
khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai
nasihatnya serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal
dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khatthab menjadi penerusnya. Rupanya
masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar belumlah cukup menjamin stabilitas
keamanan terkendali, maka penunjukkan ini dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umatnya: “Orang-orang Arab
seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara
di mana jalan yang akan di lalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan
kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui.
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai khalifah itu merupakan fenomena
yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap
dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar
yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Umtuk menjajagi pendapat umum,
Khalifah Abu Bakar Melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan
beberapa orang sahabat, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Pada
awalnya terdapat bebagai keberatan mengenai rencana pengangkatan Umar, sahabat
Thalhah misalnya, segera menemui Abu Bakar untuk menyampaikan rasa kecewanya. Namun,
karena Umar adalah orang yang paling tepat menduduki kursi kekhalifahan, maka
pengangkatan Umar mendapat persetujuan dari baiat dari semua anggota masyarakat
Islam.
Umar bin Khatthab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti
dari pengganti Rasulullahh). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan
orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung
pada masa pemerintahannya. Ketika para pembangkang didalam negeri telah dikikis
habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah
Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mengsukseskan ekpedisi yang
dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah
menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan ini. Pada tahun
635 M, Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria ditundukkan, setahun kemudian
seluruh wilayah Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat
di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal
kuat itu tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Suriah di masa Khalifah Umar
tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bajar telah
mengirim pasukan besar di bawah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Front Syiria.
Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid yang
sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke Fronnt Irak untuk membantu pasukan di
Syiria. Dengan gerakan secepat kilat Khalid menyebrangi gurun pasir ke arah
Syiria. Ia bersama Abu Ubaidah bin Jarrah mendesak pasukan Romawi. Dalam
keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abu Bakar, dan diganti Umar bin Khatthab.
Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya
untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar diberhentikan oleh Umar dan digantikan
oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga
selesai perang, dengan maksud agar tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi
musuh. Damaskus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh
hari. Pasukan muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah melanjutkan penaklukan
Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya
meneruskan penaklukan atas Baysan dan Yarusalem, kota itu dikepung oleh pasukan
muslim selama empat bulan. Sehingga akhirnya dapat di taklukkan dengan syarat
harus khalifah Umar itu sendiri yang menerima “kunci” kota itu, karena
kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan
menghancurkan gereja-gereja.
Dari Syiria, pasukan kaum muslim melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat
kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah
menguasai Mesir sejak tahun 30 sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu
sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik
sehingga menimbulkan kekacauancdi negeri yang pernah di perintah oleh Raja Fir’aun
itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu,
tetapi khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di
beberapa front pertempuran. Akhirnya permintaan itu dikabulkan juga oleh
khalifah dengan mengirim 4.000 tentara ke Mesir untuk membantu ekpedisi
tersebut. Tahun 18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa
perlawanan. Kemudian menundukkan Pelusiun (Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut
Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh
pasukan muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu
kota-kota Babilon juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H stelah 7 bulan
terkepung, Cyrus, pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan Islam
pimpinan ‘Amr setelah melihat kebesaran dan kesungguhan pasukan muslimin untuk
menguasai Mesir.
Iskandariah, ibu kota Mesir dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan
oleh pasukan islam di bawah pimpinan Ubadah bin Samit yang dkirm oleh khalifah
di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum
muslimin. Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut:
a) Setiap warga
Negara diminta untuk membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
b) Gencatan
senjata akan berlangsung selama 7 bulan.
c) Bangsa Arab
akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tiadak
akan menyerang Iskandariah dan harus menjauh diri dari permusuhan.
d) Umat Islam
tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat
Kristen.
e)
Pasukan tetap
Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang,
mereka akan membayar pajakm perseorangan selama satu bulan.
f) Umat Yunani
harus tetap tinggal di Iskandariah.
g) Umat Islam
harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sipil sebagai sandera sampai
bataswaktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnahlah penaklukkan atas Mesir. Ibu
kota negeri itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dubangun oleh
‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran
Kairo hinggan kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan. Dengan
Syiria sebagai basis, gerak maju pasukan Armenia, Mesopotamia Utara, Georgia
dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat terhadap
Asia Kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Seperti halnya Yarmuk
yang menentukan nasib Syiria, perang Qasidisiah pada tahun 673 M menetukan masa
depan Persia.
Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah Sa’ad bin Abi Waqqas untuk menundukkan
kota itu. Kemenangan yang diraih di wilayah itu membuka jalan bagi gerak maju
tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tirgis. Ibu kota Persia, Ctesiphon
(Madain) yang letakknya di tepi sungai Tigris pada tahun itu dapat dikuasai.
