Rabu, 14 Desember 2016

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU TUFAIL



I.               PENDAHULUAN
Pemikiran seseorang tidak akan lepas dari pengaruh zaman dan tempat dimana orang itu berada. Pengaruh zaman dan tempat itu akan memberikan ciri khas atau corak dari pemikiran itu sendiri.
Demikian pula dalam sejarah filsafat. Meskipun pada dasarnya sumber filsafat adalah satu yaitu rasio, namun, tidak pelak pemikiran filosofis dari para filosof memiliki ciri dan karakter yang berbeda. Dapat kita lihat bahwa telah terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara pemikiran Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd.
            Makalah ini secara spesifik ingin mengetahui ciri atau corak pemikiran salah satu filosof muslim yang terkenal dengan roman filosofisnya: Hayy ibn Yaqzhan adalah Ibnu Thufail, seorang filosof muslim yang hidup pada masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf Dinasti Al-Muwahhid Spanyol.
Penulis berharap, makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua. Amin.

II.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu tufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Ibnu Tufail. Lahir di Cadix, provinsi Grada sepanyol pada tahun 506 H/ 1110 M. Ia termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa lain ia terkenal dengan Abu Bacer.
Sebagaimana filosof muslim di masanya, Ibnu Tufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang. Selain terkenal sebagai filosof muslim, ia juga seorang dokter di Granada, ahli matematika dan kesusastraan (penyair) dari dinasti AlMuwahhid Spanyol.
Lewat ketenarannya sebgai dokter ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu. Kemudian, Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab: Thanjah/ Latin: Tanger)

 oleh putra Al Mukmin, penguasa Al-Muwahhid Spanyol. Selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa Kholifah Abu Ya’kub, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan, karena khalifah sendiri memang seorang pecinta ilmu pengetahuan. Dari sini dapat kita pahami bahwa transformasi filsafat dan keilmuan Ibnu Thufail dapat dilakukan dengan mudah karena posisi Ibnu Thufail disini adalah pakar dalam pemikiran filosofis dan ilmiah.
Karier Ibnu Thufail sebagai dokter berakhir pada tahun 587 H/    1182 M, karena usianya yang sudah lanjut dan menganjurkan kepada khalifah supaya muridnya, Ibnu Rusyd menggantikan kedudukannya. Khalifah mengabulkan permintaannya dan langsung mengangkat Ibnu Rusyd sebagai dokter istana dan  pada tahun 581 H/ 1185 M) Ibnu Thufail meninggal di Marakesh (Maroko).

B.     Perkembangan Filsafat pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran dan hasil karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang filsafat tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dan politik pada masanya, karena pemikiran merupakan produk budaya dari sebuah masyarakat, dimana seseorang itu hidup, tumbuh dan dibesarkan. Sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri.
Kegiatan intelektual dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh pada masa khalifah alHakam alMustanshir Billah. Pada masa ini, dapat dikatan semaraknya transmisi keilmuan dari Timur ke Barat. Karena AlHakam sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, sehingga ia bersedia menanggung biaya untuk tujuan ekspedisi ke berbagai Negara.
Seiring berjalannya waktu, setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh Hisyam alMu’ayyid Billah, cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Sehingga kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat, walaupun demikian kegiatan menekuni filsafat dilakukan secara sembunyi sampai berdirinya dinasti alMuwahhidin yang dipimpin oleh Abu Ya’qub Yusuf alMansur (558580 H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tetapi masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama, sehingga dalam situasi ini Ibnu thufail terus menggali dan mengembangkan keilmuannya dan melahirkan suatu karya yaitu “Hayy ibnu yaqzhan”. Karya ini menggunakan bahasa sederhana, dengan tujuan supaya masyarakat mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup.

