I.
PENDAHULUAN
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah
filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis.
Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita
lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya
merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987,
Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya
ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa
sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat.
Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang
mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi
tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999),
filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya,
berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin
maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula
sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus
lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang
dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat
sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dantaat asas (konsisten) dari
ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu
pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is
Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap
kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa
ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta
semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu
terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya,
dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan
yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal
tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono
dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat
sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut
Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu
merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai
penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan
filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang
penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal
ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang
berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau
tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara
ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman
(dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap
bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga
memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan
filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah.
II.
PEMBAHASAN
A.
Positivisme
Positivisme adalah salah satu
aliran filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah
pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant
(1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah
diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang
melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik
terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan
pengalaman sebagai porosnya (Ahmad,2009).
Istilah Positivisme pertama kali
digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh seorang
filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar
abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan
dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste
Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis,
yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan
paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya
yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan
dalam enam jilid (Achmadi,1997).
Tulisan dan pemikirannya ini, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang
terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase
teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis
(tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang
mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi
menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini
untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada
kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan
filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep- konsep
abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif
(tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan
hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada
tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat
serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).
1.
Pengertian
Positivisme berasal dari kata
“positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah
boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris
menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun
harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang
filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang
sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta (Praja,
2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data
empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup
manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar
bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan
masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak
Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme
adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi
menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk
mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan
sangat cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah
menjadi agama humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena
ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan.
Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia
objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang
menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan
menghadirkan properti- properti mereka secara langsung melalui data indrawi.
Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana
adanya. Seeing is believing
(Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut
aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam
coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang
dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya
saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau
subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya
,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme
adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst,
ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak
obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para
ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat
bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah
memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah
teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi
filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap
proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh
positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat
bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih
tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah
bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang
menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi
tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya.
Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala
sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan
karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan dengan alam maupun yang
berhubungan dengan manusia-sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang
berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh
filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.properti
mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi
adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is
believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut
aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam
coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang
dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya
saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau
subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya, mengandalkan
pada fakta-fakta.
2.
Perkembangan Positivisme
Auguste Comte dilahirkan pada tahun
1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai
kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah
dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali
perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya
kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah
mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan
politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon
yaitu seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak
untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan
menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam
mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan
Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte berkembang. Karena
ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia memisahkan diri dan
kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of Positive
Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato
dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme yaitu: Tempat utama dalam positivisme pertama
diberikan pada Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner), walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.
Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu
ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan
dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Perkembangan positivisme tahap
terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta kelompok yang
turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat
Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme
tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
3.
Ciri-ciri positivisme
Ciri-ciri
Positivisme antara lain:
a)
Objektif/bebas
nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti
mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui
fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan
menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b)
Fenomenalisme,
tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya
berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis
yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak
(antimetafisika)
c)
Nominalisme,
bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.
d) Reduksionisme, realitas direduksi
menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
e)
Naturalisme,
tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan
penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri
dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f)
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat
dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant
clock work (Syaebani, 2008).
4.
Metode Filsafat Positivisme
Menurut Koento Wibisono (1983: 39) filsafat positivisme
menggunakan metode pengamatan, percobaan dan perbandingan,
kecuali dalam menghadapi gejala dalam fisika sosial, digunakan
metode sejarah.
Pengamatan digunakan untuk mempelajari astronomi, kesemuanya ini berkaitan dengan ukuran waktu dan adapun untuk ilmu fisika disamping pengamatan juga digunakan
percobaan, dalam percobaan ini pengamatan tak ketinggalan. Dalam mempelajari ilmu kimia disamping percobaan dan pengamatan, digunakan
juga metode peniruan (artifisial).
Dalam ilmu biologi menggunakan metode percobaan, yang disesuaikan dengan kompleksitasnya gejala, maupun dalam
sosiologi, digunakan pengamatan, percobaan, dan perbandingan, dan bahkan metode sejarah, ini digunakan
untuk menguraikan gejala-gejala yang kompleks.
5.
Fungsi Filsafat Positivisme
Berdasarkan
uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu :
a)
Perkembangan yang diberi konotasi
sebagai kemajuan memberikan makna bahwa
positivisme telah mempertebal optimisme.
Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar
menghimpun fakta, tapi ia
berupaya meramal masa depan, yang antara
lain turut mendorong perkembangan teknologi.
b)
Kemajuan dalam
bidang fisik telah menimbulkan berbagai implikasi dalam segi
kehidupan. Dengan kata lain, fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang
dirasakan sebagai kebutuhan.
c)
Dengan adanya penekanan dari
filsafat positivisme terhadap segi
rasional ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan kenyataan, sedemikian rupa
sehingga keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka (Adi,2012).
6.
Kelebihan dan Kelemahan Positivisme
Karl
R. Popper kritik terhadap Positivisme Logis asumsi pokok teorinya adalah satu
teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan
baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa
pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi
pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika dan
menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan
dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal
yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi,
ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil
dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan
adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh
positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran
ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku,
karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan,
dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga
kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan
menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran
yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan
lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta
keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau
pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai
landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa
dikatakab benar secara mutlak.
Dari
deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya
positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:
a)
Kelebihan
Positivisme
(1) Positivisme
lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham
tersebut.
(2) Hasil
dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu
pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak
secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi
mutlak, teratur dan valid.
(3) Dengan
kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak
aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga
meramalkan masa depannya.
(4) Positivisme
telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
(5) Positivisme
sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan.
b)
Kelemahan
Positivisme
(1) Analisis
biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik biologik.
(2) Akibat
dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,
maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya
kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu
didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai
pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang
tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
(3) Manusia
akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan.
(4) Hanya
berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
(5) Positivisme
pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca
indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
(6) Hukum
tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang
optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic
(Diningrat,2010).
B.
Penomenologi
Dalam abad 20 muncul banyak aliran
filsafat dan banyak merupakan penerus filsafat-filsafat abad modern seperti neotomisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme,
neo-positivisme, dan lain-lain. Ada yang
baru dengan corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi, Eksistensialisme,
Pragmatisme, Strukturalisme dan Postmodernisme. Tokoh utama dan pendiri
Fenomenologi adalah Edmund Husserl (1895-1938). Ini adalah ilmu tentang
apa yang tampak atau menampakkan diri kepada kesadaran manusia. Sebelum itu (sejak Descartes) kesadaran selalu
tertutup. Orang mengenal diri dan dengan itu mengenal realitas. Padahal menurut
Husserl kesadaran selalu intensional yang berarti selalu terarah kepada
realitas.
Eksistensialisme dan fenomenologi
merupakan dua gerakan yang berhubungan sangat erat yang menentang metode dan
pandangan-pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjuk
suatu sistem filsafat secara khusus. Ada perbedaan-perbedaan besar antara para
pengikut aliran ini, tetapi terdapat tema-tema yang sama pada para penganutnya
sebagai ciri khas filsafat ini, antara lain:
1.
Protes terhadap rasionalisme dan idealisme Hegel (masyarakat modern).
2.
Protes terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari konkret (atas nama individualisme).
3.
Protes terhadap alam yang impersonal dari zaman industri modern dan
teknologi dan gerakan masa.
4.
Menekankan situasi manusia dan harapan manusia di dunia.
5.
Keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam
dan langsung.
1.
Pengertian fenomenologi.
Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu
sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan
diri.
Secara harfiah,
fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga
adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran.
Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat
dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan
realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi
yang kemudian diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun
secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat
manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan
kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di
sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka
hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita
lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu
pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Dari beberapa pengertian
di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran
kita.
Dalam kerja penelitiannya,
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada
pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan
yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin
ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama.
Dengan sendirinya mereka
mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan
ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan
sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan
metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam
menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga,
tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.
2.
Tokoh-tokoh filsafat
fenomenologi
a)
Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi
sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk
melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha
untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi
memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan
kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl,
menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan
harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena.
Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau
lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada
beberapa kata kunci yang perlu diketahui. diantaranya:
(1)
Fenomena
adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu
yang berada di balik fenomena).
(2)
Pengamatan
adalah aktivitas spiritual atau rohani.