Setelah dikepung selama dua bulan, Yazdagrid Nahawan dan menundukkan Ahwaz pada
tahun 22 H. TAhun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna dikuasai. Isfahan
juga ditaklukkan, demikian pula Jurjan/Georgia dan Tabristan. Azerbaijan tidak
luput dari kepungan pasukan muslim. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh
lebih besar daripada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dapat dikalahkan
sehingga menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Kaum muslimin menyebut
sukses ini dengan “kemenangan dari segala kemenangan” (Fathul Futuh). Perebutan
atas kekuatan yan strategis tersebut berlangsung dengan cepat dan member
prestise di mata dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan seakan-akan
dogerakkan oleh kekuatan ghaib telah meluluhlantakkan Kerajaan Persia dan
Romawi. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Khalid bin Walid, ‘Amr bin
Ash dan lain-lain di Irak, Syiria, dan Mesir termasuk yang paling gemilang
dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika di bandingkan dengan
Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.
Pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat,
bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas Khalifah Umar telah berhasil
membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan
masyarakat baru yang terus berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan, baitul
mal, mencetak uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal
batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan menyelenggarakan “hisbah”. Khalifah
Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan
membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar tidak
memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik
untuk Umar sendiri maupun bawahannya sehingga tidak ada perbedaan antara
penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapay dihubungi oleh rakyat.
Kehidupan khalifah memang merupakan penjelmaan yang hidup dari prinsip-prinsip
egaliter dan demokratis yang harus dimiliki seorang kepala Negara.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturanperaturan baru,
ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada
jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. Misalnya mengenai
kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu peperangan (ghanimah).
Khalifah Umar membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri yang
telah ia taklukkan dan melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka
menerima tunjangan dari baitul mal atau gaji bagi prajurit yang masih aktif.
Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (Al-Kharaj). Begitu
pula Umar meninjau kembali bagian-bagian zakat yang dipercantumkan kepada’orang
yang dijinakkan hatinya’ (Al-Mualladat Qulubuhum) mengenai syarat-syarat
pemberiannya. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari.
Kematiaanya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Fairus atau Abu
Lu’lu’ah secara tibatiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kea rah khalifah
yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid
Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari para pembaringannya ia mengangkat
“Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifahannya.
Khalifah Umar wafat 3 hari setelah penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23
H/644 M.
3. Utsman Bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan, Nama lengkapnya ialah Utsman bin
Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena
ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat
kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk
kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki
dua cahaya, karena menikahi dua putrid Nabi SAW secara berurutan setelah salah
satu meninggal. Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum
Quraisy terhadap kaum muslimin Mekah, dan ikut hijrah ke Abenesia beserta
istrinya.Utsman menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam
ekspedisi untuk melawan Bizantium di perbatasan Palestina. Ia juga membeli
mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk
selanjutnya diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan
hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi
khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan
langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu
melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon,
dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi
khalifah batu. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah,
Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditanbahkan kepada komisi
enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih. Melalui
persaingan yang agak ketat dengan Ali, siding Syura akhirnya memberi mandate
kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang
terpanjang dari semua khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun,
tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasannya menjadi saat yang baik
dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman
menjadu dua periode, yaitu enam tahun terakhir merupakan masa kejayaan
pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Pada masa-masa awal pemerintahannya. Utsman melanjutkan sukses para
pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah
strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus melindungi dan
dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan
secara cermat dan simultan di semua front. Di Mesir pasukan muslim
diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di
sini ialah “Zatis Sawari” (Peperangan Tiang Kapal) yang terjadi di Laut Tengah
dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar
Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan perang
kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang digunakan dalam peperangan
tersebut. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum
muslim sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir
lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah
kerajaan Sasan dari Irak, dan dari kota Kufah, Gelombang kaum muslimin menyerbu
beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia.
Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah
penyusunan kitab suci Alquran. Penyusunan Alquran dimaksudkan untuk mengakhiri
perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Alquran. Disebutkan bahwa selama
pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang
baccan Alquran muncul dikalangan tentara muslim, dimana sebagiannya direkrut dari
Suriah dan sebagian lagi dari Irak. Ketua dewan penyusunan Alquran, yaitu Zaid
bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran antara lain
adalah dari Hafsah, salah seorang istri Nabi SAW. Kemudian dewan itu membuat beberapa
salinan naskah Alquran untuk dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran
sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya. Setelah melewati saat-saat
yang gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaannya, Khalifah Utsman
menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri yang
dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa
kebijaksanaan pemerintahaannya. Akan tetapi, sebenarnya kekacauan itu sudah
dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.
