Rabu, 14 Desember 2016

PEMIKIRAN FILSAFAT POSITIVISME, PENOMENOLOGI, PARAGMATISME DAN REALISME



I.               PENDAHULUAN
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dantaat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
II.            PEMBAHASAN
A.    Positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi  pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya (Ahmad,2009).
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh  seorang filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi,1997).
Tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).

1.        Pengertian
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja, 2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti- properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan  indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia-sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya, mengandalkan pada fakta-fakta.

2.        Perkembangan Positivisme
Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu: Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.


3.        Ciri-ciri positivisme
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
a)        Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b)        Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
c)        Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.
d)       Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
e)        Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f)             Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work (Syaebani, 2008).

4.         Metode Filsafat Positivisme
Menurut Koento Wibisono (1983: 39) filsafat posi­tivisme menggunakan metode pengamatan, percobaan dan per­bandingan, kecuali dalam menghadapi gejala dalam fisika sosialdigunakan metode sejarah.
Pengamatan digunakan untuk mempelajari astronomi, kesemuanya ini berkaitan dengan ukuran waktu dan adapun untuk ilmu fisika disamping pengamatan juga digunakan percobaan, dalam percobaan ini pengamatan tak ketinggalan. Dalam mempelajari ilmu kimia disamping percobaan dan pengamatan,  digunakan juga metode peniruan (artifisial). Dalam ilmu biologi menggunakan metode per­cobaan, yang disesuaikan dengan kompleksitasnya gejala, maupun dalam sosiologi, digunakan pengamatan, percobaan, dan perbandingan, dan bahkan metode sejarah, ini diguna­kan untuk menguraikan gejala-gejala yang kompleks.

5.        Fungsi Filsafat Positivisme
Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu :
a)        Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekula­tif, atau dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan, yang antara lain turut mendorong perkembangan teknologi.
b)        Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berba­gai implikasi dalam segi kehidupan. Dengan kata lain, fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pen­dorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dira­sakan sebagai kebutuhan.
c)        Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan kenyataan, sedemikian rupa sehingga keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka (Adi,2012).

6.        Kelebihan dan Kelemahan Positivisme
Karl R. Popper kritik terhadap Positivisme Logis asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya  positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:

a)        Kelebihan Positivisme
(1)     Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini  jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
(2)     Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
(3)     Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
(4)     Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
(5)     Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan.

b)        Kelemahan Positivisme
(1)   Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik biologik.
(2)   Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
(3)   Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
(4)   Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
(5)   Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
(6)   Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic (Diningrat,2010).

B.     Penomenologi
Dalam abad 20 muncul banyak aliran filsafat dan banyak merupakan penerus filsafat-filsafat abad modern seperti neotomisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain-lain. Ada yang baru dengan corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi, Eksistensialisme, Pragmatisme, Strukturalisme dan Postmodernisme. Tokoh utama dan pendiri Fenomenologi adalah Edmund Husserl (1895-1938). Ini adalah ilmu tentang apa yang tampak atau menampakkan diri kepada kesadaran manusia. Sebelum itu (sejak Descartes) kesadaran selalu tertutup. Orang mengenal diri dan dengan itu mengenal realitas. Padahal menurut Husserl kesadaran selalu intensional yang berarti selalu terarah kepada realitas.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang berhubungan sangat erat yang menentang metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjuk suatu sistem filsafat secara khusus. Ada perbedaan-perbedaan besar antara para pengikut aliran ini, tetapi terdapat tema-tema yang sama pada para penganutnya sebagai ciri khas filsafat ini, antara lain:
1.      Protes terhadap rasionalisme dan idealisme Hegel (masyarakat modern).
2.      Protes terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari konkret (atas nama individualisme).
3.      Protes terhadap alam yang impersonal dari zaman industri modern dan teknologi dan gerakan masa.
4.      Menekankan situasi manusia dan harapan manusia di dunia.
5.      Keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

1.      Pengertian fenomenologi.
Kata fenomena berasal dari kata Yunani “fenomenon”, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomena adalah suatu aliran yang membicarakan fenomenon atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama. 
Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.

2.      Tokoh-tokoh filsafat fenomenologi
a)      Edmund Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. diantaranya:
(1)   Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di balik fenomena).
(2)   Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
(3)   Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek) Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :
(1)   Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
(2)   Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
(3)   Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.

b)        Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya:
(1)     Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
(2)     Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
(3)     Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
c)      Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang  belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat  noumena  dan  phenoumena.

d)     Maurice Merlean Ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu: Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.

3.      Pengaruh Husserl pada Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre
Pengaruh Husserl pada Heidegger dan Sartre, tampaknya bukan hanya pada penggunaan metodenya, tetapi juga pada konsepsinya tentang struktur kesadaran (intensionalitas) dan Lebenswelt. Baik Heidegger maupun Sartre, secara terbuka mengakui pengaruh yang sangat kuat dari fenomenologi Husserl pada metode dan filsafat mereka. Namun demikian, kedua filusuf ini tidak menerima secara mentah gagasan Husserl tentang fenomenologi, karena mereka pun dengan gemilang memodifikasinya berdasarkan pada pemikiran teoretis dan kebutuhan praktis mereka. Mereka berdua mengeritik “idealisme” yang melekat pada fenomenologi Husserl dan mengembalikannya ke tujuan Husserl yang semula, yakni “kembali kepada realitas sendiri”, yang terdapat pada “objek”, bukan pada “subjek”. Dengan perkataan lain, oleh Heidegger fenomenologi dibuat “realistik” dan diarahkan bukan untuk meneliti struktur kesadaran transendental, melainkan untuk meneliti “makna Ada” melalui “adanya manusia” (Dasein). Ia menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutik dan sering juga menyebutkan Analisa Eksistensial, sedangkan objek pengamatannya adalah manusia yang hidup dalam dunianya (in-der-welt-Sein). Sartre, mengikuti Heidegger, membuat fenomenologi husserl menjadi “realistik” juga, dan fenomenologinya digunakan untuk menelaah struktur kesadaran manusia dalam kaitannya dengan Ada dan dunianya. Ia menamakan fenomenologinya Analisa Eksistensial atau psikoanalisis eksistensial.
Pengaruh konsepsi Husserl tentang intensionalitas kesadaran pada Heidegger dan Sartre, tampak dari pemahaman mereka mengenai aktivitas-aktivitas atau “karakter-karakter” manusia dalam hubungannya dengan realitas dan dunianya. Meskipun Heidegger tidak secara eksplisit menjelaskan kesadaran manusia, tetapi ia mengandaikan begitu saja karakter kesadaran manusia dan aktivitas-aktivitasnya, sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Husserl. Konsepsinya tentang “milik sendiri”, kecemasan, ketiadaan, dan Ada dalam dunia misalnya, mengandaikan adanya aktivitas kesadaran manusia dalam mengonstitusikan dunianya, yakni aktivitas kesadaran yang telah dibicarakan oleh Husserl. Akan tetapi, pada Sartre kesadaran itu dieksplisitkan. Ia, seperti yang dilakukan oleh Husserl, menelaah struktur kesadaran dan menemukan fakta baru bahwa kesadaran pun harus dibedakan antara kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kemudian, konsepsi-konsepsi Sartrean, seperti konflik, melafide, kecemasan, dan rasa muak, mengandaikan adanya aktivitas kesadaran seperti konstitusi.
Konsepsi Husserl tentang Lebenswelt, yang menempati kedudukan sentral dalam pemikiran filsafatnya pada periode-periode akhir hidupnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dan menarik pada pemikiran Heidegger dan Sartre pada khususnya, dan pada para eksistensialis pada umumnya. Dengan berangkat dari dunia yang dihayati (Lebenswelt), seperti yang dianjurkan oleh Husserl, maka Heidegger dan Sartre berhasil menguak tabir kehidupan manusia, yang selama ini terkubur dalam-dalam di bawah permukaan teori-teori “ilmiah” tentang manusia.