(3)
Kesadaran
adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek) Substansi
adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa
terjangkau
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu
harus melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :
(1)
Reduksi
fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud
mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus
melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan ideologi.
(2)
Reduksi
eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal
yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
(3)
Reduksi
transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri
perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi
suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena
dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena
tidak perlu suatu peristiwa.
b)
Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu
untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman
filsafat. Diantaranya:
(1)
Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman
inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
(2)
Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari
penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
(3)
Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang
merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
c)
Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya
karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan
atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai
manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam
kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat
tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi
yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain
mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu
bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang
kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan
dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan
posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa
mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak
ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul
seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan
apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita
yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan
pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.
d)
Maurice Merlean Ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus
memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang
realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu: Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah
dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan
segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun
Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan
sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh
kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua
pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di
atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi
fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data
rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual
dengan alam. Marlean Porty menegaskan sangat
perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
3.
Pengaruh Husserl pada Martin
Heidegger dan Jean Paul Sartre
Pengaruh Husserl pada Heidegger dan
Sartre, tampaknya bukan hanya pada penggunaan metodenya, tetapi juga pada
konsepsinya tentang struktur kesadaran (intensionalitas) dan Lebenswelt.
Baik Heidegger maupun Sartre, secara terbuka mengakui pengaruh yang sangat kuat
dari fenomenologi Husserl pada metode dan filsafat mereka. Namun demikian,
kedua filusuf ini tidak menerima secara mentah gagasan Husserl tentang
fenomenologi, karena mereka pun dengan gemilang memodifikasinya berdasarkan
pada pemikiran teoretis dan kebutuhan praktis mereka. Mereka berdua mengeritik
“idealisme” yang melekat pada fenomenologi Husserl dan mengembalikannya
ke tujuan Husserl yang semula, yakni “kembali kepada realitas sendiri”,
yang terdapat pada “objek”, bukan pada “subjek”. Dengan perkataan
lain, oleh Heidegger fenomenologi dibuat “realistik” dan diarahkan bukan
untuk meneliti struktur kesadaran transendental, melainkan untuk meneliti “makna
Ada” melalui “adanya manusia” (Dasein). Ia menyebut
fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutik dan sering juga menyebutkan
Analisa Eksistensial, sedangkan objek pengamatannya adalah manusia yang hidup
dalam dunianya (in-der-welt-Sein). Sartre, mengikuti Heidegger, membuat
fenomenologi husserl menjadi “realistik” juga, dan fenomenologinya
digunakan untuk menelaah struktur kesadaran manusia dalam kaitannya dengan Ada
dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya Analisa Eksistensial atau
psikoanalisis eksistensial.
Pengaruh konsepsi Husserl tentang
intensionalitas kesadaran pada Heidegger dan Sartre, tampak dari pemahaman
mereka mengenai aktivitas-aktivitas atau “karakter-karakter” manusia
dalam hubungannya dengan realitas dan dunianya. Meskipun Heidegger tidak secara
eksplisit menjelaskan kesadaran manusia, tetapi ia mengandaikan begitu saja
karakter kesadaran manusia dan aktivitas-aktivitasnya, sebagaimana yang telah
dideskripsikan oleh Husserl. Konsepsinya tentang “milik sendiri”,
kecemasan, ketiadaan, dan Ada dalam dunia misalnya, mengandaikan adanya
aktivitas kesadaran manusia dalam mengonstitusikan dunianya, yakni aktivitas
kesadaran yang telah dibicarakan oleh Husserl. Akan tetapi, pada Sartre
kesadaran itu dieksplisitkan. Ia, seperti yang dilakukan oleh Husserl, menelaah
struktur kesadaran dan menemukan fakta baru bahwa kesadaran pun harus dibedakan
antara kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kemudian, konsepsi-konsepsi
Sartrean, seperti konflik, melafide, kecemasan, dan rasa muak, mengandaikan
adanya aktivitas kesadaran seperti konstitusi.
Konsepsi Husserl tentang Lebenswelt, yang menempati kedudukan sentral dalam pemikiran
filsafatnya pada periode-periode akhir hidupnya, mempunyai pengaruh yang sangat
besar dan menarik pada pemikiran Heidegger dan Sartre pada khususnya, dan pada
para eksistensialis pada umumnya. Dengan berangkat dari dunia yang dihayati (Lebenswelt),
seperti yang dianjurkan oleh Husserl, maka Heidegger dan Sartre berhasil
menguak tabir kehidupan manusia, yang selama ini terkubur dalam-dalam di bawah
permukaan teori-teori “ilmiah” tentang manusia.
4. Fenomenologi
sebagai metode ilmu.
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori,
praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya:
“Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama
fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat.
5.
Kontribusi
fenomenolgi terhadap ilmu pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan membicaraan mengenai konsep Lebenswelt
(“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas
konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial
serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund
Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi)
ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik
dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang
teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya
‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis
telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai
basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya
kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia,
yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu
saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam
dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu
dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara
tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia
jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya,
ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan
itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan
‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial
merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai
sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses
terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodologisnya
6.
Fenomenologi
dalam konsep agama Islam
Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam
merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja
terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama
samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan
beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para
pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti
Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih
dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist.
Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya
pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah
ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi
keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas
pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah
maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam
menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Fenomenologi adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha
mencari hakekat dari apa yang
ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan
manusia di bumi.
Pendekatan agama secara fenomenologis
dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah
terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal
ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai
dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.
a)
Tujuan Pendekatan Fenomenologi
Tujuan dari Fenomenologi adalah
mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data
(gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
Serta memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti
salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk
memahami islam.
b)
Karakteristik Pendekatan
Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi dalam
penelitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk
menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi
tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang
peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya,
bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang
bersumber dari ajaran agama non-islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai
komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi
keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul
dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.
c)
Langkah-langkah Metode Fenomenologi
(1)
Mengklasifikasikan fenomena keagamaan
dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci,
waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk
dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
(2)
Melakukan interpolasi dalam kehidupan
pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan
berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh
pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
(3)
Melakukan “epochè” atau menunda
penilaian dengan cara pandang yang netral.
(4)
Mencari hubungan struktural dari
informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman tentang berbagai
aspek terdalam suatu agama.
(5)
Tahapan-tahapan tersebut menurut Van
der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan
“realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
d)
Contoh Pendekatan Fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak
dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan.
Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya
acara tahlilan,berziarah, sekatenan, dan grebeg
mulud.
(1)
Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang
yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan
sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang
bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau
isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang
almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya,
serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para
kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut.
Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000
hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan
tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan
tradisi Hindu-Buddha.
Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan
secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian,
7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000
hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam.
Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal,
melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan
diterima keimanan Islamnya.
(2)
Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau
kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh
Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya.
Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh
kehendak-kehendak lain yang tak ada hubungannya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh
nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah
bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di
antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh
penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh
mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal.
Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup,
seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang
lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah
yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau
1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi
penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun
sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti
ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam
bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut
pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya
Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan
doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan
berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas
tanah makam yang dimaksud
(3)
Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan
Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada
bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga,
menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang
berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten.
Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja,
abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di
jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur
mayurnya untuk dinikmati.
e)
Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan
Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena
usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan
kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat
penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan.
Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat
memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana
dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan
fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan
menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh
pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam
konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir
dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan
kolektif dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku
transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah
kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang
diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran
sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari
imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan
peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga
jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan
demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang
hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam
waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
C.
Paragmatisme
Pragmatisme
merupakan gerakan filsfat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad
terakhir. Ia adalah filsafat yang mencerminkan dengan kuat sifat-sifat
kehidupan Amerika. Pragmatisme banyak hubungannya dengan nama seperti Charles
S. Peirce (1839-1934), Willam James (1842-1910), John Dewey (1859-1952) dan
George Herberrt Mead (1863-1931).
Pragmatisme
berusaha untuk menengahi antra tradisi empiris dan tradisi idealis, dan
menghubungkan hal yang sangat berarti dalam keduanya. Pragmatisme adalah suatu
sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai-nilai kebenaran. William
James mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memandang jauh terhadap
benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang dianggap sangat
penting, serta melihat ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah akibat
dan fakta-fakta.