Utsman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang yang baik
dan saleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Utsman terlalu
terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari
kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang
baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Oleh karena itu,
Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan
tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota-anggota keluarga itu. Kelemahan dan
nepotisme telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa
waktu kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam. Ketika
Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang di tuduh sebagai orang
yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi seketaris utamanya,
segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah,
Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah,
Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan
keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan mengorbankan
kekayaan umun dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah,
Marwan sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negar
Suriah dan khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta
rampasan perang Tripoli untuk dirinya dan lain-lain.
Situasi politik akhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mencekam.
Bahkan juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk
kemaslahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat.
Kondifikasi Alquran tersebut diatas misalnya, yang dimaksudkan oleh khalifah
untuk menyelesaikan kesimpangsiuran bacaan Alquran sehingga perbedaan serius
mengenai kitab suci dapat dihindari, telah mengundang kecaman yang sangat
melebihi dari apa yang mungkin tidak diduga. Lawan-lawannya menuduh bahwa
Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.
Terhadap berbagai kecaman tersebut, khalifah telah berupaya untuk membela
diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan. Tentang pemborosan uang
negara misalnya, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Benar jika dikatakan ia
banyakn membantu saudara-saudaranya dari Bani Umayyah, tetapi itu diambil dari
kekayaan pribadinya. Sama sekali bukan dari kas negara, bahkan khalifah tidak
mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjabat khalifah, justru Utsman
jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk membantu sanak
familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan
kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan mengumpulkan harta seperti di
masa sebelum menjadi khalifah. Dalam hal ini Utsman berkata: “Pada saat
pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling
banyak di Arab, hari ini aku tidak memiliki kambing atau unta kecuali yang
digunakan dalam ibadah haji. Tentang penyokong mereka, aku memberikan kepada
mereka apa pun yang dapat aku berikan dan milikku pribadi. Tentang harta
kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun
orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan negara, apa yang aku
makan adalah hasil nafkahku sendiri.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Di
Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit
menentang Gubernur yang diangkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras
terjadi di Mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad,
saudara ankat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena
konfil soal pembagian ghanimah. Pemberontakan berhasil mengusir gubernur
yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu
berarak-arakan menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah dan Kufah
bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok Mesir. Wakil-wakil mereka
menuntut khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah meuruti kemauan mereka
dengan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka
merasa puas atas kebijaksanaan khalifah tersebut dan pulang ke negeri masing-masing.
Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan surat yang dibawa oleh
utusan khusu yang menerangkan bahwa para wakil itu harus di bunuh setelah
sampai ke Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam,
seketaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan diserahkan kepada
pemberontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Sedangkan Ali bin Abi
Thalib ingin menyelsaikan persoalan tersebut dengan jalan damai, tetapi mereka
tidak dapat menerimanya.
Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman
sedang membaca Alquran, pada tahun 35 H/17 juni 656 M. akan tetapi, menurut
Lewis, pusat oposisi sebenarnya adalah di Madinah sendiri. Di sini Thalhah,
Zubair, dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah, dengan
memanfaatkan para pemberontak yang datang ke Madinah untuk melampiaskan rasa
dendamnya yang meluap-luap itu.
4.
Ali Bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 H)
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakandari
menantu nabi. Ali putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia sepupu Nabi SAW yang
telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk
membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman nabi yang
lain membantu Abu Thalib dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain.
Ia telah masuk Islam pada usia sangat muda. Ketika nabi menerima wahyu yang pertama,
menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir.
Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di mekah maupun di
Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fathimah,
salah seorang putri Rasulullah, dan dari sisi keturunan Nabi SAW berkelanjutan.
Karena kesibukannya merawat dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW, ia tidak berkesempatan
membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, tetapi ia baru membaiatnya setelah Fathimah
wafat.
Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah
pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan
dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani,
penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi,
seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras
sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah
Muhammad. Beberapa hari pembunuhan Utsman, stabilitas keamanan kota Madinah
menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama
kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi
Thalib tampil menggantikan Utsman, menerima baiat dari sejumlaha kaum muslimin.