4.      Fenomenologi sebagai metode ilmu.
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang  harus  ditempuh  untuk  mencapai  esensi  fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

5.      Kontribusi fenomenolgi terhadap ilmu pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan membicaraan  mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial,  karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya

6.      Fenomenologi dalam konsep agama Islam
 Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.

a)      Tujuan Pendekatan Fenomenologi
Tujuan dari Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan. Serta memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.

b)      Karakteristik Pendekatan Fenomenologi       
 Pendekatan fenomenologi dalam penelitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran agama non-islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.

c)      Langkah-langkah Metode Fenomenologi
(1)   Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
(2)   Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
(3)   Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
(4)   Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
(5)   Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.

d)     Contoh Pendekatan Fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan,berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.

(1)     Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.

(2)     Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubungannya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran  dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud

(3)     Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.

e)      Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif  dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.

C.    Paragmatisme
Pragmatisme merupakan gerakan filsfat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Ia adalah filsafat yang mencerminkan dengan kuat sifat-sifat kehidupan Amerika. Pragmatisme banyak hubungannya dengan nama seperti Charles S. Peirce (1839-1934), Willam James (1842-1910), John Dewey (1859-1952) dan George Herberrt Mead (1863-1931).
Pragmatisme berusaha untuk menengahi antra tradisi empiris dan tradisi idealis, dan menghubungkan hal yang sangat berarti dalam keduanya. Pragmatisme adalah suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai-nilai kebenaran. William James mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang dianggap sangat penting, serta melihat ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah akibat dan fakta-fakta.
Pragmatisme lebih menekankan kepada metoda dan pendirian daripada kepada doktrin filsafat yang sistematis. Ia adalah metoda penyelidikan eksperimenal yang dipakai dalam segala bidang pengalaman manusia. Pragmatisme memakai metode ilmiah modern sebagai dasar suatu filsafat. Ia sangat dekat kepada sains, khususnya biologi dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan bertujuan untuk memakai jiwa ilmiah dan pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problema-problema manusia termasuk juga etika dan agama. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu, filsafat telah keliru karena mencari hal-hal yang mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan kita tidak dapat melangkah keluar daripadanya. Bagi John Dewey, pengalaman adalah pokok. Pengalaman adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya.
Walaupun pragmatisme sebagai filsafat yang sistematis adalah baru jika dibandingkan dengan yang lain, namun sikap dan ide-ide yang serupa dapat ditemukan dalam karangan pemikir-pemikir yang terdahulu. Sebagai contoh, kata pragmatis dipakai oleh Kant untuk menunjukkan pemikiran yang sedang berlaku dan ditetapkan oleh maksud-maksud dan rencana-rencana. Ia menggunakan kata pragmatis sebagai kebalikan dari kata praktikal yang menunjukkan kepada bidang etika. Kant mengajak untuk mendapatkan watak moral khususnya rasa kewajiban, dan kemauan untuk menegakkan kebenaran beberapa keyakinan seperti: kemerdekaan kemauan, Tuhan dan kelangsungan jiwa. Prinsip Kant tentang lebih pentingnya akal praktis telah merintis jalan bagi pragmatisme.


1.        Pengertian
Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Sedangkan menurut istilah adalah berasal dari bahasa Yunani “ Pragma” yang berarti perbuatan ( action) atau tindakan (practice). Isme sendiri berarti ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikran itu menuruti tindakan.
Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh  sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.


2.        Tokoh Aliran Paragmatisme
a)        Charles S. Pierce
Charles S. Pierce, yang terkenal sebagai pendiri pragmatisme, mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Pierce mengatakan bahwa problema-problema termasuk persoalan-persoalan metafisik dapat dipecahkan jika kita memberi perhatian kepada akibat-akibat praktis dari mengikuti bermacam-macam pikiran. Orang mengatakan bahwa pragmatisme muncul pada tahun 1878 ketika Pierce menerbitkan makalanya yang berjudul How To Make Our Ideas Clear.
Walaupun ia tidak pernah menulis suatu buku tentang filsafat atau menyusun pikirannya dalam suatu bentuk yang sistematis, namun kegiatannya dalam sastra berlangsung bertahun-tahun. Dengan diterbitkan tulisan-tulisannya dalam dasawarsa terakhir, perhatian kepada filsafat Pierce bertambah dan diakui sebagai intelektual yang luar biasa. Ia merupakan suatu gabungan yang langka antara seorang ilmuwan fisika dengan kebiasan-kebiasaan memikir tentang laboratorium, seorang peminat filsafat, dan seorang yang mempunyai keyakinan moral yang kuat.
Pierce merupakan seorang ahli logika yang mementingkan problema teknis dari logika dan epistemologi serta metoda sains dalam laboratorium. Perhatiannya dalam logika mencakup penyelidikan sistem deduktif, metodologi dalam sains empiris dan filsafat yang ada di belakang metoda dan teknik yang bermacam-macam. Logikanya mencakup teori alamat (signs dan symbols) dan karyanya dalam hal tersebut merupakan karya perintis. Ia memandang logika sebagai alat komunikasi atau usaha kooperatif atau umum. Pendekatan semacam itu memerlukan penelitian yang kritis dan memerlukan bantuan orang lain dalam usahanya yang terus menerus untuk menjelaskan pikiran-pikiran. Pierce berhasrat untuk mendirikan filsafat atas dasar ilmiah dan untuk menganggap teori-teori sebagai hipotesa yang berlaku. Ia menamakan pendekatan-pendekatannya itu pragmatisme.
Salah satu sumbangan Pierce yang paling penting bagi filsafat adalah teorinya tentang arti. Pada hakekatnya ia membentuk satu dari teori-teori modern tentang arti dengan mengusulkan suatu teknik untuk menjelaskan pikiran. Hal itu dapat ditemukan dengan baik jika kita menempatkan pikiran tersebut dalam ujian eksperimental dan mengamati hasilnya. Ukurannya tentang berarti adalah dengan memperhatikan bagaimana suatu benda akan bertingkah jika ia mempunyai suatu sifat atau termasuk dalam suatu jenis. Jika benda itu keras ia akan menggores benda-benda lain, dan jika ia bersifat seperti bensin, ia akan menguap dengan cepat, dan lain-lain.
Empirisme Pierce lebih bersifat intelektual daripada voluntaris (segi kemauan); ini berarti bahwa ia menekankan kepada intelek dan pemahaman lebih daripada kemauan dan aktivitas. Rasa tidak enak karena sangsi mendorong kita mencari keyakinan. Hasil dari pencarian tersebut, yang maksudnya adalah untuk menghilangkan kesangsian, adalah pengetahuan. Dengan begitu maka ia tidak menekankan kepada rasa indrawi atau kemauan seperti yang dilakukan oleh bentuk-bentuk terakhir dari pragmatisme umum. Di satu pihak, Pierce bersifat kritis terhadap intuisionisme dan prinsip-prinsip a priori. Walaupun ia setuju dengan sebagian dari pandangan-pandangan a priori, ia tidak menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa empirisme memerlukan pengingkaran terhadap kemungkinan metafisik.
Dalam bidang metafisik dan lain-lainnya, kita harus menjauhkan diri dari rasa telah mencapai tujuan akhir. Pierce setuju dengan faham fallibilism. Orang yang sangat pandai pun dapat salah juga. Penyelidikan yang progresif akan membawa kita kepada perubahan yang terus menerus. Pierce percaya kepada chance (nasib), karena walaupun alam itu bertindak secara teratur menurut hukum alam, ia berpendapat bahwa keteraturan alam itu tak pernah sempurna. Nasib dan kebiasaan memegang peran dalam kejadian-kejadian di dunia. Fallibilisme dan hari kemudian yang terbuka menggantikan skeptisisme dan absolutisme, dan pragmatisme menggantikan sistem kepercayaan yang tetap dalam filsafat dan sains. Walaupun Pierce sangat memperhatikan logika dan metodologi, tulisan-tulisannya menunjukkan secara jelas bahwa ia memberi tempat kepada idealisme evolusioner yang menekankan kebutuhan kepada prinsip cinta, sebagai kebalikan dari individualisme yang sempit dalam urusan-urusan manusia.