Pragmatisme
lebih menekankan kepada metoda dan pendirian daripada kepada doktrin filsafat
yang sistematis. Ia adalah metoda penyelidikan eksperimenal yang dipakai dalam
segala bidang pengalaman manusia. Pragmatisme memakai metode ilmiah modern
sebagai dasar suatu filsafat. Ia sangat dekat kepada sains, khususnya biologi
dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan bertujuan untuk memakai jiwa ilmiah dan
pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problema-problema manusia termasuk juga
etika dan agama. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem
filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan
realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu, filsafat telah keliru karena
mencari hal-hal yang mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi,
prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta
problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan kita tidak dapat melangkah
keluar daripadanya. Bagi John Dewey, pengalaman adalah pokok. Pengalaman adalah
hasil dari pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya.
Walaupun
pragmatisme sebagai filsafat yang sistematis adalah baru jika dibandingkan
dengan yang lain, namun sikap dan ide-ide yang serupa dapat ditemukan dalam
karangan pemikir-pemikir yang terdahulu. Sebagai contoh, kata pragmatis dipakai
oleh Kant untuk menunjukkan pemikiran yang sedang berlaku dan ditetapkan oleh
maksud-maksud dan rencana-rencana. Ia menggunakan kata pragmatis sebagai
kebalikan dari kata praktikal yang menunjukkan kepada bidang etika. Kant
mengajak untuk mendapatkan watak moral khususnya rasa kewajiban, dan kemauan
untuk menegakkan kebenaran beberapa keyakinan seperti: kemerdekaan kemauan,
Tuhan dan kelangsungan jiwa. Prinsip Kant tentang lebih pentingnya akal praktis
telah merintis jalan bagi pragmatisme.
1.
Pengertian
Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah
aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen
(tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat yang
memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan
segala sesuatu secara berguna.
Sedangkan menurut istilah adalah berasal dari bahasa
Yunani “ Pragma” yang berarti perbuatan ( action) atau tindakan (practice).
Isme sendiri berarti ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti
ajaran yang menekankan bahwa pemikran itu menuruti tindakan.
Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja
hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis
semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah
“manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran
ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang.
Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang
berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu
kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif
tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak
memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi
masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang
kedua.
2.
Tokoh Aliran Paragmatisme
a)
Charles S.
Pierce
Charles S. Pierce, yang terkenal sebagai
pendiri pragmatisme, mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Pierce mengatakan
bahwa problema-problema termasuk persoalan-persoalan metafisik dapat dipecahkan
jika kita memberi perhatian kepada akibat-akibat praktis dari mengikuti
bermacam-macam pikiran. Orang mengatakan bahwa pragmatisme muncul pada tahun
1878 ketika Pierce menerbitkan makalanya yang berjudul How To Make Our Ideas
Clear.
Walaupun ia tidak pernah menulis suatu
buku tentang filsafat atau menyusun pikirannya dalam suatu bentuk yang
sistematis, namun kegiatannya dalam sastra berlangsung bertahun-tahun. Dengan
diterbitkan tulisan-tulisannya dalam dasawarsa terakhir, perhatian kepada
filsafat Pierce bertambah dan diakui sebagai intelektual yang luar biasa. Ia
merupakan suatu gabungan yang langka antara seorang ilmuwan fisika dengan
kebiasan-kebiasaan memikir tentang laboratorium, seorang peminat filsafat, dan
seorang yang mempunyai keyakinan moral yang kuat.
Pierce merupakan seorang ahli logika
yang mementingkan problema teknis dari logika dan epistemologi serta metoda
sains dalam laboratorium. Perhatiannya dalam logika mencakup penyelidikan
sistem deduktif, metodologi dalam sains empiris dan filsafat yang ada di
belakang metoda dan teknik yang bermacam-macam. Logikanya mencakup teori alamat
(signs dan symbols) dan karyanya dalam hal tersebut merupakan
karya perintis. Ia memandang logika sebagai alat komunikasi atau usaha
kooperatif atau umum. Pendekatan semacam itu memerlukan penelitian yang kritis
dan memerlukan bantuan orang lain dalam usahanya yang terus menerus untuk
menjelaskan pikiran-pikiran. Pierce berhasrat untuk mendirikan filsafat atas
dasar ilmiah dan untuk menganggap teori-teori sebagai hipotesa yang berlaku. Ia
menamakan pendekatan-pendekatannya itu pragmatisme.
Salah satu sumbangan Pierce yang paling
penting bagi filsafat adalah teorinya tentang arti. Pada hakekatnya ia
membentuk satu dari teori-teori modern tentang arti dengan mengusulkan
suatu teknik untuk menjelaskan pikiran. Hal itu dapat ditemukan dengan baik
jika kita menempatkan pikiran tersebut dalam ujian eksperimental dan mengamati
hasilnya. Ukurannya tentang berarti adalah dengan memperhatikan
bagaimana suatu benda akan bertingkah jika ia mempunyai suatu sifat atau
termasuk dalam suatu jenis. Jika benda itu keras ia akan menggores benda-benda
lain, dan jika ia bersifat seperti bensin, ia akan menguap dengan cepat, dan
lain-lain.
Empirisme Pierce lebih bersifat
intelektual daripada voluntaris (segi kemauan); ini berarti bahwa ia menekankan
kepada intelek dan pemahaman lebih daripada kemauan dan aktivitas. Rasa tidak
enak karena sangsi mendorong kita mencari keyakinan. Hasil dari pencarian
tersebut, yang maksudnya adalah untuk menghilangkan kesangsian, adalah
pengetahuan. Dengan begitu maka ia tidak menekankan kepada rasa indrawi atau
kemauan seperti yang dilakukan oleh bentuk-bentuk terakhir dari pragmatisme
umum. Di satu pihak, Pierce bersifat kritis terhadap intuisionisme dan
prinsip-prinsip a priori. Walaupun ia setuju dengan sebagian dari
pandangan-pandangan a priori, ia tidak menyetujui pandangan yang mengatakan
bahwa empirisme memerlukan pengingkaran terhadap kemungkinan metafisik.
Dalam bidang metafisik dan lain-lainnya,
kita harus menjauhkan diri dari rasa telah mencapai tujuan akhir. Pierce setuju
dengan faham fallibilism. Orang yang sangat pandai pun dapat salah juga.
Penyelidikan yang progresif akan membawa kita kepada perubahan yang terus
menerus. Pierce percaya kepada chance (nasib), karena walaupun alam itu
bertindak secara teratur menurut hukum alam, ia berpendapat bahwa keteraturan
alam itu tak pernah sempurna. Nasib dan kebiasaan memegang peran dalam
kejadian-kejadian di dunia. Fallibilisme dan hari kemudian yang terbuka
menggantikan skeptisisme dan absolutisme, dan pragmatisme menggantikan sistem
kepercayaan yang tetap dalam filsafat dan sains. Walaupun Pierce sangat
memperhatikan logika dan metodologi, tulisan-tulisannya menunjukkan secara
jelas bahwa ia memberi tempat kepada idealisme evolusioner yang menekankan kebutuhan
kepada prinsip cinta, sebagai kebalikan dari individualisme yang sempit dalam
urusan-urusan manusia.
b)
William James
Perkembangan pragmatisme yang cepat adalah disebabkan oleh tanah yang
subur yang ditemukan di Amerika dan oleh penyajian yang sangat menarik dari
William James. Dalam bukunya Pragmatism, James mempertentangkan
rasionalis yang lunak yang biasanya mempunyai pandangan yang idealis dan
optimis, dengan empiris yang keras, yang suka kepada fakta, dan yang biasanya
merupakan seorang materialis dan pesimis. Kepada mereka itu James berkata:
"Aku menyajikan pragmatisme, suatu aliran yang namanya aneh, sebagai suatu
filsafat yang dapat memuaskan dua macam kebutuhan. Pragmatisme dapat tetap
bersifat religius seperti rasionalisme, tetapi pada waktu yang sama, ia sangat
memperhatikan fakta sebagaimana aliran empirisme".
(1)
Empirisme Radikal
James mendefinisikan istilah empirisme radikal sebagai berikut: "Aku
mengatakan empirisme oleh karena empirisme merasa puas untuk menganggap hasil
pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah
menurut pengalaman di kemudian hari". James juga pernah berkata:
"Untuk menjadi radikal suatu empirisme harus tidak menerima dalam
bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara langsung, atau mengeluarkan
dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung". James menganggap
hubungan (relation) seperti "lebih besar daripada" sebagai
salah satu dari unsur-unsur yang dialami secara langsung.