Kota Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak yang berkunjung ke
wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Sehingga hanya beberapa sahabat yang
masih bertada di Madinah, antara lain Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam. Sedangkan tidak semua sahabat tersebut menyokong Ali, seperti Sa’ad bin
Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Oleh karena itu, Ali pun menanyakan
keberaddan mereka karena merekalah yang berhak menentukan siapa yang akan
menjadi khalifah lantaran kesenioranya dan mengikuti perang Badar. Maka
muncullah Thalhah, Zubair, dan Sa’ad membaiat Ali yang kemudian diikitu oleh
banyak orang, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, dan yang paling awal
membaiat Ali adalah Thalha bin Ubaidillah.
Tugas pertama yang dilakukan oleh Khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita
Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah hibah yang telah di bagikan
oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara. Ali juga segera
menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif
diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad
dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh
Abdullah. Gubernur Suriah, Muawwiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi
ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.
Oposisi terhadapa khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah,
Thalhah, dan Zubair. Mrskipun masing-masing mempunyai alasan peribadi
sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah
segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama jug diajukan oleh
Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan
legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang-orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat
menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. Akan tetapi, tuntutan
mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama
yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat
itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua,
menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah Utsman tidak
dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan
Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar itu.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi
kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit
dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakan lagi. Thalhah dan
Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke
Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “Perang Jamal” (Perang Unta), yang
terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah, istri Nabi
SAW mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin
gugur. Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena
peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama
kalinya seorang khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung perang,
dan justru bertikai melawan saudara sesama muslim. Segera sesudah menyelesaikan
gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota
Kufah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibu kota kedaulatan Islam dan tidak
ada lagi seorang khalifah yang berkuasa berdiam di sana. Sekarang Ali adalah
pemimpin dari seluruh wilayah Islam, kecuali Suriah.
Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang
Ali, dan penolakannya atas pemerintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa
khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslom terjadi lagi, yaitu
antara angkatan perang Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat
sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk
menghadapi Muawiyah. Sebenarnya puhak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan
7.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Alquran sebagai
tanda damai dengan cara tahkim. Khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan
Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut
khalifah dan Muawiyah harus meltakkan jabatan pemilihan baru harus
dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi,
‘Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi justru
mengangkat Muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu
Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim (arbitrase), yakni
perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Namun
ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar
itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan
lahirnya golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali,
yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Kelompok Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan
khalifah, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat
dan meluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya, sungguh
sangat fatal bagi Ali. Tentara semakin lemah, sementara kekuatan Muawiyah
bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi Mesir berarti
merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Karena
kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa Khalifah Ali menyetujui perjanjian
damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan
kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir. Kelompok Muawiyah juga berusaha
sedapat mungkin untuk membuat massa Islam dari pengikut Ali, Muawiyah dan ‘Amr,
sebab diyakini bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber dari
pergolakan-pergolakan yang terjadi kemudian. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661),
khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Ibnu Muljam, seorang anggota Khawarij
yang sangat fanatik. Pada tanggal 10 Ramadhan 40 H (660 M) masa pemerintahan
Ali berakhir.
Hasan anak tertua Ali mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai khalifah
kurang lebih selama lima bulan. Tentaranya dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan
para pendukungnya di Irak meninggalkannya sehingga dengan demikian tidak dapat
lebih lama lagi mempertahankan kekuasaannya, kemudian turun tahta.
Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah
penguasa absolut dalam wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabits Tsani tahun 4 H
(661 M) Muawiyah memasuki kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya.
Sumpah kesetiaan diucapkan kepadanya di hadapan dua putra Ali, Hasan dan
Husain. Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga pada tahun 4 H disebut
sebagai ‘Amul Jama’ah, tahun jama’ah.
C.
Kemajuan Peradaban Khulafaur Rasyidin
Masa kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq
hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang
berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang
telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan
ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang
dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat
telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia,
ekspansi kekuasaan Islam menembus ke luar Arabia memasuki wilayah-wilayah
Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bizantium dan Hindia.
Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam
waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari
suatu bangsa sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain
sebagai berikut:
1. Islam,
disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga
agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada
para sahabat Nabi SAW tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang kewajiban
menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping
itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran
berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang terpadu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan
Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai
kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya
maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan
aliran agama wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama
bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksa aliran yang
dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan
melawan Persia.
5. Islam datang
ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak
memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6. Bangsa Sami di
Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat
kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syiria,
dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam
untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban
telah dicapai. Di antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam.
Diantara pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai
berikut:
1. Menjaga
keutuhan Alquran Al-Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu
Bakar.
2.