b)        William James
Perkembangan pragmatisme yang cepat adalah disebabkan oleh tanah yang subur yang ditemukan di Amerika dan oleh penyajian yang sangat menarik dari William James. Dalam bukunya Pragmatism, James mempertentangkan rasionalis yang lunak yang biasanya mempunyai pandangan yang idealis dan optimis, dengan empiris yang keras, yang suka kepada fakta, dan yang biasanya merupakan seorang materialis dan pesimis. Kepada mereka itu James berkata: "Aku menyajikan pragmatisme, suatu aliran yang namanya aneh, sebagai suatu filsafat yang dapat memuaskan dua macam kebutuhan. Pragmatisme dapat tetap bersifat religius seperti rasionalisme, tetapi pada waktu yang sama, ia sangat memperhatikan fakta sebagaimana aliran empirisme".

(1)     Empirisme Radikal
James mendefinisikan istilah empirisme radikal sebagai berikut: "Aku mengatakan empirisme oleh karena empirisme merasa puas untuk menganggap hasil pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari". James juga pernah berkata: "Untuk menjadi radikal suatu empirisme harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung". James menganggap hubungan (relation) seperti "lebih besar daripada" sebagai salah satu dari unsur-unsur yang dialami secara langsung.
Pragmatisme sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah tindakan menengok terhadap hasil-hasil dari fakta-fakta, dan bukan terhadap prinsip-prinsip dan kategori. Ia menerima pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari sebagai dasar. Realitas adalah hal yang dialami, apakah itu merupakan benda atau perubahan keadaan. Oleh karena pengalaman itu terpisah-pisah, maka kelompok pragmatis mendapatkan benda-benda ada yang disambung dan ada yang perlu dipisah serta menerima apa adanya. Sebagai akibat, mereka berpendapat bahwa realitas itu banyak (pluralitas) dan tidak satu (monistis) atau dua (dualistic). Terdapat paham yang kita terima, yakni data rasa yang dibawakan dari luar diri kita sebagai stimulus (daya perangsang). Kemudian ditambah dengan unsur interpretatif yang diberikan oleh makhluk yang sadar. Pengalaman kita yang kreatif yang terdiri atas bahan yang kita terima serta unsur interpretatif merupakan realitas yang kita ketahui. Dengan begitu, maka pengetahuan didasarkan atas persepsi indrawi atas pengalaman yang membentuk kesadaran yang terus menerus.

(2)     Teori Kebenaran William James
James memberikan suatu pernyataan yang membingungkan yaitu truth happens to an ideas (kebenaran itu terjadi kepada suatu ide). Hal yang membingungkan dalam pernyataan itu adalah bahwa teori kebenaran yang tradisional mengatakan sebaliknya, yakni bahwa kebenaran itu suatu hubungan yang pasti dan tetap (statis). Ketika James menyelidiki teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menyatakan, apakah arti kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide. Tidak ada sesuatu motiv dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, kecuali untuk memberi petunjuk bagi tindakan yang praktis.
James akan bertanya, "Apakah perbedaan yang kongkrit yang akan disebabkan oleh ide itu dalam penghidupan?". "Suatu perbedaan yang tidak menyebabkan perbedaan bukanlah perbedaan", akan tetapi hanya permainan kata. Suatu ide menjadi benar atau dijadikan benar hanya oleh kejadian-kejadian. Suatu ide itu benar jika ia berhasil atau jika ia memberi akibat-akibat yang memuaskan. Kebenaran itu relatif, kebenaran juga berkembang. Kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil dalam cara kita berpikir dan kebenaran (right) adalah yang menjadikan berhasil cara kita bertindak.
Ide, doktrin dan teori menjadi alat untuk membantu kita menghadapi situasi; doktrin bukannya jawaban terhadap permasalahan. Suatu teori itu adalah buatan manusia untuk menyesuaikan diri dengan maksud-maksud manusia, dan satu-satunya ukuran kebenaran suatu teori adalah jika teori tersebut membawa kita kepada hal-hal yang berfaidah. Keberhasilam (workability), kepuasan (satisfiction), konsekuensi dan hasil (result) adalah kata-kata kunci dalam konsep pragmatisme tentang kebenaran.
Moralitas, seperti kebenaran, bukannya tetap akan tetapi berkembang karena situasi kehidupan, sumber dan otoritas bagi kepercayaan, dan tindakan hanya terdapat dalam pengalaman. Hal yang baik adalah sesuatu yang memberikan kehidupan yang lebih memuaskan; yang jahat adalah sesuatu yang condong untuk merusak kehidupan. James adalah seorang pembela yang kuat bagi kemerdekaan moral dan indeterminisme. Ia percaya bahwa determinisme adalah pemalsuan intelektual dan pengalaman. Ia mendukung meliorisme, yang berarti bahwa dunia itu tidak seluruhnya jahat dan tidak seluruhnya baik, akan tetapi dapat diperbaiki. Usaha manusia untuk memperbaiki dunia adalah berharga dan berfaidah, dan kecondongan evolusi biologi dan sosial adalah ke arah perbaikan semacam itu.