Pragmatisme sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah tindakan
menengok terhadap hasil-hasil dari fakta-fakta, dan bukan terhadap
prinsip-prinsip dan kategori. Ia menerima pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta
kehidupan sehari-hari sebagai dasar. Realitas adalah hal yang dialami, apakah
itu merupakan benda atau perubahan keadaan. Oleh karena pengalaman itu
terpisah-pisah, maka kelompok pragmatis mendapatkan benda-benda ada yang
disambung dan ada yang perlu dipisah serta menerima apa adanya. Sebagai akibat,
mereka berpendapat bahwa realitas itu banyak (pluralitas) dan tidak satu
(monistis) atau dua (dualistic). Terdapat paham yang kita terima,
yakni data rasa yang dibawakan dari luar diri kita sebagai stimulus (daya
perangsang). Kemudian ditambah dengan unsur interpretatif yang diberikan
oleh makhluk yang sadar. Pengalaman kita yang kreatif yang terdiri atas bahan
yang kita terima serta unsur interpretatif merupakan realitas yang kita
ketahui. Dengan begitu, maka pengetahuan didasarkan atas persepsi indrawi atas
pengalaman yang membentuk kesadaran yang terus menerus.
(2)
Teori Kebenaran William James
James memberikan suatu pernyataan yang membingungkan yaitu truth
happens to an ideas (kebenaran itu terjadi kepada suatu ide). Hal yang
membingungkan dalam pernyataan itu adalah bahwa teori kebenaran yang
tradisional mengatakan sebaliknya, yakni bahwa kebenaran itu suatu hubungan
yang pasti dan tetap (statis). Ketika James menyelidiki teori-teori kebenaran
yang tradisional, ia menyatakan, apakah arti kebenaran dalam tindakan.
Kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide. Tidak ada sesuatu motiv dalam
mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, kecuali untuk memberi
petunjuk bagi tindakan yang praktis.
James akan bertanya, "Apakah perbedaan yang kongkrit yang akan
disebabkan oleh ide itu dalam penghidupan?". "Suatu perbedaan yang
tidak menyebabkan perbedaan bukanlah perbedaan", akan tetapi hanya
permainan kata. Suatu ide menjadi benar atau dijadikan benar hanya oleh
kejadian-kejadian. Suatu ide itu benar jika ia berhasil atau jika ia memberi
akibat-akibat yang memuaskan. Kebenaran itu relatif, kebenaran juga berkembang.
Kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil dalam cara kita
berpikir dan kebenaran (right) adalah yang menjadikan berhasil cara kita
bertindak.
Ide, doktrin dan teori menjadi alat untuk membantu kita menghadapi
situasi; doktrin bukannya jawaban terhadap permasalahan. Suatu teori itu adalah
buatan manusia untuk menyesuaikan diri dengan maksud-maksud manusia, dan satu-satunya
ukuran kebenaran suatu teori adalah jika teori tersebut membawa kita kepada
hal-hal yang berfaidah. Keberhasilam (workability), kepuasan (satisfiction),
konsekuensi dan hasil (result) adalah kata-kata kunci dalam konsep
pragmatisme tentang kebenaran.
Moralitas, seperti kebenaran, bukannya tetap akan tetapi berkembang karena
situasi kehidupan, sumber dan otoritas bagi kepercayaan, dan tindakan hanya
terdapat dalam pengalaman. Hal yang baik adalah sesuatu yang memberikan
kehidupan yang lebih memuaskan; yang jahat adalah sesuatu yang condong untuk
merusak kehidupan. James adalah seorang pembela yang kuat bagi kemerdekaan
moral dan indeterminisme. Ia percaya bahwa determinisme adalah pemalsuan
intelektual dan pengalaman. Ia mendukung meliorisme, yang berarti bahwa
dunia itu tidak seluruhnya jahat dan tidak seluruhnya baik, akan tetapi dapat
diperbaiki. Usaha manusia untuk memperbaiki dunia adalah berharga dan
berfaidah, dan kecondongan evolusi biologi dan sosial adalah ke arah perbaikan
semacam itu.
(3)
Kemauan untuk Percaya
James mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada agama. Doktrin
pluralisme kebenaran, meliorisme, begitu juga doktrinnya tentang kemauan untuk
percaya, semuanya memberi sumbangan kepada pendapatnya tentang agama dan Tuhan.
Pada akhir-akhir karyanya ia mengakui bahwa 'kemauan untuk percaya' dapat
dinamakan 'hak untuk percaya'.
Pertama, bahwa empirisme radikal tidak lagi mencari kebutuhan manusia
serta kesatuan manusia dan kesatuan metafisik di belakang pengalaman, dan
menekankan aliran kesadaran yang ada. Kesadaran menunjukkan minat, keinginan
dan perhatian; ia merupakan tindakan kemauan dan rasa indrawi, segi yang
menentukan adalah kemauan dan bukan akal. Kemauan menetapkan bagaimana dan apa
yang akan kita alami; dengan begitu maka secara empiris berpikir itu nomor dua
sesudah 'mau'. Apa yang dipilih dan ditekankan menjadi vital dan riil. Dengan
begitu maka dunia yang kita alami sebagian besar adalah bikinan kita sendiri.
Mengenai ide-ide kita, keadaannya sama dengan persepsi indrawi kita.
Ide-ide yang menarik minat serta minta perhatian kita cenderung untuk
menjauhkan ide-ide yang lain dan menguasai lapangan; dan ide-ide tersebut
condong untuk menemukan ekspresi dalam tindakan-tindakan kita. Dalam kehidupan
individual memerlukan mengambil beberapa keputusan. Bagaimana mereka harus
bertindak untuk mengambil keputusan tersebut dan memformulasikan keyakinan
mereka? Dalam beberapa keadaan, keadaannya jelas dan pasti, dan dalam keadaan
tersebut mereka perlu bertindak sesuai dengan kejelasan tersebut. Dalam situasi
lain, di mana pilihan antara tindakan yang dipertimbangkan itu dipaksakan atau
sangat remeh, mereka dapat menangguhkan keputusan mereka atau sama sekali tidak
mengambil keputusan. Tetapi terdapat situasi di mana orang-orang menghadapi
permasalahan yang sangat menentukan (crucial) dan mereka harus mengambil
pilihan dan bertindak, karena kegagalan mengambil pilihan berarti telah memihak
kepada salah satu alternatif. Jika masalahnya adalah kehidupan, dipaksakan dan
harus segera dilakukan, orang harus bertindak walaupun tidak mempunyai
kejelasan yang dapat dipakai dasar untuk mengambil keputusan.
Doktrin James tentang kehendak untuk percaya, berlaku bagi situasi nomor
tiga ini, di mana suatu pengambilan keputusan diharuskan oleh situasi. Sebagai
contoh, apakah saya mengawini wanita (atau pria) ini sekarang, atau harus
menunggu sampai saya menjadi pasti bagaimana jadinya perkawinan itu nanti? Di
sini seseorang tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah perkawinan itu akan
bahagia dan sukses. Tidak semua fakta dapat diketahui dan seseorang tidak dapat
menunggu sampai bukti-bukti terkumpul semua; walaupun begitu, soalnya tetap
hidup, dan dipaksakan serta harus dilakukan. Untuk tidak bertindak sudah
berarti mengambil keputusan, yakni tidak akan mengawini orang itu sekarang.
Jika kemauan untuk percaya mendorong kepada kepada pengambilan keputusan dan
bertindak, kemauan tersebut membawa kita kepada penemuan dan keyakinan atau
kepada kebenaran dan nilai, hanya karena fakta bahwa ada kemauan. Nilai-nilai
kehidupan adalah empiris, dapat ditemukan dan dicoba dalam proses kehidupan.
Menurut James, dalam bermacam-macam pengalaman kehidupan, manusia
mempunyai hubungan dengan suatu zat yang lebih (a 'more'). Manusia
merasakan di sekitarnya ada sesuatu yang simpatik dan memberinya dukungan (support).
Ia menunjukkan sikap bersandarnya kepada zat tersebut dalam sembahyang dan doa.