Memberlakukan
mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3. Keseriusan
mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam
para penduduk negeri. Oleh sebeb itu, para sahabat pada masa Utsman dikirm ke
berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Alquran dan
As-Sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4. Sebagian orang
yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19
banyak yang mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah 30 dan menafsirkannya
dengan motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang
dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang di
tundukkan. Interpretasi ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang
berbicara bahwa berperangnya sahabat adalah karena iman yang bersemayam di dada
mereka.
5.
Islam pada
masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i maupun
panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi sebagai da’i. para khalifah adalah
penguasa, imam shalat, mengadili orang yang berselisih, da’I, dan juga panglima
perang. Di samping itu, dalam hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau
lembaga-lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung
kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih
sempurna, telah di jadikan sebagai suatu nizham yang mempunyai alat-alat
perlengkapan dan lembaga-lembaga menurut ukuran zamannya telah cukup baik.
Kesimpuan
Setelah Nabi saw
wafat, masing-masing golongan yang ada pada masa itu merasa paling berhak
menjadi penerus nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang dengan melakukan
semacam kudeta (coup d’etat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri
sebagai deputi nabi.
Abu Bakar, nama
lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama
Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang
sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena pagi-pagi betul (orang yang
paling awal) memeluk Islam. Gelar AAsh-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan
segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj.
Seringkali mendapingi
rasulullah di saat
penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti
untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan
actual di Madinah.
Umat bin Khatthab
nama lengkapnya adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan Abdul Uzza
Al-Quraisy dari suku Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar
dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang
yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak
ayahnya, dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku bangsanya,
Quraisy unutk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku-suku
yang lain.
Khalifah ketiga
adalah Utsman bin Affan, Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash
bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan
menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana,
dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat
julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi
dua putrid Nabi SAW secara berurutan setelah salah satu meninggal. Ia juga
merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap kaum
muslimin Mekah, dan ikut hijrah ke Abenesia beserta istrinya.
Khalifah keempat
adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dari menantu nabi. Ali putra
Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia sepupu nabi SAW yang telah ikut bersamanya
sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya
yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman nabi yang lain membantu Abu Thalib
dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain. Ia telah masuk Islam pada
usia sangat muda. Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim
Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani
nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di mekah maupun di Madinah, dan ia
diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fathimah, salah
seorang putri Rasulullah.
Daftar Pustaka
Al-Baladzuri, Futuhul Buldam, Jilid
V, Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, t.t..
Al-Akkad, Abbas Mahmood, Kecemerlangan
Umar bin Khatthabm. Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar, 2006.
As-Suyuti, Jalaludin, Tarikh
al-Khulafa. Beirut: Darul Fikr, 1979.
At-Tabari, Tarikh At-Thabari,
Jilid III, Mesir: Darul Ma’arif, 1962.
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hassan, Ibrahim Hasan, Tarikh
Al-Islam As-Siyasi wa Ad-Dini wa As-Sawafi wa Al-Ijtimai, Kairo: Maktabah
An-Nahdah Al-Misriyah, 1979.
Hassan, Ibrahim Hassan, Tarikhul-Islam,
As-Siyasi Ad-Dini As-Saqafi Al- Ijtima’I, Jilid I, Kairo: Maktabah An-Nahdah
Al-Misriyah, 1979.
Hasymi, A., Prof., Dustur Da’wah
menurut Alquran. Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Hisyam, Ibnu, Sirah Ibn Hisyam, Jilid
IV, Mesir: Mathba’ah Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuh. 1973.
Ilaihi, Wahyu, S.Ag., M.A., dan Harjani
Hefni, Lc., M.A., Pengantar Sejarah Dakwah. Rahmat semesta dan Kencana, 2007.
Lewis, Bernard, Bangsa Arab Dalam
Lintasan Sejarah, Pedoman Ilmu, 1998.
Mahmudunnasir, Syed, Islam,
Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Rosda Karya 1991.
Montgomery, W., Pengantar Studi
Alquran, Jakarta: Rajawali, 1991.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Mun’in Majeed, Tarikh Al-Hadarah
Al-Islamiyah. Mesir: Angelo, 1965.
Said, Amin, Nasy’atud Daulat
Al-Islamiyah, Isa Al-Halabi, Mesir, t.t.
Sulthon Mas’ud,
Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: UINSA, 2014
Shihab M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW.
Tangerang: Lentera Hati, 2011.
Syaikh
Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, SIRAH NABAWIYAH.
Jakarta Timur: UMMUL QURA, 2016.
Sjadzali, Munawwir, Islam dan
Tata Negara. Jakarta : UI Press, 1991.
Yatim, Badri, Dr.M.A., Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Raya Grofindo Persada, 2000.