C.    Karya Besar Ibnu Thufail “Hayy ibn Yaqzhan”
Roman filsafat Hayy ibnu Yaqzhan (si hidup anak si sadar) banyak menyita perhatian para sastrawan dan filsuf Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu Thufail pada abad ke6 H (12 M). Hingga era kebangunan menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah roman filsafat hayy ibnu yaqzhan penulis bahas agar juga mendapatkan segenap pemikiran Ibnu Thufail yang terkandung dalam kisah ini.
Hayy ibn Yaqzhan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan, system pengetahuan, filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra misalnya, karya ini mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam kisah ini dan tradisi sastra tersebut sudah lama berkembang di dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat dunia Islam dalam satu lintas generasi.
Perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang di usung roman ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Yang berbeda dari karya ini adalah bagaimana Ibnu Thufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk sebuah roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan “fitrah primordial”nya ditengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Dengan judul yang sama, sebenarnya Ibnu Shina juga pernah menggunakan roman ini sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu Shina menempatkan tokoh hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai pengetahuan luar bisa. Ibnu Shina juga menulis roman yang bertajuk sama yang berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak.
Kisah Hayy ibn Yaqzhan dalam Risalah Ibnu Shina, bertujuan untuk menegaskan kekuatan akal dan keutamaannya dari segala yang dimiliki manusia, termasuk naluri instingnya, semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Shina menunjukkan bagaimana hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai bawah dengan teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam karyanya Ibnu Thufail, lebih berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal sebagai pencari pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait masalah yang terakhir itu, Aspek filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu Bajjah sebagai pendahulunya dan sebagai seorang filsuf rasionalis murni, juga berperan penting karya Ibnu Thufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibn Thufail mengakui pentingnya kesendirian di dalam mengembangkan nalar teoritis. Namun dia tidak puas terhadap peranan akal disitu. Dan dinilai oleh Ibnu Thufail bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir alMutawahhid ini sebagai karya yang kurang sempurna. Inilah yang menjadi salah satu pemacu dalam menulis karya hay ibnu yaqzhan.
Hal lain yang dapat dijadikan latar belakang penulisan hayy ibn yaqzhan yaitu ketidak puasan Ibnu Thufail terhadap jalan yang selama ini ditempuh oleh para sufi, seperti alGhazali dan menegaskan bahwa metode iluminasi lebih tinggi dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati. Kalau sedikit berbalik ke dunia timur, dimana seorang filosof yang bernama Suhrawardi juga menempatkan Iluminasi sebagaimana yang paling utama. Walaupun keduanya secara jarak sangat jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh utama dalam kisah ini adalah hay ibn yaqzhan sendiri. Dimana ia mengambarkan atau perosnifikasi dari akal manusia sebagai instrument memahami alam sekitar. Berangkat dari akal murni ini, hay naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak rahasia alam ini. Yaitu melalui intuisi sebagai alat untuk melihat bendabenda nonmateri yang lebih tinggi derajatnya. Untuk lebih mendalami is kandungan dalam kisah hay ibn yaqzhan ini, perlu membaca ulang dan mengulas dulu isi kisah tersebut. De.ngan analisis dan tinjauan atasnya, akan lebih dipahami hikmah dan kandungannya.
Buku filsafat yang berjudul Hayyy ibnu Yaqzhan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Thufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Thufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.