Rasa tentang adanya zat yang lebih (the 'more') membawakan ketenangan,
kebahagiaan, dan ketenteraman; selain itu hal ini merupakan pengalaman
universal. Dalam arti keagamaan, Tuhan adalah kecondongan ideal tersebut atau
pendukung yang murah hati dalam pengalaman manusia.
Seperti telah diketahui, James terpengaruh oleh hal-hal yang baru,
kemerdekaan, kemauan individualitas dan ketidakseragaman yang bersifat inheren
dalam alam ini. Akibatnya ia menekankan pendapat bahwa Tuhan itu terbatas. Oleh
karena dalam dunia ini terdapat kemungkinan-kemungkinan yang riil baik untuk
kejahatan atau untuk kebaikan, maka tak mungkin ada Tuhan yang maha baik dan
maha kuasa yang menciptakan dunia sebagai yang kita ketahui. Walaupun begitu
Tuhan itu bermoral dan bersikap bersahabat dan manusia dapat bekerja sama
dengan Tuhan dalam perjuangan menciptakan suatu dunia yang lebih baik.
c)
John Dewey
Makin besar dan kuatnya pragmatisme
secara terus menerus adalah berkat tulisan-tulisan John Dewey. Dewey mencapai
kemasyhuran dalam logika, epistimologi, etika, estetika, filsafat politik
ekonomi dan pendidikan. Bagi Dewey dan pengikut-pengikutnya istilah instrumentalisme
dianggap lebih tepat dari istilah pragmatisme, akan tetapi kedua-duanya
tetap dipakai.
Dewey adalah seorang yang bersifat
kritis secara serius dan terus menerus terhadap jenis-jenis filsafat klasik dan
tradisional dengan usaha untuk mencari realitas yang tertinggi dan menemukan
zat yang tetap (immutable). Dewey mengatakan bahwa filsafat-filsafat
semacam itu telah memperkecil atau menganggap rendah pengalaman manusia. Dewey
mengatakan bahwa manusia telah memakai dua metoda untuk menghindari bahaya dan
mencapai keamanan.
Metoda pertama adalah dengan melunakkan
atau minta damai kepada kekuatan-kekuatan di sekitarnya dengan upacara-upacara
keagamaan, korban, berdoa, dan lain-lain. Metoda kedua adalah dengan
menciptakan alat untuk mengontrol kekuatan-kekuatan alam bagi maslahat manusia.
Ini adalah jalannya sains, industri, dan seni, dan cara inilah yang disetujui
Dewey.
Tujuan filsafat adalah untuk mengatur
kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di dunia, dan
sekarang. Perhatian dialihkan dari problema metafisik tradisional kepada
metoda, sikap, dan teknik untuk kemajuan ilmiah dan kema-syarakatan. Metoda
yang diperlukan adalah penyelidikan eksperimental yang diarahkan oleh
penyelidikan empiris dalam bidang nilai.
(1) Pengalaman dan Dunia Yang Berubah
Experience (pengalaman)
adalah salah satu dari kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat
Dewey adalah mengenai dan untuk pengalaman sehari-hari.
Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling
mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan sosial dan fisik. Dewey
menolak mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya
bahwa seseorang telah berbuat demikian.
Pada masa yang lalu pun para filosof
berusaha menemukan pengalaman teoritis tertinggi (theoritical
super-experience) yang dapat dijadikan dasar untuk hidup yang aman dan
berarti. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi
manusia sehingga tidak melihat alam; pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi
manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Dunia yang ada sekarang, yakni dunia
pria dan wanita, dunia sawah-sawah dan pabrik-pabrik, dunia tumbuh-tumbuhan dan
binatang, dunia kota yang hiruk-pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah
dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memahaminya dan kemudian berusaha membentuk
suatu masyarakat di mana tiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan
kecerdasan.
Dewey menganggap persoalan evolusi,
relativitas, dan proses waktu secara sangat serius. Dunia ini masing-masing
tetap dalam penciptaan dan selalu bergerak ke muka. Pandangan tentang dunia
seperti tersebut sangat bertentangan dengan gambaan realitas yang tetap dan
permanen yang ditemukan pada filosof Yunani dan Abad Pertengahan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam
dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan
sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari filsafat instrumentalismenya.
Pertama, kata temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemajuan yang riil dalam
waktu. Kita tidak dapat lagi mengikuti pandangan seorang penonton tentang realitas.
Pengetahuan kita tidak hanya mencerminkan dunia; ia mengubah bentuk dan
wataknya. Kedua, kata futurisme mendorong kita untuk melihat hari esok dan
tidak kepada hari kemarin. Hari esok yang berasal dari hari kemarin, tidak akan
merupakan ulangan, akan tetapi merupakan hal yang baru. Ketiga, meliorisme,
berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita, pandangan ini
juga dianut oleh William James.
(2) Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey
adalah teori instrumental tentang ide-ide dan menggunakan intelegensia
(kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah biologis, ia mementingkan
persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya. Semua pemikiran dan
semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat pertahanan bagi
manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
Penilaian yang reflektif terjadi jika
terdapat suatu problema, atau jika adat kebiasaan kita terhalang dalam
krisis-krisis tertentu. Intelegensi adalah alat untuk mencapai suatu tujuan
atau beberapa tujuan yang dicari oleh individual atau masyarakat. Tidak ada
bahan tertentu yang terpisah dalam otak dan mempunyai daya berpikir. Akal
dimanifestasikan dalam kemampuan kita untuk menanggapi apa yang tidak jelas
atau problematik dalam pengalaman. Mengerti dan bertindak, keduanya bersifat
terus menerus. Mengetahui terjadi dalam alam dan faktor-faktor indrawi serta
rasional tidak lagi berlomba-lomba, malahan bersama-sama sebagai bagian-bagian
dari proses bersatu. Ide adalah rencana tindakan yang harus dilakukan. Teori
ilmiah, seperti alat-alat yang lain dibuat oleh manusia dalam mencari
tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang khusus. Tujuan dan pemikiran
adalah untuk membentuk kembali realitas yang telah dialami dengan peraturan
teknik eksperimen.
(3) Kemerdekaan Kemauan dan Kebudayaan
Menurut filsafat instrumentalisme Dewey,
manusia dan alam selalu saling bersandar. Manusia bukannya sebagian badan dan
sebagian jiwa, ia bersatu dengan alam dan alam diinterpretasikan sehingga
mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah berpikir dan
menjadi cerdas. Alam dikatakan tidak rasional dan tidak irrasional. Alam dapat
dipikirkan dan dipahami, alam tidak hanya sesuatu yang harus diterima dan
dimanfaatkan, tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol dengan eksperimen.
Dewey dengan kelompok instrumentalis modern adalah pembela yang gigih dari
kemerdekaan dan demokrasi.
Dewey adalah pembela kemerdekaan moral,
kemerdekaan memilih, dan kemerdekaan intelektual. Ia juga pembela hak-hak sipil
dan politik, termasuk di dalamnya kemerdekaan berbicara, kemerdekaan persurat
kabaran, dan kemerdekaan berserikat. Ia menganjurkan diperluasnya
prinsip-prinsip demokrasi dalam bidang sosial dan politik bagi seluruh bangsa
dan kelas.
(d) Suatu Keprcayaan Umum
Dewey dan banyak pengikutnya menolak
supernaturalisme dan mendasarkan nilai-nilai moral dan agama atas dasar
hubungan duniawi dari manusia. Nilai-nilai kehidupan dapat diuji kebenarannya
dengan metoda yang berlaku bagi fakta-fakta lain. Dewey mengecam
lembaga-lembaga greja tradisional, dengan tekanannya kepada ritus yang tak
berubah dan dogma yang otoriter. Ia memakai kata sifat religious untuk
melukiskan nilai-nilai yang menyempurnakan dan memperkaya kepribadian
seseorang. Dengan begitu, maka segala tindakan yang diambil demi suatu
cita-cita karena keyakinan atas nilai-nilai yang benar, adalah tindakan yang
bersifat religious. Istilah Tuhan dapat dipakai untuk menunjukkan
kesatuan segala maksud yang ideal, dalam kecondongannya untuk membangkitkan
kemauan dan tindakan (Titus, dkk., 1984: 349-350).
3. Analisis Kritis atas Kekuatan dan
Kelemahan Pragmatisme
a)
Kekuatan
Pragmatisme
(1)
Kemunculan
pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di
Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu
pengetahuan maupun teknologi.Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat
dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis,
abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas
kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan nnati di
akhirat. Dengan demikan, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia
untuk hanya sekedar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya riil, indriawi,
dan yang memanfaatnya bisa di nikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari.