(3)     Kemauan untuk Percaya
James mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada agama. Doktrin pluralisme kebenaran, meliorisme, begitu juga doktrinnya tentang kemauan untuk percaya, semuanya memberi sumbangan kepada pendapatnya tentang agama dan Tuhan. Pada akhir-akhir karyanya ia mengakui bahwa 'kemauan untuk percaya' dapat dinamakan 'hak untuk percaya'.
Pertama, bahwa empirisme radikal tidak lagi mencari kebutuhan manusia serta kesatuan manusia dan kesatuan metafisik di belakang pengalaman, dan menekankan aliran kesadaran yang ada. Kesadaran menunjukkan minat, keinginan dan perhatian; ia merupakan tindakan kemauan dan rasa indrawi, segi yang menentukan adalah kemauan dan bukan akal. Kemauan menetapkan bagaimana dan apa yang akan kita alami; dengan begitu maka secara empiris berpikir itu nomor dua sesudah 'mau'. Apa yang dipilih dan ditekankan menjadi vital dan riil. Dengan begitu maka dunia yang kita alami sebagian besar adalah bikinan kita sendiri.
Mengenai ide-ide kita, keadaannya sama dengan persepsi indrawi kita. Ide-ide yang menarik minat serta minta perhatian kita cenderung untuk menjauhkan ide-ide yang lain dan menguasai lapangan; dan ide-ide tersebut condong untuk menemukan ekspresi dalam tindakan-tindakan kita. Dalam kehidupan individual memerlukan mengambil beberapa keputusan. Bagaimana mereka harus bertindak untuk mengambil keputusan tersebut dan memformulasikan keyakinan mereka? Dalam beberapa keadaan, keadaannya jelas dan pasti, dan dalam keadaan tersebut mereka perlu bertindak sesuai dengan kejelasan tersebut. Dalam situasi lain, di mana pilihan antara tindakan yang dipertimbangkan itu dipaksakan atau sangat remeh, mereka dapat menangguhkan keputusan mereka atau sama sekali tidak mengambil keputusan. Tetapi terdapat situasi di mana orang-orang menghadapi permasalahan yang sangat menentukan (crucial) dan mereka harus mengambil pilihan dan bertindak, karena kegagalan mengambil pilihan berarti telah memihak kepada salah satu alternatif. Jika masalahnya adalah kehidupan, dipaksakan dan harus segera dilakukan, orang harus bertindak walaupun tidak mempunyai kejelasan yang dapat dipakai dasar untuk mengambil keputusan.
Doktrin James tentang kehendak untuk percaya, berlaku bagi situasi nomor tiga ini, di mana suatu pengambilan keputusan diharuskan oleh situasi. Sebagai contoh, apakah saya mengawini wanita (atau pria) ini sekarang, atau harus menunggu sampai saya menjadi pasti bagaimana jadinya perkawinan itu nanti? Di sini seseorang tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah perkawinan itu akan bahagia dan sukses. Tidak semua fakta dapat diketahui dan seseorang tidak dapat menunggu sampai bukti-bukti terkumpul semua; walaupun begitu, soalnya tetap hidup, dan dipaksakan serta harus dilakukan. Untuk tidak bertindak sudah berarti mengambil keputusan, yakni tidak akan mengawini orang itu sekarang. Jika kemauan untuk percaya mendorong kepada kepada pengambilan keputusan dan bertindak, kemauan tersebut membawa kita kepada penemuan dan keyakinan atau kepada kebenaran dan nilai, hanya karena fakta bahwa ada kemauan. Nilai-nilai kehidupan adalah empiris, dapat ditemukan dan dicoba dalam proses kehidupan.
Menurut James, dalam bermacam-macam pengalaman kehidupan, manusia mempunyai hubungan dengan suatu zat yang lebih (a 'more'). Manusia merasakan di sekitarnya ada sesuatu yang simpatik dan memberinya dukungan (support). Ia menunjukkan sikap bersandarnya kepada zat tersebut dalam sembahyang dan doa. Rasa tentang adanya zat yang lebih (the 'more') membawakan ketenangan, kebahagiaan, dan ketenteraman; selain itu hal ini merupakan pengalaman universal. Dalam arti keagamaan, Tuhan adalah kecondongan ideal tersebut atau pendukung yang murah hati dalam pengalaman manusia.
Seperti telah diketahui, James terpengaruh oleh hal-hal yang baru, kemerdekaan, kemauan individualitas dan ketidakseragaman yang bersifat inheren dalam alam ini. Akibatnya ia menekankan pendapat bahwa Tuhan itu terbatas. Oleh karena dalam dunia ini terdapat kemungkinan-kemungkinan yang riil baik untuk kejahatan atau untuk kebaikan, maka tak mungkin ada Tuhan yang maha baik dan maha kuasa yang menciptakan dunia sebagai yang kita ketahui. Walaupun begitu Tuhan itu bermoral dan bersikap bersahabat dan manusia dapat bekerja sama dengan Tuhan dalam perjuangan menciptakan suatu dunia yang lebih baik.

c)        John Dewey
Makin besar dan kuatnya pragmatisme secara terus menerus adalah berkat tulisan-tulisan John Dewey. Dewey mencapai kemasyhuran dalam logika, epistimologi, etika, estetika, filsafat politik ekonomi dan pendidikan. Bagi Dewey dan pengikut-pengikutnya istilah instrumentalisme dianggap lebih tepat dari istilah pragmatisme, akan tetapi kedua-duanya tetap dipakai.
Dewey adalah seorang yang bersifat kritis secara serius dan terus menerus terhadap jenis-jenis filsafat klasik dan tradisional dengan usaha untuk mencari realitas yang tertinggi dan menemukan zat yang tetap (immutable). Dewey mengatakan bahwa filsafat-filsafat semacam itu telah memperkecil atau menganggap rendah pengalaman manusia. Dewey mengatakan bahwa manusia telah memakai dua metoda untuk menghindari bahaya dan mencapai keamanan.
Metoda pertama adalah dengan melunakkan atau minta damai kepada kekuatan-kekuatan di sekitarnya dengan upacara-upacara keagamaan, korban, berdoa, dan lain-lain. Metoda kedua adalah dengan menciptakan alat untuk mengontrol kekuatan-kekuatan alam bagi maslahat manusia. Ini adalah jalannya sains, industri, dan seni, dan cara inilah yang disetujui Dewey.
Tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di dunia, dan sekarang. Perhatian dialihkan dari problema metafisik tradisional kepada metoda, sikap, dan teknik untuk kemajuan ilmiah dan kema-syarakatan. Metoda yang diperlukan adalah penyelidikan eksperimental yang diarahkan oleh penyelidikan empiris dalam bidang nilai.