D.    Pemikiran Ibnu Thufail
Filsafat Ibnu Thufail merupakan pemikiran yang baru dalam filsafat islam yang belum pernah dilakukan para filosof muslim sebelumnya. Terutama dalam hal pembuktian adanya tuhan. Penjabaran yang diberikan ibnu Thufail cukup gamlang dan dapat dipahami oleh nsemua golongan orang. Berbeda dengan Ibnu Sina. Pembagian wajib al-wujud min ghairih dan mumkin al wujud bi dzatihi, seperti yang dikatakan Prof. Dr. H. Sirajudin Zar, yang dikutip dari Muhammad Athif Al-Iraqiy, agak membingungkan. Karena dalam konsep Wajib ada unsur mumkin.
Secara umum, pemikiran filsafat Ibnu Thufail dapat kita lihat dalam karyanya: Hay Ibnu Yaqhan. Roman Filsafat itu menggambarakan orang yang mempunyai akal fikiran sebagai fitroh bagi setiap manusia. Absal merupakan orang yang berilmu dan beragama islam, dimana ilmunya telah dilengkapi dengakan wahyu. Sedangkan salman menggambarkan tentang masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Ibnu Thufail tidak merasa puas dengan filsafat Al-Ghazali untuk mencari kebahagiaan dan kebenaran tuhan, tetapi lebih cendrung kepada perenungan fikiran sebagaimana dilakukan Al-Farabi. Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran Kontemplatif filsafat arab yang disebut isyrok, suatu teori neo platonisme kuno dan dekat dengan aspirasinya kepada mistik modern. Menurut Amir Ali, sebagaimana dikutip
oleh Muslim Ishak dalam buku Tokohtokoh Filsafat Islam Dari Barat, Filsafat Kontemplatif Ibnu Thufail tidak didasarkan atas exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode yang mana intuisi digabungkan dengan pencarian akal. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam kisah Hay, dimana, akal memiliki perkembangan yang berngsurangsur dan berturutturut dari seseorang yang tidak mendapat asupan pendidikan dari luar, berupa:
1.        Metafisika (Ketuhan)
Seperti para filosof sebelumnya, ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya tuhan ibnu Thufail mengemukakan tiga argument sebagai berikut:
a)        Argumen Gerak
Gerak alam menjadi bukti adanya Allah Swt. Baik bagi orang yang meyakini alam baharu maupun bagi orang yang yang meyakini alam kadim. Bagi orang yang meyakini alam itu baharu, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada (diciptakan). Oleh karena itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu mestilah membutuhkan pencipta yaitu Allah Swt. Sementara bagi orang yang mengatakan bahwa alam itu qadim, gerak alam berarti tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak ini tidak didahului oleh diam. Disini, penggerak alam (Allah Swt.) berfungsi mengubah materi dari alam potensial ke actual. Mengubah dari satu bentuk kebentuk yang lain.
Sirajuddin Zar dalam buku filsafat islam, filosof dan filsafatnya mengatakan, inilah letak keistimewaan argumen gerak ibnu thufail, yakni dapat dipahami oleh semua golongan. Dengan argumen diatas, secara tidak