(2)
Pragmatisme
telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan
segala yang ada. Barangkali dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah
mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba
membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan
eksperimen-eksperimen sehingga munculllah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang
sosial dan ekonomi.
(3)
Sesuai
dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan
yang mapan”. Suatu kepercyaan yang diterim apabila terbukti kebenarannya lewat
pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang
sakral dan mitos, Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme
merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan
gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
b)
Kelemahan
Pragmatisme
(1)
Karena
pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara
alamiah, dan percaya bahwa duna ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri,
secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental
(bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut,
pragmatisme sangat mendewakan kemepuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan,
maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
(2)
Karena yang
menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata,
praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme
menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak
masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
(3)
Untuk
mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa
memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia
bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka
dalam struktur masyarakatnya manusipa hidup semakin egois individualis. Dari
sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
D.
Realisme
Realisme tidak pernah dipersoalkan
oleh pemikir-pemikir Barat sampai abad ke-17. Kebanyakan orang mengira diri
mereka itu ada, di tengah-tengah dunia benda-benda yang tidak ada hubungannya
dengan mereka. Akal manusia dan alam di luarnya saling mempengaruhi, tetapi
interaksi ini tidak mempengaruhi watak dasar dari alam. Alam sudah ada sebelum
fikiran manusia sadar akan adanya dan akan tetap ada setelah akal tidak lagi
menyadari akan adanya.
1.
Definisi
Realisme
Idealisme adalah filsafat Barat yang berpengaruh
pada akhir abad ke-19. Dengan memasuki abad ke-20, realisme muncul, khususnya
di Inggris dan Amerika Utara. Real berarti yang aktual atau yang ada, kata
tersebut menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang
sungguh-sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan atau apa yang ada dalam
pikiran. Real menunjukkan apa yang ada. Reality adalah keadaan atau sifat benda
yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti
umum, realism berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi
bukan kepada yang diharapka atau yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat,
kata realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis.
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme
berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya
itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan
atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Bagi kelompok realis, alam itu, dan
satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik
dengannya. Kelompok realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk
menafsirkannya menurut keinginan atau kepercayaan yang belum dicoba
kebenarannya. Seorang realis bangsa Inggris, John Macmurray mengatakan:
Kita tidak bisa melpaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan
antara benda dan ide. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang
sesuatu benda, suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda. Dalam
hal ini benda dalah realitas dan ide adalah 'bagaimana benda itu nampak pada
kita'. Oleh karena itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan
benda-benda , jika mau menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita
menjadi benar, jika ide kita cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan
tidak berfaedah. Benda tidak menyesuaikan dengan ide kita tentang benda
tersebut. Kita harus mengganti ide-ide kita dan terus selalu menggantinya
sampai kita mendapatkan ide yang benar. Cara berpikir common sense semacam
itu aalah cara yang realis; cara tersebut adalah realis karena ia menjadikan
'benda' adalah bukan 'ide' sebagai ukuran kebenaran, pusat arti. Realisme
menjadikan benda itu dari real dan ide itu penampakkan benda yang benar atau
yang keliru (Harold H.Titus, dkk., 1984: 315-329).
Dalam membicarakan dasar psikologi dari sikap
yang selain realisme, Macmurray mengatakan bahwa oleh karena filsafat itu
sangat mementingkan ide, maka ia condong menekankan alam ide atau pikiran. Oleh
karena filsafat condong menjadi penting baginya, maka ia secara wajar, tetapi
salah, mengira bahwa ide itu mempunyai realitas yang tidak terdapat dalam
benda. Jika ia menganggap kehidupan akal atau pemikiran reflektif sebagai suatu
hal yang lebih tinggi dan lebih mulia daripad akktivitas praktis atau perhatian
kita terhadap benda, kita mungkin secara keliru mengira bahwa ide itu lebih
penting daripada bendanya. Jika kita mengungkung diri kita dalam pikiran, maka
pikiran akan tampak sebagai satu-satunya hal yang berarti. Menurut Macmurray,
pandangan realis adalah pandangan common sense dan satu-satunya pandangan yang
dapat bertahan di tengah-tengah akktivitas-aktivitas kehidupan yang praktis
(Harold H.Titus, dkk., 1984: 329).
Seorang filosof realis lainnya, yaitu Alfred
North Whitehead, menjelaskan alasannya mengapa ia percaya bahwa benda yang kita
alami harus dibedakan dengan jelas dari pengetahuan kita tentang benda
tersebut. Dalam mempertahankan sikap obyektif dari realisme yang didasarkan
atas kebutuhan sains dan pengalaman yang kongkrit dari manusia. Whitehead
menyampaikan tiga pernyataan. Pertama, kita ini berada dalam alam warna,
suara, dan lain obyek indrawi. Alam bukannya dalam diri kita dan tidak
bersandar kepada indra kita. Kedua, pengetahuan tentang sejarah
mengungkapkan kepada kita keadaan pada masa lampau ketika belum ada makhluk
hidup di atas bumi dan di bumi terjadi perubahan-perubahan dan kejadian yang
penting. Ketiga, aktivitas seseorang tampaknya menuju lebih jauh dari jiwa
manusia dan mencari serta mendapatkan batas terakhir dalam dunia yang kita
ketahui. Benda-benda mendapatkan jalan bagi kesadaran kita. "Dunia
pemikiran yang umum" memerlukan dan mengandung "dunia indra yang
umum" (Harold H.Titus, dkk., 1984: 329).
Banyak filosof pada zaman dahulu dan sekarang,
khususnya kelompok idealis dan pragmatis berpendapat bahwa benda yang diketahui
atau dialami itu berbeda daripada benda itu sendiri sesudah mempunyai hubungan
dengan kita. Oleh karena kita tidak akan tahu tentang benda kecuali dalam
keadaan 'diketahui' atau 'dialami' oleh kita. Maka benda yang telah kita
ketahui atau kita alami itu merupakan bagian yang pokok dari benda yang kita
ketahui. Karena itu maka pengetahuan dan pengalaman condong untuk mengubah atau
membentuk benda sampai batas tertentu. Kelompok realis mengatakan bahwa
pemikiran seperti tersebut salah, oleh karena mengambil konklusi yang keliru
dan proposisi yang telah diterima. Tentu saja kita tidak dapat mengetahui suatu
benda kecuali sesudah mempunyai pengalaman tentang benda tersebut. Benar juga
bahwa kita tidak dapat mengetahui kualitas suatu benda yang kita sendiri belum
mengetahui benda itu. Satu-satunya konklusi yang benar adalah faham bahwa semua
benda yang diketahui itu diketahui; dan konklusi seperti ini adalah truism,
yakni tidak membawa hal baru atau bahwa kesadaran adalah suatu unsur dari
pengetahuan kita. Dari pernyataan tersebut, kita tidak dapat mengambil
kesimpulan bahwa benda yang tidak diketahui orang itu tidak mempunyai kualitas
atau bahwa pengalaman 'mengetahui' benda akan mengubah benda itu atau merupakan
eksistensinya. Realisme menegaskan bahwa sikap common sense yang diterima
orang secara luas adalah benar, artinya, bahwa bidang aam atau obyek fisik itu
ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah watak
benda yang kita rasakan (Harold H.Titus, dkk., 1984: 330).
2.
Tokoh
Aliran Realisme
a)
Aristoteles
(384-322 SM)
Aristoteles
adalah seorang murid Plato yang telah mengembangkan gagasan bahwa sementara
gagasan-gagasan mungkin penting bagi diri mereka sendiri, pembelajaran yang
utama tentang materi mengantarkan kita pada gagasan-gagasan yang jelas yang
lebih baik. Menurut Aristoteles, gagasan-gagasan
(atau bentuk-bentuk), seperti ide tentang Tuhan atau ide-ide tentang sebuah
pohon bisa ada walaupun tanpa materi, tapi tidak ada materi yang ada tanpa
bentuk.