(1)     Pengalaman dan Dunia Yang Berubah
Experience (pengalaman) adalah salah satu dari kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah mengenai dan untuk pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian.
Pada masa yang lalu pun para filosof berusaha menemukan pengalaman teoritis tertinggi (theoritical super-experience) yang dapat dijadikan dasar untuk hidup yang aman dan berarti. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi manusia sehingga tidak melihat alam; pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Dunia yang ada sekarang, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah-sawah dan pabrik-pabrik, dunia tumbuh-tumbuhan dan binatang, dunia kota yang hiruk-pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memahaminya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat di mana tiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan.
Dewey menganggap persoalan evolusi, relativitas, dan proses waktu secara sangat serius. Dunia ini masing-masing tetap dalam penciptaan dan selalu bergerak ke muka. Pandangan tentang dunia seperti tersebut sangat bertentangan dengan gambaan realitas yang tetap dan permanen yang ditemukan pada filosof Yunani dan Abad Pertengahan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari filsafat instrumentalismenya. Pertama, kata temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemajuan yang riil dalam waktu. Kita tidak dapat lagi mengikuti pandangan seorang penonton tentang realitas. Pengetahuan kita tidak hanya mencerminkan dunia; ia mengubah bentuk dan wataknya. Kedua, kata futurisme mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak kepada hari kemarin. Hari esok yang berasal dari hari kemarin, tidak akan merupakan ulangan, akan tetapi merupakan hal yang baru. Ketiga, meliorisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita, pandangan ini juga dianut oleh William James.

(2)     Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori instrumental tentang ide-ide dan menggunakan intelegensia (kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah biologis, ia mementingkan persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya. Semua pemikiran dan semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat pertahanan bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
Penilaian yang reflektif terjadi jika terdapat suatu problema, atau jika adat kebiasaan kita terhalang dalam krisis-krisis tertentu. Intelegensi adalah alat untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan yang dicari oleh individual atau masyarakat. Tidak ada bahan tertentu yang terpisah dalam otak dan mempunyai daya berpikir. Akal dimanifestasikan dalam kemampuan kita untuk menanggapi apa yang tidak jelas atau problematik dalam pengalaman. Mengerti dan bertindak, keduanya bersifat terus menerus. Mengetahui terjadi dalam alam dan faktor-faktor indrawi serta rasional tidak lagi berlomba-lomba, malahan bersama-sama sebagai bagian-bagian dari proses bersatu. Ide adalah rencana tindakan yang harus dilakukan. Teori ilmiah, seperti alat-alat yang lain dibuat oleh manusia dalam mencari tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang khusus. Tujuan dan pemikiran adalah untuk membentuk kembali realitas yang telah dialami dengan peraturan teknik eksperimen.

(3)     Kemerdekaan Kemauan dan Kebudayaan
Menurut filsafat instrumentalisme Dewey, manusia dan alam selalu saling bersandar. Manusia bukannya sebagian badan dan sebagian jiwa, ia bersatu dengan alam dan alam diinterpretasikan sehingga mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah berpikir dan menjadi cerdas. Alam dikatakan tidak rasional dan tidak irrasional. Alam dapat dipikirkan dan dipahami, alam tidak hanya sesuatu yang harus diterima dan dimanfaatkan, tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol dengan eksperimen. Dewey dengan kelompok instrumentalis modern adalah pembela yang gigih dari kemerdekaan dan demokrasi.
Dewey adalah pembela kemerdekaan moral, kemerdekaan memilih, dan kemerdekaan intelektual. Ia juga pembela hak-hak sipil dan politik, termasuk di dalamnya kemerdekaan berbicara, kemerdekaan persurat kabaran, dan kemerdekaan berserikat. Ia menganjurkan diperluasnya prinsip-prinsip demokrasi dalam bidang sosial dan politik bagi seluruh bangsa dan kelas.

(d) Suatu Keprcayaan Umum
Dewey dan banyak pengikutnya menolak supernaturalisme dan mendasarkan nilai-nilai moral dan agama atas dasar hubungan duniawi dari manusia. Nilai-nilai kehidupan dapat diuji kebenarannya dengan metoda yang berlaku bagi fakta-fakta lain. Dewey mengecam lembaga-lembaga greja tradisional, dengan tekanannya kepada ritus yang tak berubah dan dogma yang otoriter. Ia memakai kata sifat religious untuk melukiskan nilai-nilai yang menyempurnakan dan memperkaya kepribadian seseorang. Dengan begitu, maka segala tindakan yang diambil demi suatu cita-cita karena keyakinan atas nilai-nilai yang benar, adalah tindakan yang bersifat religious. Istilah Tuhan dapat dipakai untuk menunjukkan kesatuan segala maksud yang ideal, dalam kecondongannya untuk membangkitkan kemauan dan tindakan (Titus, dkk., 1984: 349-350).

3.      Analisis Kritis atas Kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
a)      Kekuatan Pragmatisme
(1)   Kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi.Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan nnati di akhirat. Dengan demikan, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya riil, indriawi, dan yang memanfaatnya bisa di nikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
(2)   Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Barangkali dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga munculllah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
(3)   Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercyaan yang diterim apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos, Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

b)      Kelemahan Pragmatisme
(1)   Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa duna ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental (bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemepuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
(2)   Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
(3)   Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusipa hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.

D.    Realisme
Realisme tidak pernah dipersoalkan oleh pemikir-pemikir Barat sampai abad ke-17. Kebanyakan orang mengira diri mereka itu ada, di tengah-tengah dunia benda-benda yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Akal manusia dan alam di luarnya saling mempengaruhi, tetapi interaksi ini tidak mempengaruhi watak dasar dari alam. Alam sudah ada sebelum fikiran manusia sadar akan adanya dan akan tetap ada setelah akal tidak lagi menyadari akan adanya.

