I.
PENDAHULUAN
Pemikiran seseorang tidak akan lepas dari pengaruh
zaman dan tempat dimana orang itu berada. Pengaruh zaman dan tempat itu akan
memberikan ciri khas atau corak dari pemikiran itu sendiri.
Demikian pula dalam sejarah filsafat. Meskipun pada dasarnya sumber filsafat adalah satu yaitu rasio, namun, tidak pelak pemikiran
filosofis dari para filosof memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Dapat kita
lihat bahwa telah terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara pemikiran Al
Ghazali dengan Ibnu Rusyd.
Makalah
ini secara spesifik ingin mengetahui ciri atau corak pemikiran salah satu
filosof muslim yang terkenal dengan roman filosofisnya: Hayy ibn Yaqzhan
adalah Ibnu Thufail, seorang filosof muslim yang hidup pada masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf Dinasti Al-Muwahhid
Spanyol.
Penulis berharap, makalah ini dapat memberikan
pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua. Amin.
II.
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu
Thufail
Nama
lengkap Ibnu tufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik Ibnu Muhammad
ibnu Muhammad Ibnu Tufail. Lahir di Cadix, provinsi Grada sepanyol pada tahun
506 H/ 1110 M. Ia termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam
bahasa lain ia terkenal dengan Abu Bacer.
Sebagaimana
filosof muslim di masanya, Ibnu Tufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai
bidang. Selain terkenal sebagai filosof muslim, ia juga seorang dokter di Granada, ahli
matematika dan kesusastraan (penyair) dari dinasti Al‐Muwahhid Spanyol.
Lewat
ketenarannya sebgai dokter ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi
itu. Kemudian, Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah)
dan Tangier (Arab: Thanjah/ Latin: Tanger)
oleh putra Al Mukmin, penguasa Al-Muwahhid
Spanyol. Selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa
Kholifah Abu Ya’kub, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam
pemerintahan, karena khalifah sendiri memang seorang pecinta ilmu pengetahuan.
Dari sini dapat kita pahami bahwa transformasi filsafat dan keilmuan Ibnu Thufail dapat dilakukan
dengan mudah karena posisi Ibnu Thufail disini adalah pakar dalam pemikiran filosofis dan ilmiah.
Karier Ibnu
Thufail sebagai dokter berakhir pada tahun 587 H/ 1182 M, karena usianya yang sudah lanjut
dan menganjurkan kepada khalifah supaya muridnya, Ibnu Rusyd menggantikan kedudukannya.
Khalifah mengabulkan permintaannya dan langsung mengangkat Ibnu Rusyd sebagai
dokter istana dan pada tahun 581 H/ 1185
M) Ibnu Thufail meninggal di Marakesh (Maroko).
B. Perkembangan
Filsafat pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran
dan hasil karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang filsafat tentunya
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dan politik pada masanya, karena pemikiran merupakan produk budaya dari
sebuah masyarakat, dimana seseorang itu hidup, tumbuh dan dibesarkan. Sebenarnya
tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri.
Kegiatan
intelektual dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh
pada masa khalifah al‑Hakam al‑Mustanshir Billah. Pada masa ini, dapat dikatan
semaraknya transmisi keilmuan dari Timur ke Barat. Karena Al‑Hakam sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, sehingga
ia bersedia menanggung biaya untuk tujuan ekspedisi ke berbagai Negara.
Seiring
berjalannya waktu, setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh Hisyam al‑Mu’ayyid Billah, cenderung kepada pengetahuan syari’at
dan anti filsafat. Sehingga kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat
kembali dikatan sesat, walaupun demikian kegiatan menekuni filsafat dilakukan
secara sembunyi sampai berdirinya dinasti al‑Muwahhidin yang dipimpin oleh Abu Ya’qub Yusuf al‑Mansur (558‑580 H) filsafat mulai
terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang
filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan
penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tetapi
masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan
dengan agama, sehingga dalam situasi ini Ibnu thufail terus menggali dan
mengembangkan keilmuannya dan melahirkan suatu karya yaitu “Hayy ibnu
yaqzhan”. Karya ini menggunakan bahasa sederhana, dengan tujuan supaya masyarakat
mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan bahkan
sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup.
C. Karya Besar Ibnu
Thufail “Hayy ibn Yaqzhan”
Roman
filsafat Hayy ibnu Yaqzhan (si hidup anak si sadar) banyak menyita perhatian
para sastrawan dan filsuf Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu Thufail pada
abad ke‑6 H (12 M). Hingga era
kebangunan menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah roman filsafat hayy ibnu yaqzhan
penulis bahas agar juga mendapatkan segenap pemikiran Ibnu Thufail yang
terkandung dalam kisah ini.