Sifat penting dari sebuah biji pohon, sebagai
contoh, merupakan hal-hal yang penting bagi biji dan itulah perbedaan biji dari
semua biji yang lain. Sifat-sifat ini termasuk ukuranya, bentuk, berat dan
warna. Tidak ada biji yang serupa sama sekali, jadi kita bisa mengatakan
bahwa beberapa sifat penting dari suatu biji sebagaimana perbedaan yang
mendasar dari hal hal pada semua biji yang lain. Hal ini bisa disebut dengan
“bebijian” dan itu adalah hal yang universal dengan semua biji yang lain.
Mungkin hal ini bisa dipahami lebih baik dengan mengembalikan pada manusia pada
poin ini. Orang, juga, berbeda dalam sifat-sifat tertentu mereka. Mereka
memiliki perbedaan bentuk dan ukuran, dan tak ada dua orangpun yang sama
persis. Karena semua manusia sesungguhnya berpegang pada sesuatu yang
universal.
3.
Jenis-jenis
Realisme
Realisme adalah suatu istilah yang meliputi
bermacam-macam aliran filsafat yang mempunyai dasar-dasar yang sama. Sedikitnya
ada tiga aliran dalam realisme modern. Pertama, kecenderungan kepada
materialisme dalam bentuknya yang modern. Sebagai contoh, materialisme mekanik
adalah realisme tetapi juga materialisme. Kedua, kecenderungan terhadap
idealisme. Dasar eksistensi mungkin dianggap sebagai akal atau jiwa yang
merupakan keseluruhan organik. James B. Pratt dalam bukunya yang berjudul Personal
Realism mengemukakan bahwa bentuk realisme semacam itu, yakni suatu bentuk
yang sulit dibedakan dari beberapa jenis realisme obyektif. Ketiga, terdapat
kelompok realis yang menganggap bahwa realitas itu pluralistik dan terdiri atas
bermacam-macam jenis; jiwa dan materi hanya merupakan dua dari beberapa jenis
lainnya.
Apa yang kadang-kadang dinamakan realisme
Platonik atau konseptual atau klasik adalah lebih dekat kepada idealisme modern
daripada realisme modern. Dengan asumsi bahwa yang riil itu bersifat permanen
dan tidak berubah, Plato mengatakan bahwa ide atau universal adalah lebih riil
individual. Selama Abad Pertengahan terdapat perdebatan antara realisme klasik
(Platonik) dan nominalis yang bersikap bahwa nama jenis atau universal itu
hanya nama, dan realita itu terdapat dalam persepsi atau benda-benda
individual. Kata-kata hanya menunjukkan jenis atau simbol dan tidak menunjukkan
benda yang mempunyai eksistensi kecuali eksistensi partikular yang kemudian membentuk
suatu kelas (jenis).
Perdebatan tersebut sangat penting selama Abad
Pertengahan. Jika realisme itu benar, akibatnya mungkin ada suatu gereja
universal yang mempunyai dogma yang berwibawa. Semua manusia berdosa karena
Adam berdosa, dan doktrin penebusan dan karya Kristus dapat diterapkan kepada
seluruh umat manusia. Tetapi jika nominalisme itu yang benar, maka hanya gereja
partikular lah yang riil; selain itu, dosa Adam dan penebusan tidak berlaku
lagi bagi tiap orang, dan kita bebas untuk mengganti dekrit-dekrit gereja
dengan keputusan-keputusan pribadi. Gereja Abad Pertengahan membantu realisme,
karena nominalisme condong untuk mengurangi kekuasaan gereja.
Aristoteles adalah lebih realis, dalam arti
modern, daripada gurunya, Plato. Aristoteles adalah seorang pengamat yang
memperhatikan perincian benda-benda individual. Ia merasa bahwa realitas
terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan benda-benda itu.
Dunia yang riil adalah dunia yang kita rasakan sekarang, dan bentuk serta
materi tidak dapat dipisahkan. Dari abad ke-12, pengaruh Aristoteles condong
untuk menggantikan pengaruh Plato. Thomas Aquinas (1224-1274) menyesuaikan
metafisika Aristoteles dengan teologi Kristen dan berhasil memberikan gambaran
yang sempurna tentang filsafat skolastik Abad Pertengahan. Sintesanya yang
besar itu dibentuk dalam tradisi realis.
Di Amerika Serikat, pada dasawarsa pertama abad
ke-20 timbul dua gerakan realis yang kuat, yaitu new realism atau neorealisme
dan critical realism. Neorealisme adalah serangan terhadap idealisme
dan critical realism adalah kritik trhadap idealisme dan neorealisme.
Pembicaraan dipusatkan di sekitar problema teknik dari epistimologi dan
metafisik. Dasawarsa pertama dari abad ke-20 adalah periode gejolak
intelektual. Pada tahun 1910 muncul enam orang guru filsafat di Amerika
Serikat. Mereka membentuk suatu kelompok pada tahun 1912 dan menerbitkan
bersama suatu buku dengan judul The New Realism (Harold H.Titus, dkk.,
1984: 332).
Kelompok Neorealis menolak subyektivisme,
monisme, absolutisme (percaya kepada sesuatu yang mutlak dan yang tanpa batas),
segala filsafat mistik dan pandangan bahwa benda-benda yang non-mental itu
diciptakan atau diubah oleh akal yang maha mengetahui. Mereka mengaku kembali
kepada doktrin common sense tentang dunia yang riil dan obyektif dan diketahui
secara langsung oleh rasa indrawi. "Pengetahuan tentang suatu obyek tidak
mengubah obyek tersebut". Pengalaman dan kesadaran kita bersifat selektif
dan bukan konstitutif; ini berarti bahwa kita memilih untuk
memperhatikan benda-benda tertentu lebih daripada yang lain; kita tidak
menciptakan atau mengubah benda-benda tersebut hanya karena kita mengalaminya.
Sebagai contoh, kata "ada satu kursi di ruangan ini" tidak akan
dipengaruhi oleh adanya pengalaman kita atau tidak adanya pengalaman kita tentang
kursi tersebut.
Kelompok neorealis menerangkan bahwa di samping
keyakinan-keyakinan pokok ini, tidak terdapat suatu pun filsafat hidup yang
memadai, atau suatu jawaban yang pasti tentang pertanyaan mengenai soal-soal
seperti akal, kemerdekaan, maksud dan 'yang baik'. Walaupun begitu, beberapa
pemikir telah menyusun filsafat yang lengkap dari aliran new realism (Harold
H.Titus, dkk., 1984: 332).
Selama dasawarsa 1910-1920 ada tujuh orang yang
membentuk suatu filsafat yang agak berlainan. Pada tahun 1920, mereka
menerbitkan buku dengan judul Essays in Critical Realism. Walaupun
mereka itu setuju dengan kelompok neorealis, bahwa eksistensi benda itu tidak
bersandar kepada pengetahuan tentang benda tersebut, mereka mengkritik
neorealis karena mengadakan hubungan antara obyek dan pengamat; dan hubungan
itu sangat langsung. Kelompok critical realist tidak berpendapat bahwa
kesadaran atau persepsi tentang benda-benda itu bersifat langsung dan tanpa
perantara sebagai yang dikira oleh kelompok neorealis. Benda-benda di luar kita
sesungguhnya tidak berada dalam kesadaran kita; yang ada dalam kesadaran kita
hanya data rasa (gambaran-gambaran mental). Data rasa menunjukkan watak dari
dunia luar serta watak dari akal yang mempersepsikan. Kita tidak bisa melangkah
lebih jauh dari data rasa kepada obyeknya kecuali dengan jalan inference.
Dengan begitu maka kita mempuyai, pertama, akal yang mempersepsi, orang
yang mengetahui atau organisme yang sadar. Kedua, obyek dengan kualitas
primer. Ketiga, data rasa yang menghubungkan antara akal yang mengetahui
dengan obyek.
Kelompok critical realist mengira bahwa
data rasa memberi kita hubungan langsung dengan obyek. Indra sering menunjukkan
obyek-obyek dan dengan begitu indra itu menjelaskan kepada kita watak dari
dunia luar. Lebih jauh, kelompok critical realist percaya bahwa
pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami dan menjelaskan ilusi,
halusinasi, dn kesalahan-kesalahan lain karena data rasa dapat keliru.
Kelompok realis membedakan antara obyek pikiran
dan tindakan pikiran itu sendiri. Pada umumnya, kaum realis menekankan teori
korespondensi untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran adalah
hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada dunia
sebagaimana adanya. Kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang obyektif.