1.      Definisi Realisme
Idealisme adalah filsafat Barat yang berpengaruh pada akhir abad ke-19. Dengan memasuki abad ke-20, realisme muncul, khususnya di Inggris dan Amerika Utara. Real berarti yang aktual atau yang ada, kata tersebut menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan apa yang ada. Reality adalah keadaan atau sifat benda yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti umum, realism berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi bukan kepada yang diharapka atau yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis.
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Bagi kelompok realis, alam itu, dan satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik dengannya. Kelompok realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk menafsirkannya menurut keinginan atau kepercayaan yang belum dicoba kebenarannya. Seorang realis bangsa Inggris, John Macmurray mengatakan:
Kita tidak bisa melpaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda dan ide. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang sesuatu benda, suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda. Dalam hal ini benda dalah realitas dan ide adalah 'bagaimana benda itu nampak pada kita'. Oleh karena itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan benda-benda , jika mau menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita menjadi benar, jika ide kita cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan tidak berfaedah. Benda tidak menyesuaikan dengan ide kita tentang benda tersebut. Kita harus mengganti ide-ide kita dan terus selalu menggantinya sampai kita mendapatkan ide yang benar. Cara berpikir common sense semacam itu aalah cara yang realis; cara tersebut adalah realis karena ia menjadikan 'benda' adalah bukan 'ide' sebagai ukuran kebenaran, pusat arti. Realisme menjadikan benda itu dari real dan ide itu penampakkan benda yang benar atau yang keliru (Harold H.Titus, dkk., 1984: 315-329).
Dalam membicarakan dasar psikologi dari sikap yang selain realisme, Macmurray mengatakan bahwa oleh karena filsafat itu sangat mementingkan ide, maka ia condong menekankan alam ide atau pikiran. Oleh karena filsafat condong menjadi penting baginya, maka ia secara wajar, tetapi salah, mengira bahwa ide itu mempunyai realitas yang tidak terdapat dalam benda. Jika ia menganggap kehidupan akal atau pemikiran reflektif sebagai suatu hal yang lebih tinggi dan lebih mulia daripad akktivitas praktis atau perhatian kita terhadap benda, kita mungkin secara keliru mengira bahwa ide itu lebih penting daripada bendanya. Jika kita mengungkung diri kita dalam pikiran, maka pikiran akan tampak sebagai satu-satunya hal yang berarti. Menurut Macmurray, pandangan realis adalah pandangan common sense dan satu-satunya pandangan yang dapat bertahan di tengah-tengah akktivitas-aktivitas kehidupan yang praktis (Harold H.Titus, dkk., 1984: 329).
Seorang filosof realis lainnya, yaitu Alfred North Whitehead, menjelaskan alasannya mengapa ia percaya bahwa benda yang kita alami harus dibedakan dengan jelas dari pengetahuan kita tentang benda tersebut. Dalam mempertahankan sikap obyektif dari realisme yang didasarkan atas kebutuhan sains dan pengalaman yang kongkrit dari manusia. Whitehead menyampaikan tiga pernyataan. Pertama, kita ini berada dalam alam warna, suara, dan lain obyek indrawi. Alam bukannya dalam diri kita dan tidak bersandar kepada indra kita. Kedua, pengetahuan tentang sejarah mengungkapkan kepada kita keadaan pada masa lampau ketika belum ada makhluk hidup di atas bumi dan di bumi terjadi perubahan-perubahan dan kejadian yang penting. Ketiga, aktivitas seseorang tampaknya menuju lebih jauh dari jiwa manusia dan mencari serta mendapatkan batas terakhir dalam dunia yang kita ketahui. Benda-benda mendapatkan jalan bagi kesadaran kita. "Dunia pemikiran yang umum" memerlukan dan mengandung "dunia indra yang umum" (Harold H.Titus, dkk., 1984: 329).
Banyak filosof pada zaman dahulu dan sekarang, khususnya kelompok idealis dan pragmatis berpendapat bahwa benda yang diketahui atau dialami itu berbeda daripada benda itu sendiri sesudah mempunyai hubungan dengan kita. Oleh karena kita tidak akan tahu tentang benda kecuali dalam keadaan 'diketahui' atau 'dialami' oleh kita. Maka benda yang telah kita ketahui atau kita alami itu merupakan bagian yang pokok dari benda yang kita ketahui. Karena itu maka pengetahuan dan pengalaman condong untuk mengubah atau membentuk benda sampai batas tertentu. Kelompok realis mengatakan bahwa pemikiran seperti tersebut salah, oleh karena mengambil konklusi yang keliru dan proposisi yang telah diterima. Tentu saja kita tidak dapat mengetahui suatu benda kecuali sesudah mempunyai pengalaman tentang benda tersebut. Benar juga bahwa kita tidak dapat mengetahui kualitas suatu benda yang kita sendiri belum mengetahui benda itu. Satu-satunya konklusi yang benar adalah faham bahwa semua benda yang diketahui itu diketahui; dan konklusi seperti ini adalah truism, yakni tidak membawa hal baru atau bahwa kesadaran adalah suatu unsur dari pengetahuan kita. Dari pernyataan tersebut, kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa benda yang tidak diketahui orang itu tidak mempunyai kualitas atau bahwa pengalaman 'mengetahui' benda akan mengubah benda itu atau merupakan eksistensinya. Realisme menegaskan bahwa sikap common sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya, bahwa bidang aam atau obyek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah watak benda yang kita rasakan (Harold H.Titus, dkk., 1984: 330).

2.      Tokoh Aliran Realisme
a)      Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles adalah seorang murid Plato yang telah mengembangkan gagasan bahwa sementara gagasan-gagasan mungkin penting bagi diri mereka sendiri, pembelajaran yang utama tentang materi mengantarkan kita pada gagasan-gagasan yang jelas yang lebih baik. Menurut Aristoteles, gagasan-gagasan (atau bentuk-bentuk), seperti ide tentang Tuhan atau ide-ide tentang sebuah pohon bisa ada walaupun tanpa materi, tapi tidak ada materi yang ada tanpa bentuk.
Sifat penting dari sebuah biji pohon, sebagai contoh, merupakan hal-hal yang penting bagi biji dan itulah perbedaan biji dari semua biji yang lain. Sifat-sifat ini termasuk ukuranya, bentuk, berat dan warna. Tidak ada biji  yang serupa sama sekali, jadi kita bisa mengatakan bahwa beberapa sifat penting dari suatu biji sebagaimana perbedaan yang mendasar dari hal hal pada semua biji yang lain. Hal ini bisa disebut dengan “bebijian” dan itu adalah hal yang universal dengan semua biji yang lain. Mungkin hal ini bisa dipahami lebih baik dengan mengembalikan pada manusia pada poin ini. Orang, juga, berbeda dalam sifat-sifat tertentu mereka. Mereka memiliki perbedaan bentuk dan ukuran, dan tak ada dua orangpun yang sama persis. Karena semua manusia sesungguhnya berpegang pada sesuatu yang universal.