Hayy ibn
Yaqzhan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan, system pengetahuan,
filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra misalnya, karya ini mengandung
nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa metaforis dan simbolisasi
yang kuat dalam kisah ini dan tradisi sastra tersebut sudah lama berkembang di
dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat dunia Islam dalam
satu lintas generasi.
Perlu
diketahui bahwa subtansi gagasan yang di usung roman ini bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru yang pernah ditulis. Yang berbeda dari karya ini adalah bagaimana
Ibnu Thufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk sebuah
roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan “fitrah
primordial”nya ditengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya
yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Dengan
judul yang sama, sebenarnya Ibnu Shina juga pernah menggunakan roman ini
sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu Shina
menempatkan tokoh hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai
pengetahuan luar bisa. Ibnu Shina juga menulis roman yang bertajuk sama yang
berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak.
Kisah Hayy
ibn Yaqzhan dalam Risalah Ibnu Shina, bertujuan untuk menegaskan kekuatan akal dan
keutamaannya dari segala yang dimiliki manusia, termasuk naluri instingnya,
semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Shina menunjukkan bagaimana
hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai bawah dengan teorinya
berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam karyanya Ibnu Thufail, lebih
berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal sebagai pencari pengetahuan
sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait
masalah yang terakhir itu, Aspek filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu
Bajjah sebagai pendahulunya dan sebagai seorang filsuf rasionalis murni, juga
berperan penting karya Ibnu Thufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibn Thufail
mengakui pentingnya kesendirian di dalam mengembangkan nalar teoritis. Namun
dia tidak puas terhadap peranan akal disitu. Dan dinilai oleh Ibnu Thufail
bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir al‑Mutawahhid ini sebagai karya yang kurang sempurna. Inilah yang menjadi
salah satu pemacu dalam menulis karya hay ibnu yaqzhan.
Hal lain
yang dapat dijadikan latar belakang penulisan hayy ibn yaqzhan yaitu ketidak
puasan Ibnu Thufail terhadap jalan yang selama ini ditempuh oleh para sufi,
seperti al‑Ghazali dan menegaskan bahwa
metode iluminasi lebih tinggi dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati.
Kalau sedikit berbalik ke dunia timur, dimana seorang filosof yang bernama
Suhrawardi juga menempatkan Iluminasi sebagaimana yang paling utama. Walaupun
keduanya secara jarak sangat jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh utama
dalam kisah ini adalah hay ibn yaqzhan sendiri. Dimana ia mengambarkan atau perosnifikasi
dari akal manusia sebagai instrument memahami alam sekitar. Berangkat dari akal
murni ini, hay naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak rahasia alam ini.
Yaitu melalui intuisi sebagai alat untuk melihat benda‑benda nonmateri yang lebih tinggi derajatnya. Untuk lebih mendalami is
kandungan dalam kisah hay ibn yaqzhan ini, perlu membaca ulang dan mengulas
dulu isi kisah tersebut. De.ngan analisis dan tinjauan atasnya, akan lebih
dipahami hikmah dan kandungannya.
Buku
filsafat yang berjudul Hayyy ibnu Yaqzhan (“kehidupan anak kesadaran”) karya
ini memang sama dengan buah karya ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan
kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi
pokok pikiran Ibnu Thufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Thufail, pokok
pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak oleh
kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut
para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh
para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
D. Pemikiran Ibnu
Thufail
Filsafat Ibnu Thufail merupakan pemikiran yang baru dalam filsafat islam yang belum pernah
dilakukan para filosof muslim sebelumnya. Terutama dalam hal
pembuktian adanya tuhan. Penjabaran yang diberikan ibnu Thufail cukup gamlang
dan dapat dipahami oleh nsemua golongan orang. Berbeda dengan Ibnu Sina.
Pembagian wajib al-wujud min ghairih dan mumkin al wujud bi dzatihi, seperti
yang dikatakan Prof. Dr. H. Sirajudin Zar, yang dikutip dari Muhammad Athif Al-Iraqiy,
agak membingungkan. Karena dalam konsep Wajib ada unsur mumkin.
Secara umum, pemikiran filsafat Ibnu Thufail dapat kita lihat
dalam karyanya: Hay Ibnu Yaqhan. Roman Filsafat itu menggambarakan orang
yang mempunyai akal fikiran sebagai fitroh bagi setiap manusia. Absal
merupakan orang yang berilmu dan beragama islam, dimana ilmunya telah
dilengkapi dengakan wahyu. Sedangkan salman menggambarkan tentang masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Ibnu Thufail tidak merasa puas dengan filsafat Al-Ghazali untuk mencari
kebahagiaan dan kebenaran tuhan, tetapi lebih cendrung kepada perenungan fikiran sebagaimana dilakukan Al-Farabi.
Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran Kontemplatif filsafat arab yang disebut isyrok, suatu
teori neo platonisme kuno dan dekat dengan aspirasinya kepada mistik modern. Menurut Amir Ali, sebagaimana dikutip
oleh Muslim Ishak dalam buku Tokoh‐tokoh Filsafat Islam Dari Barat, Filsafat Kontemplatif Ibnu Thufail tidak
didasarkan atas exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode yang mana intuisi
digabungkan dengan pencarian akal. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam
kisah Hay, dimana, akal memiliki perkembangan yang berngsur‐angsur dan berturut‐turut dari seseorang yang tidak mendapat
asupan pendidikan dari luar, berupa:
1.
Metafisika (Ketuhan)
Seperti
para filosof sebelumnya, ibnu
Thufail memulai filsafatnya dengan filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya tuhan ibnu Thufail mengemukakan
tiga argument sebagai berikut:
a)
Argumen Gerak
Gerak alam menjadi bukti adanya Allah Swt. Baik bagi orang yang meyakini
alam baharu maupun bagi orang yang yang meyakini alam kadim. Bagi orang yang
meyakini alam itu baharu, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada
(diciptakan). Oleh karena itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu mestilah
membutuhkan pencipta yaitu Allah Swt. Sementara bagi orang yang mengatakan
bahwa alam itu qadim, gerak alam berarti tidak berawal dan tidak berakhir.
Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak ini tidak didahului oleh diam.
Disini, penggerak alam (Allah Swt.) berfungsi mengubah materi dari alam
potensial ke actual. Mengubah dari satu bentuk kebentuk yang lain.
Sirajuddin Zar dalam buku filsafat islam, filosof dan filsafatnya mengatakan,
inilah letak keistimewaan argumen gerak ibnu thufail, yakni dapat dipahami oleh
semua golongan. Dengan argumen diatas, secara tidak
langsung, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi
bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah Swt.
b)
Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu Thufail juga digunakan untuk mebuktikan adanya tuhan.
Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada korelasinya dengan
argumen yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu Thufail dalam
kelompok pikiran yang terkait satu sama lain yakni, segala yang ada tersusun
dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan bentuk, bentuk tidak mungkin
bereksistensi penggerak dan segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan
pencipta.
Bagi yang meyakini alam itu kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan
wujud dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara bagi yang meyakini alam
itu baru, pencipta berfungsi menciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Pencipta
disini, merupakan ilat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat).
c)
Argumen Alghaiyyat dan Al‐inayat al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga sebab yang
dikemukakan oleh aristoteles yaitu materi, bentuk dan pencipta. Ibnu sina
melengkapinya dengan ilat al-ghaliyat, sebab tujuan.
Menurut Ibnu Thufail, bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan
tertentu. Ini merupakan inayah dari Allah Swt. Ibnu Thufail yang berpegang pada
argument ini sesuai dengan Al-Qur’an, menolak bahwa alam diciptakan secara
kebetulan. Alam ini, masih menurut ibnu Thufail, sangat rapi dan sangat
teratur. Semua planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh pada manusia
memiliki tujuan tertentu. Adapun mengenai dzat Allah Swt. Ibnu Thufail
sependapat dengan kaum Mu’tazilah sifat-sifat Allah Swt. yang maha sempurna
tidak berlainan dengan dzat‐Nya. Allah Swt. berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan
qudrat yang dimiliki melainkan dengan dzat Allah Swt. itu sendiri.
2.
Fisika (Terbentuknya Dunia)
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui
bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu qadim. Mengenai alam
ini, Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu
baru sekaligus alam itu kadim. Alam itu kadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia
diciptakan sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia
membutuhkan dan bergantung pada dzat Allah Swt.
Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang menggenggam suatu benda, kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu
mesti bergerak mengikuti gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak
terlambat dari segi zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini,
keseluruhan merupakan akibat dan diciptakan Allah Swt. tanpa zaman. Hal ini dijelaskan
pada QS. Yasin : 82.
Artinya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka
terjadilah ia”.
3.
Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya.
Manusia Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan roh (al‐madat al ruh). Badan tersusun dari unsur‐unsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan
jisim dan bukan pula sesuatu yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau
mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah
mengenal Allah yang berada di dalam jasad akan hidup dan kekal.
Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (an‐nafs al nabawiyat), jiwa jiwa hewan dan jiwa manusia. Ketiga
jiwa tersebut merupakan sebuah tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi
yaitu jiwa manusia. Dalam menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan
jiwa hubungannya dengan Allah kedalam tiga golongan:
a)
Jiwa yang sebelum mengalami kematian
jasad telah mengenal Allah Swt. mengagumi kebesaran dan keagungannya, dan selu
ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b)
Jiwa yang mengenal Allah Swt. Namun
bermaksiat, akan abadi dalam kesensaraan.
c)
Jiwa yang tidak mengenal allah sealam
Hidupnya, akan berakhir seperti hewan.