Seorang realis menyatakan, ia tidak menjauhkan
diri dari fakta yang nyata. Ia menekan kemauan-kemauan dan
perhatian-perhatiannya dan menerima perbedaan dan keistimewaan benda-benda
sebagai kenyataan dan sifat yang menonjol dari dunia. Ia bersifat curiga
terhadap generalisasi yang condong untuk menempatkan segala benda di bawah
suatu sistem.
Kebanyakan kaum realis menghormati sains dan
menekankan hubungan yang erat antara sains dan filsafat. Tetapi banyak di
antara mereka yang bersifat kritis terhadap sains lama yang mengandung dualisme
atau mengingkari bidang nilai. Sebagai contoh, Alfred North Whitehead yang
mencetuskan 'filsafat organisme'. Ia mengkritik pandangan sains yang
tradisional yang memisahkan antara materi dan kehidupan, badan dan akal, alam
dan jiwa, substansi dan kualitas-kualitas. Pendekatan semacam itu mengosongkan
alam dari kualitas indra dan condong untuk mengingkari nilai etika, estetika
dan agama. Metodologi Newton menyebabkan sukses dalam sains fisik akan tetapi
menjadikan alam tanpa arti dan tanpa nilai; banyak orang yang mengatakan bahwa
nilai dan ideal adalah khayalan belaka dan tidak mempunyai dasar yang obyektif.
Sikap semacam itu adalah akibat abstraksi dan penekanan beberapa aspek realitas
serta menganggap sepi aspek-aspek lain. Whitehead menamakan proses abstraksi
ini fallacy of misplaced concretness. Hal ini terjadi jika seseorang
memperhatikan suatu aspek dari benda dan menganggapnya sebagai keseluruhan.
Dengan cara ini, maka garis-garis yang arbitrair (sewenang-wenang) digambarkan
antara apa yang dianggap penting oleh penyelidik dan apa yang ia ingin untuk
mengusulkan sebagai tidak benar.
4.
Ciri-Ciri Kelompok yang Mengikuti Aliran Realisme
a) Kelompok realis
membedakan antara obyek pikiran dan tindakan pikiran itu sendiri. Menekankan
teori korespondensi untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran
adalah hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada
dunia sebagaimana adanya. Kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang
obyektif.
b) Seorang realis menyatakan, ia tidak
menjauhkan diri dari fakta yang nyata. Menekan kemauan-kemauan dan
perhatian-perhatiannya dan menerima perbedaan dan keistimewaan benda-benda
sebagai kenyataan dan sifat yang menonjol dari dunia. Ia bersifat curiga
terhadap generalisasi yang condong untuk menempatkan segala benda di bawah
suatu sistem.
c) Kebanyakan kaum
realis menghormati sains dan menekankan hubungan yang erat antara sains dan
filsafat. Tetapi banyak di antara mereka yang
bersifat kritis terhadap sains lama yang mengandung dualisme atau mengingkari
bidang nilai. Sebagai contoh, Alfred North Whitehead yang mencetuskan 'filsafat
organisme'. Ia mengkritik pandangan sains yang tradisional yang memisahkan
antara materi dan kehidupan, badan dan akal, alam dan jiwa, substansi dan
kualitas-kualitas.
5.
Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme
a)
Metafisika-realisme. Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik
(materialisme). Kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk
dari berbagai kenyataan (pluralisme).
b)
Humanologi-realisme. Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan
sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir.
c)
Epistemologi-realisme. Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung
pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh
pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran
pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
d)
Aksiologi-realisme. Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang
diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
6.
Aliran Realisme Dalam Pendidikan
Aliran
filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran
yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme
adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah
kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme),
dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme); (2)
Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan.
Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir; (3)
Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada
pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat
dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta; (4)
Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang
diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
Dalam
hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dimulai
sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada
tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang
sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah,
metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda
dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan
pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan,
melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan
terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran
yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan
pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana
memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat
dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan
siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan
strategi mengajar yang bermanfaat. Implikasi filsafat
realisme dalam pendidikan ada 5, yaitu :
a)
Tujuan Pendidikan
Aristoteles berpendapat bahwa
pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai kebahagiaan dengan mengembangkan
potensi diri seoptimal mungkin agar manusia menjadi unggul. Rasionalitas
manusia adalah kekuatan tertinggi manusia yang harus dikembangkan melalui
belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Manusia harus pula memberanikan diri
untuk mengenal diri, melatih potensi dan mengintegrasikan berbagai peran dan
tuntutan kehidupan sesuai dengan tatanan rasional berjenjang.
b)
Kurikulum
Kurikulum dikembangkan secara
komprehensif mencakup semua pengetahuan yang sains, sosial, maupun muatan
nilai-nilai. Isi kurikulum lebih efektif diorganisasikan dalam bentuk mata
pelajaran karena memiliki kecenderungan berorientasi pada peserta didik (subject
centeed).
c)
Peranan siswa
Peran peserta
didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal
disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar.
Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
d)
Peranan Guru
Peranan pendidik
adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras
menuntut prestasi peserta didik.
e)
Metode
Belajar
tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus
logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode
pokok yang digunakan.
7.
Kelebihan dan Kelemahan
Aliran Realisme Dalam Pendidikan
Aliran filsafat realisme memiliki
beberapa kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan dan kelemahan yang dimiliki
oleh aliran realisme diantaranya adalah sebagai berikut :
a)
Kelebihannya
(1) Program pendidikan terfokus sehingga
peserta didik dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup, dan dapat
melaksanakan tanggung jawab sosial dalam hidup bermasyarakat.
(2) Peranan peserta didik adalah penguasaan
pengetahuan yang handal sehingga mampu mengikuti perkembangan Iptek.
(3) Dalam hubungannya dengan disiplin,
tatacara yang baik sangat penting dalam belajar. Artinya belajar dilakukan
secara terpola berdasarkan pada suatu pedoman. Karena peserta didik perlu
mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat kebaikkan.
(4) Kurikulum komprehensif yang berisi semua
pengetahuan yang berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab
sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
(5) Metodenya logis dan
psikologis, semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun
tidak langsung. Metode mengajar bersifat logis, bertahap dan berurutan.
b)
Kelemahannya
(1) Pada tingkat
pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Menurutnya
pembawaan dan sifat manusia sama
pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus
seragam. Namun, tidak semua manusia itu sama dalam
menangkap pelajaran karena kemampuan tiap orang berbeda-beda sehingga harus disesuaikan
dalam proses pendidikan.
(2) Kekeliruan menilai
persepsi, tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan/halusinasi, semua
persepsi tergantung konteks visual.
III.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Wibisono,
Koento. 1983. Arti Perkembanqan Menurut Filsafat Positivisme Auquste Comte,
Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Achmadi,
Drs. Asmoro.1997. Filsafat Umum. Ed. 1, cet. Ke-2. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Praja,
Prof. Dr. Juhaya S. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Ed. 1. cet. Ke-2.
Jakarta: Kencana.
Syaebani.
2008. Filsafat Positivisme dan Ciri-Cirinya. http://syaebani.blogspot.com/2008/05/filsafat-positivisme-dan-ciri-cirinya.html 17 Dec
16.30
Purwanto,
Edi. 2008. Menyelami Dunia Positivisme. http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/05/14/menyelami-dunia-positivisme-mencari-dunia-post-positifisme/ 17 Dec
17.10
Ahmad,
Abu. 2009. Logical Positivisme.
Diningrat,
Kanjeng. 2010. Positivisme.
Adi,
Bambang, Nugraha. 2012. Filsafat Positivisme http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/filsafat-positivisme_2540.html
17 Dec 20.10
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte 17
Dec 18.10
http://en.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill 17 Dec
18.16
http://en.wikipedia.org/wiki/Hippolyte_Taine 17 Dec
18.23
http://en.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_Durkheim 17 Dec 18.28
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011) h. 131-132
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat
Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 289
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama.
Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h.
141.
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru
Mengenai Interprestasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, Penj. Musnur Hery dan Damanhuri), h. 3.
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 149-150
Achmadi, Asmoro. Filsafat umum. Jakarta.
PT. RAJAGRAFINDO PERSA. 2010. Hal, 50
Maksum dan Ali. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik hingga
Postmodernisme.Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA. 2011.
Ngainun,naim. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Teras, 2009.h, 40.
Abdul halim mahmud,ali. Tradisi Baru Penelitian
Agama. Bandung:Nuansa.2001. h, 50
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama.
Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009
0 komentar:
Posting Komentar