3.      Jenis-jenis Realisme
Realisme adalah suatu istilah yang meliputi bermacam-macam aliran filsafat yang mempunyai dasar-dasar yang sama. Sedikitnya ada tiga aliran dalam realisme modern. Pertama, kecenderungan kepada materialisme dalam bentuknya yang modern. Sebagai contoh, materialisme mekanik adalah realisme tetapi juga materialisme. Kedua, kecenderungan terhadap idealisme. Dasar eksistensi mungkin dianggap sebagai akal atau jiwa yang merupakan keseluruhan organik. James B. Pratt dalam bukunya yang berjudul Personal Realism mengemukakan bahwa bentuk realisme semacam itu, yakni suatu bentuk yang sulit dibedakan dari beberapa jenis realisme obyektif. Ketiga, terdapat kelompok realis yang menganggap bahwa realitas itu pluralistik dan terdiri atas bermacam-macam jenis; jiwa dan materi hanya merupakan dua dari beberapa jenis lainnya.
Apa yang kadang-kadang dinamakan realisme Platonik atau konseptual atau klasik adalah lebih dekat kepada idealisme modern daripada realisme modern. Dengan asumsi bahwa yang riil itu bersifat permanen dan tidak berubah, Plato mengatakan bahwa ide atau universal adalah lebih riil individual. Selama Abad Pertengahan terdapat perdebatan antara realisme klasik (Platonik) dan nominalis yang bersikap bahwa nama jenis atau universal itu hanya nama, dan realita itu terdapat dalam persepsi atau benda-benda individual. Kata-kata hanya menunjukkan jenis atau simbol dan tidak menunjukkan benda yang mempunyai eksistensi kecuali eksistensi partikular yang kemudian membentuk suatu kelas (jenis).
Perdebatan tersebut sangat penting selama Abad Pertengahan. Jika realisme itu benar, akibatnya mungkin ada suatu gereja universal yang mempunyai dogma yang berwibawa. Semua manusia berdosa karena Adam berdosa, dan doktrin penebusan dan karya Kristus dapat diterapkan kepada seluruh umat manusia. Tetapi jika nominalisme itu yang benar, maka hanya gereja partikular lah yang riil; selain itu, dosa Adam dan penebusan tidak berlaku lagi bagi tiap orang, dan kita bebas untuk mengganti dekrit-dekrit gereja dengan keputusan-keputusan pribadi. Gereja Abad Pertengahan membantu realisme, karena nominalisme condong untuk mengurangi kekuasaan gereja.
Aristoteles adalah lebih realis, dalam arti modern, daripada gurunya, Plato. Aristoteles adalah seorang pengamat yang memperhatikan perincian benda-benda individual. Ia merasa bahwa realitas terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan benda-benda itu. Dunia yang riil adalah dunia yang kita rasakan sekarang, dan bentuk serta materi tidak dapat dipisahkan. Dari abad ke-12, pengaruh Aristoteles condong untuk menggantikan pengaruh Plato. Thomas Aquinas (1224-1274) menyesuaikan metafisika Aristoteles dengan teologi Kristen dan berhasil memberikan gambaran yang sempurna tentang filsafat skolastik Abad Pertengahan. Sintesanya yang besar itu dibentuk dalam tradisi realis.
Di Amerika Serikat, pada dasawarsa pertama abad ke-20 timbul dua gerakan realis yang kuat, yaitu new realism atau neorealisme dan critical realism. Neorealisme adalah serangan terhadap idealisme dan critical realism adalah kritik trhadap idealisme dan neorealisme. Pembicaraan dipusatkan di sekitar problema teknik dari epistimologi dan metafisik. Dasawarsa pertama dari abad ke-20 adalah periode gejolak intelektual. Pada tahun 1910 muncul enam orang guru filsafat di Amerika Serikat. Mereka membentuk suatu kelompok pada tahun 1912 dan menerbitkan bersama suatu buku dengan judul The New Realism (Harold H.Titus, dkk., 1984: 332).
Kelompok Neorealis menolak subyektivisme, monisme, absolutisme (percaya kepada sesuatu yang mutlak dan yang tanpa batas), segala filsafat mistik dan pandangan bahwa benda-benda yang non-mental itu diciptakan atau diubah oleh akal yang maha mengetahui. Mereka mengaku kembali kepada doktrin common sense tentang dunia yang riil dan obyektif dan diketahui secara langsung oleh rasa indrawi. "Pengetahuan tentang suatu obyek tidak mengubah obyek tersebut". Pengalaman dan kesadaran kita bersifat selektif dan bukan konstitutif; ini berarti bahwa kita memilih untuk memperhatikan benda-benda tertentu lebih daripada yang lain; kita tidak menciptakan atau mengubah benda-benda tersebut hanya karena kita mengalaminya. Sebagai contoh, kata "ada satu kursi di ruangan ini" tidak akan dipengaruhi oleh adanya pengalaman kita atau tidak adanya pengalaman kita tentang kursi tersebut.
Kelompok neorealis menerangkan bahwa di samping keyakinan-keyakinan pokok ini, tidak terdapat suatu pun filsafat hidup yang memadai, atau suatu jawaban yang pasti tentang pertanyaan mengenai soal-soal seperti akal, kemerdekaan, maksud dan 'yang baik'. Walaupun begitu, beberapa pemikir telah menyusun filsafat yang lengkap dari aliran new realism (Harold H.Titus, dkk., 1984: 332).
Selama dasawarsa 1910-1920 ada tujuh orang yang membentuk suatu filsafat yang agak berlainan. Pada tahun 1920, mereka menerbitkan buku dengan judul Essays in Critical Realism. Walaupun mereka itu setuju dengan kelompok neorealis, bahwa eksistensi benda itu tidak bersandar kepada pengetahuan tentang benda tersebut, mereka mengkritik neorealis karena mengadakan hubungan antara obyek dan pengamat; dan hubungan itu sangat langsung. Kelompok critical realist tidak berpendapat bahwa kesadaran atau persepsi tentang benda-benda itu bersifat langsung dan tanpa perantara sebagai yang dikira oleh kelompok neorealis. Benda-benda di luar kita sesungguhnya tidak berada dalam kesadaran kita; yang ada dalam kesadaran kita hanya data rasa (gambaran-gambaran mental). Data rasa menunjukkan watak dari dunia luar serta watak dari akal yang mempersepsikan. Kita tidak bisa melangkah lebih jauh dari data rasa kepada obyeknya kecuali dengan jalan inference. Dengan begitu maka kita mempuyai, pertama, akal yang mempersepsi, orang yang mengetahui atau organisme yang sadar. Kedua, obyek dengan kualitas primer. Ketiga, data rasa yang menghubungkan antara akal yang mengetahui dengan obyek.
Kelompok critical realist mengira bahwa data rasa memberi kita hubungan langsung dengan obyek. Indra sering menunjukkan obyek-obyek dan dengan begitu indra itu menjelaskan kepada kita watak dari dunia luar. Lebih jauh, kelompok critical realist percaya bahwa pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami dan menjelaskan ilusi, halusinasi, dn kesalahan-kesalahan lain karena data rasa dapat keliru.
Kelompok realis membedakan antara obyek pikiran dan tindakan pikiran itu sendiri. Pada umumnya, kaum realis menekankan teori korespondensi untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran adalah hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada dunia sebagaimana adanya. Kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang obyektif.
Seorang realis menyatakan, ia tidak menjauhkan diri dari fakta yang nyata. Ia menekan kemauan-kemauan dan perhatian-perhatiannya dan menerima perbedaan dan keistimewaan benda-benda sebagai kenyataan dan sifat yang menonjol dari dunia. Ia bersifat curiga terhadap generalisasi yang condong untuk menempatkan segala benda di bawah suatu sistem.
Kebanyakan kaum realis menghormati sains dan menekankan hubungan yang erat antara sains dan filsafat. Tetapi banyak di antara mereka yang bersifat kritis terhadap sains lama yang mengandung dualisme atau mengingkari bidang nilai. Sebagai contoh, Alfred North Whitehead yang mencetuskan 'filsafat organisme'. Ia mengkritik pandangan sains yang tradisional yang memisahkan antara materi dan kehidupan, badan dan akal, alam dan jiwa, substansi dan kualitas-kualitas. Pendekatan semacam itu mengosongkan alam dari kualitas indra dan condong untuk mengingkari nilai etika, estetika dan agama. Metodologi Newton menyebabkan sukses dalam sains fisik akan tetapi menjadikan alam tanpa arti dan tanpa nilai; banyak orang yang mengatakan bahwa nilai dan ideal adalah khayalan belaka dan tidak mempunyai dasar yang obyektif. Sikap semacam itu adalah akibat abstraksi dan penekanan beberapa aspek realitas serta menganggap sepi aspek-aspek lain. Whitehead menamakan proses abstraksi ini fallacy of misplaced concretness. Hal ini terjadi jika seseorang memperhatikan suatu aspek dari benda dan menganggapnya sebagai keseluruhan. Dengan cara ini, maka garis-garis yang arbitrair (sewenang-wenang) digambarkan antara apa yang dianggap penting oleh penyelidik dan apa yang ia ingin untuk mengusulkan sebagai tidak benar.