Dalam hal ini, Sirajudin Zar dalam buku Filsafat Islam berkomentar:
“Agaknya Ibnu Thufail meletakkan tanggung
jawab manusia dihadapan Allah Swt. atas dasar pengetahuannya tentang Allah Swt.
Orang yang tahu kepada Allah Swt dan menjalankan kebaikan, akan kekal dalam
kebahagiaan”.
4.
Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti
tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqdan, Bahwa makrifat dimulai dari panca indra.
Hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Makrifat
dapat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal seperti yang
dilakukan filosof muslim; dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh
kaum sufi. kesesuaian antara nalar dan intuisilah yang membentuk
epistimologi Ibnu Thufail.
Menurut Ibnu Thufail, Ma’rifat dengan
tasawuf dapat dilakukan dengan latihanlatihan rohani dengan penuh kesungguhan.
Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas dan hakikat semakin tersingkap.
5.
Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama
Melalui
roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan,
dengan kata lain akal tidak bertentangan dengan wahyu. Dari kisah yang
digambarkan oleh Ibn Tufail, dimana tokoh Hayy dengan renungan, pemikiran dan pengalaman sendiri, dia
dapat mengetahui kebenaran, dan tatkala ia bertemu dengan absal yang membawa
kebenaran berdasarkan wahyu, ia langsung membenarkan dan mengimaninya, ini
menunjukan bahwa akal murni dan pemikiran yang tidak benar bertentangan dengan
wahyu, maka apa saja yang disampaikan oleh wahyu langsung diimani oleh akalm
karena akal meyakini kebenaran yang dibawa oleh wahyu disebabkan wahyu langsung
datang dari Allah Swt. yang tidak dikeragui lagi kebenarannya, seperti halnya
pembenaran Hayy terhadap apa yang dibawa oleh Absal.
Ibn Tufail
menyadari, mengetahui dan berhubungan dengan Allah Swt. melalui pemikiran akal
murni yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus, dan orang awam tidak
mungkin dapat melakukannya, justru itu bagi orang awam sangat diperlukan adanya
ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Agama diturunkan untuk semua orang dalam
tingkatannya.
Filsafat
hanya dapat dijangkau oleh orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit.
Agama melambangkan dunia atas semua lambanglambang eksoteris, agama penuh
dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antopomorfis sehingga
cukup mudah dipahami oleh orang banyak, dan filsafat merupakan bagian dari
kebenaran esoteris yang menafsirkan lambanglambang itu agar diperoleh
pengertianpengertian yang hakiki. Kenyataannya ibn Tufail berusaha dengan penuh
kesungguhannya untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal
yang dapat berkomunikasi dengan Allah Swt. sedangkan Absal ia lambang sebagai
wahyu dalam bentuk esoteris yang membawa hakekat, sementara salaman ia
lambangkan sebagai agama yang juga membawa kebenaran dalam bentuk esoteris,
kebenaran yang dibawa filsafat tidak bertetangan dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama yakni Allah Swt.
III.
KESIMPULAN
Karya Hayy
Ibn Yaqzhan adalah karya alegori falsafah bercorak kesufian atau alegori sufi
bercorak falsafah. Karya ini merupakan refleksi perjalanan intelektual dan
spiritualitasnya. Karena merupakan hasil penafsiran kritisnya terhadap apa yang
di tulis Ibnu Shina. Tapi Ibnu Thufail tidak kehilangan orisinalitasnya dan
mampu membuat pokok pemikiran yang berbeda.
Ibnu
Thufail dengan Karyanya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin
membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh
Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil
menempuh jalan itu. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur
filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus yaitu
pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al‑‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis(kasyfiyyah‑dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi.
Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia‑rahasia filsafat Timur.
Berkat
kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu karya dengan bahasa yang sederhana namun
mempunyai nilai sastra yang tinggi, Ibnu Thufail sebagai filosof, sastara
maupun agamawan disegani oleh para pemikir dan sastrawan dunia yang terilhami
oleh karyanya. Karya itu, sampai sekarang masih menarik untuk digali dan
dikaji. Sebab banyak aspek‑aspek yang terkandung di dalamnya seperti falsafah, sastra, tasawuf dan
masih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al‑Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, 1969.
Jakarta,
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, 1999.
Gaya Media Pratama: Jakarta.
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2004.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat
Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.
Bagir,
Haidar. Buku Saku Filsafat Islam, 2005. PT. Mizan Pustaka: Bandung 2005.
Sirajuddin, Zar. Filsafat Islam, Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada. 2007.
Muslim, Ishak. Tokoh‐tokoh Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.
0 komentar:
Posting Komentar