 langsung, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah Swt.
b)        Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu Thufail juga digunakan untuk mebuktikan adanya tuhan. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada korelasinya dengan argumen yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu Thufail dalam kelompok pikiran yang terkait satu sama lain yakni, segala yang ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan bentuk, bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak dan segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Bagi yang meyakini alam itu kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara bagi yang meyakini alam itu baru, pencipta berfungsi menciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Pencipta disini, merupakan ilat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat).
c)        Argumen Alghaiyyat dan Alinayat al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga sebab yang dikemukakan oleh aristoteles yaitu materi, bentuk dan pencipta. Ibnu sina melengkapinya dengan ilat al-ghaliyat, sebab tujuan.
Menurut Ibnu Thufail, bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan tertentu. Ini merupakan inayah dari Allah Swt. Ibnu Thufail yang berpegang pada argument ini sesuai dengan Al-Qur’an, menolak bahwa alam diciptakan secara kebetulan. Alam ini, masih menurut ibnu Thufail, sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh pada manusia memiliki tujuan tertentu. Adapun mengenai dzat Allah Swt. Ibnu Thufail sependapat dengan kaum Mu’tazilah sifat-sifat Allah Swt. yang maha sempurna tidak berlainan dengan dzatNya. Allah Swt. berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan qudrat yang dimiliki melainkan dengan dzat Allah Swt. itu sendiri.
2.        Fisika (Terbentuknya Dunia)
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu qadim. Mengenai alam ini, Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu baru sekaligus alam itu kadim. Alam itu kadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia diciptakan sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia membutuhkan dan bergantung pada dzat Allah Swt.
Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang menggenggam suatu benda, kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu mesti bergerak mengikuti gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini, keseluruhan merupakan akibat dan diciptakan Allah Swt. tanpa zaman. Hal ini dijelaskan pada QS. Yasin : 82.
Artinya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”.
3.        Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan roh (almadat al ruh). Badan tersusun dari unsurunsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan jisim dan bukan pula sesuatu yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah yang berada di dalam jasad akan hidup dan kekal.
Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (annafs al nabawiyat), jiwa jiwa hewan dan jiwa manusia. Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi yaitu jiwa manusia. Dalam menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan jiwa hubungannya dengan Allah kedalam tiga golongan:
a)        Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah Swt. mengagumi kebesaran dan keagungannya, dan selu ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b)        Jiwa yang mengenal Allah Swt. Namun bermaksiat, akan abadi dalam kesensaraan.
c)        Jiwa yang tidak mengenal allah sealam Hidupnya, akan berakhir seperti hewan.
Dalam hal ini, Sirajudin Zar dalam buku Filsafat Islam berkomentar:
“Agaknya Ibnu Thufail meletakkan tanggung jawab manusia dihadapan Allah Swt. atas dasar pengetahuannya tentang Allah Swt. Orang yang tahu kepada Allah Swt dan menjalankan kebaikan, akan kekal dalam kebahagiaan”.
4.        Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqdan, Bahwa makrifat dimulai dari panca indra. Hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal dan intuisi. Makrifat dapat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal seperti yang dilakukan filosof muslim; dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. kesesuaian antara nalar dan intuisilah yang membentuk epistimologi Ibnu Thufail.
Menurut Ibnu Thufail, Ma’rifat dengan tasawuf dapat dilakukan dengan latihanlatihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas dan hakikat semakin tersingkap.
5.        Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama
Melalui roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal tidak bertentangan dengan wahyu. Dari kisah yang digambarkan oleh Ibn Tufail, dimana tokoh Hayy dengan renungan, pemikiran dan pengalaman sendiri, dia dapat mengetahui kebenaran, dan tatkala ia bertemu dengan absal yang membawa kebenaran berdasarkan wahyu, ia langsung membenarkan dan mengimaninya, ini menunjukan bahwa akal murni dan pemikiran yang tidak benar bertentangan dengan wahyu, maka apa saja yang disampaikan oleh wahyu langsung diimani oleh akalm karena akal meyakini kebenaran yang dibawa oleh wahyu disebabkan wahyu langsung datang dari Allah Swt. yang tidak dikeragui lagi kebenarannya, seperti halnya pembenaran Hayy terhadap apa yang dibawa oleh Absal.
Ibn Tufail menyadari, mengetahui dan berhubungan dengan Allah Swt. melalui pemikiran akal murni yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus, dan orang awam tidak mungkin dapat melakukannya, justru itu bagi orang awam sangat diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh Nabi. Agama diturunkan untuk semua orang dalam tingkatannya.
Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan dunia atas semua lambanglambang eksoteris, agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antopomorfis sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak, dan filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris yang menafsirkan lambanglambang itu agar diperoleh pengertianpengertian yang hakiki. Kenyataannya ibn Tufail berusaha dengan penuh kesungguhannya untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah Swt. sedangkan Absal ia lambang sebagai wahyu dalam bentuk esoteris yang membawa hakekat, sementara salaman ia lambangkan sebagai agama yang juga membawa kebenaran dalam bentuk esoteris, kebenaran yang dibawa filsafat tidak bertetangan dengan kebenaran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama yakni Allah Swt.

III.         KESIMPULAN
Karya Hayy Ibn Yaqzhan adalah karya alegori falsafah bercorak kesufian atau alegori sufi bercorak falsafah. Karya ini merupakan refleksi perjalanan intelektual dan spiritualitasnya. Karena merupakan hasil penafsiran kritisnya terhadap apa yang di tulis Ibnu Shina. Tapi Ibnu Thufail tidak kehilangan orisinalitasnya dan mampu membuat pokok pemikiran yang berbeda.
Ibnu Thufail dengan Karyanya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis(kasyfiyyahdzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasiarahasia filsafat Timur.
Berkat kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu karya dengan bahasa yang sederhana namun mempunyai nilai sastra yang tinggi, Ibnu Thufail sebagai filosof, sastara maupun agamawan disegani oleh para pemikir dan sastrawan dunia yang terilhami oleh karyanya. Karya itu, sampai sekarang masih menarik untuk digali dan dikaji. Sebab banyak aspekaspek yang terkandung di dalamnya seperti falsafah, sastra, tasawuf dan masih banyak lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, AlQur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, 1969. Jakarta,
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, 1999. Gaya Media Pratama: Jakarta.
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.
Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam, 2005. PT. Mizan Pustaka:           Bandung 2005.
Sirajuddin, Zar. Filsafat Islam, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Muslim, Ishak. Tokohtokoh Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.

0 komentar:

Posting Komentar