4.      Ciri-Ciri Kelompok yang Mengikuti Aliran Realisme
a)      Kelompok realis membedakan antara obyek pikiran dan tindakan pikiran itu sendiri. Menekankan teori korespondensi untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran adalah hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada dunia sebagaimana adanya. Kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang obyektif.
b)      Seorang realis menyatakan, ia tidak menjauhkan diri dari fakta yang nyata. Menekan kemauan-kemauan dan perhatian-perhatiannya dan menerima perbedaan dan keistimewaan benda-benda sebagai kenyataan dan sifat yang menonjol dari dunia. Ia bersifat curiga terhadap generalisasi yang condong untuk menempatkan segala benda di bawah suatu sistem.
c)      Kebanyakan kaum realis menghormati sains dan menekankan hubungan yang erat antara sains dan filsafat. Tetapi banyak di antara mereka yang bersifat kritis terhadap sains lama yang mengandung dualisme atau mengingkari bidang nilai. Sebagai contoh, Alfred North Whitehead yang mencetuskan 'filsafat organisme'. Ia mengkritik pandangan sains yang tradisional yang memisahkan antara materi dan kehidupan, badan dan akal, alam dan jiwa, substansi dan kualitas-kualitas.

5.        Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme
a)         Metafisika-realisme. Kenyataan yang sebenarnya hanyalah  kenyataan fisik (materialisme). Kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme).
b)        Humanologi-realisme. Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir.
c)         Epistemologi-realisme. Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
d)        Aksiologi-realisme. Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

6.        Aliran Realisme Dalam Pendidikan
            Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah  kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme); (2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir; (3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan  memeriksa kesesuaiannya dengan fakta; (4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
            Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat. Implikasi filsafat realisme dalam pendidikan ada 5, yaitu :
a)        Tujuan Pendidikan
Aristoteles berpendapat bahwa pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai kebahagiaan dengan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin agar manusia menjadi unggul. Rasionalitas manusia adalah kekuatan tertinggi manusia yang harus dikembangkan melalui belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Manusia harus pula memberanikan diri untuk mengenal diri, melatih potensi dan mengintegrasikan berbagai peran dan tuntutan kehidupan sesuai dengan tatanan rasional berjenjang.
b)        Kurikulum
Kurikulum dikembangkan secara komprehensif mencakup semua pengetahuan yang sains, sosial, maupun muatan nilai-nilai. Isi kurikulum lebih efektif diorganisasikan dalam bentuk mata pelajaran karena memiliki kecenderungan berorientasi pada peserta didik (subject centeed).
c)      Peranan siswa
Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin,  peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
d)     Peranan Guru
Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik.
e)      Metode
Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang digunakan.
7.        Kelebihan dan Kelemahan Aliran Realisme Dalam Pendidikan
Aliran filsafat realisme memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh aliran realisme diantaranya adalah sebagai berikut :
a)        Kelebihannya
(1)   Program pendidikan terfokus sehingga peserta didik dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup, dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial dalam hidup bermasyarakat.
(2)   Peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan yang handal sehingga mampu mengikuti perkembangan Iptek.
(3)   Dalam hubungannya dengan disiplin, tatacara yang baik sangat penting dalam belajar. Artinya belajar dilakukan secara terpola berdasarkan pada suatu pedoman. Karena peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat kebaikkan.
(4)   Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
(5)   Metodenya logis dan psikologis, semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar bersifat logis, bertahap dan berurutan.

b)        Kelemahannya
(1)     Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Menurutnya pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, tidak semua manusia itu sama dalam menangkap pelajaran karena kemampuan tiap orang berbeda-beda sehingga harus disesuaikan dalam proses pendidikan.
(2)     Kekeliruan menilai persepsi, tidak ada penjelasan mengenai objek khayalan/halusinasi, semua persepsi tergantung konteks visual.

III.         PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Wibisono, Koento.  1983. Arti Perkembanqan Menurut Filsafat Positivisme Auquste Comte,
Yogyakarta :  Gajah Mada University Press
Achmadi, Drs. Asmoro.1997. Filsafat Umum. Ed. 1, cet. Ke-2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Praja, Prof. Dr. Juhaya S. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Ed. 1. cet. Ke-2. Jakarta: Kencana.
Syaebani. 2008. Filsafat Positivisme dan Ciri-Cirinya. http://syaebani.blogspot.com/2008/05/filsafat-positivisme-dan-ciri-cirinya.html  17 Dec 16.30
Ahmad, Abu. 2009. Logical Positivisme.
Diningrat, Kanjeng. 2010. Positivisme.
Adi, Bambang, Nugraha. 2012. Filsafat Positivisme http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/filsafat-positivisme_2540.html 17 Dec 20.10
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011) h. 131-132
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 289
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 141.
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interprestasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Penj. Musnur Hery dan Damanhuri), h. 3.
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 149-150
Achmadi, Asmoro. Filsafat umum. Jakarta. PT. RAJAGRAFINDO PERSA. 2010. Hal, 50
Maksum dan Ali. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik hingga  Postmodernisme.Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA.  2011.
Ngainun,naim. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.h, 40.
Abdul halim mahmud,ali. Tradisi Baru Penelitian Agama. Bandung:Nuansa.2001. h, 50
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009

0 komentar:

Posting Komentar