This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 23 April 2019

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

A.      Rasulullah SAW Meninggalkan Umatnya
Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan surat wasiat kepada seseorang untuk meneruskan kepemimpinannya (kekhalifahan). Sekelompok orang berpendapat bahwa Abu Bakar lebih berhak atas kekhalifahan karena Rasulullah meridhainya dalam soal-soal agama, salah satunya dengan meminta mengimami shalat berjamaah selama beliau sakit. Oleh karena itu, mereka menghendaki agar Abu Bakar memimpin urusan keduniaan, yakni kekhalifaan. Kelompok yang lain berpendapat bahwa orang yang paling berhak atas kekhalifaan ialah dari Ahlul bait Rasulullah SAW, yaitu Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abu Thalib. Selain itu, masih ada sekelompok lain yang berpendapat bahwa yang paling berhak atas kekhalifaan ialah salah satu seorang kaum Quraisy yang termasuk dalam kaum Muhajirin gelombang pertama. Kelompok lainnya berpendapat, bahwa yang paling berhak atas kekhalifaan ialah kaum Anshar.

Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi tegang. Padahal semasa hidupnya, nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesame pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras terhadap perebutan kepemimpinan ini; Anshar. Muhajirin, dan keluarga Hasyim. Dalam pertemuan dibalai pertemuan Bani Saidah di Madinah, kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, permuka Kazraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena dipandang paling layak untuk menggantikan nabi. Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib, karena nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, di samping Ali adalah menantu dan kerabat nabi.

Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang dengan melakukan semacam kudeta (coup d’etat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai deputi nabi.4 Besar kemungkinan tanpa intervensi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari depan komunitas muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat ukhuwah Islamiyah, terpilihlah Abu Bakar, Ia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal karena sejak pertama menjadi pendamping nabi, ia sahabat yang paling memahami risalah Muhammad, bahkan ia merupakan kelompok as-sabiqun al-awwalun yang memperoleh gelar Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar bergelar “Khilafah Rasulillah” atau Khalifah. Meskipun dalam hal ini perlu di jelaskan bahwa kedudukan nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad.Sebagai penyampai wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan yang tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul (khalifah) hanyalah perjuangan nabi.
 
Sepeninggal Rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar dari sang Guru Agung bagi kemajuan Islam dan umatnya. Oleh karena itu, gelar Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka.

B.       Al-Khulafa Ar-Rasyidin
1.   Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelar AAsh-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj. Seringkali mendapingi rasulullah di saat penting atau jika berhalangan, RAsulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugastugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan actual di Madinah. Pilihan umat terhadap tokoh ini sangatlah tepat.

Hal menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan Strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Rasulullah. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari pidato Abu Bakar yang terkenal itu: “Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu,padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku nerlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan
orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku”.

Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya nabi. Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas tugas mulia nabi. Ia menyadari bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang besatu ini, yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan nabi yang hamper tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah. Hal tersebut dilakukan untuk membalaspembunuhan ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Sebagian sahabat menetang kersa rencana ini, tetapi
khalifah tidak peduli. Nyatanya ekpedisi itu sukses dan membawa pengaruh positif bagi umat Islam, khususnya di dalam membangkitkan kepercayaan diri mereka yang nyaris pudar.

Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad, yaitu keluar dari Islam. Mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan baiat kepada khalifah yang baru dan bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjianperjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal disebabkan kematian nabi. Maka tidaklah mengherankan dengan banyaknya suku Arab yang melepaskan diri dari ikatan agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu bagi nabi dan para sahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam. Memang suku-suku Arab dari padang pasir yan jauh itu telah datang kepada nabi dan mendapatkan kesan mendalam tentang Islam, tetapi mereka hanyalah setitik air di samudera. Di dalam waktu beberapa bulan tidaklah mungkin bagi nabi dapat mengatur pendidikan atau pelatihan yang efektif untuk masyarakat yang tersebar di wilayah-wilayah yang sangat luas dengan saran komunikasi yang sangat minim pada saat itu.

Mereka melakukan Riddah, yaotu gerakan pengingkaran terhadap Islam.Riddah berarti murtad, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan (distortion) terhadap lembaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan maker yang melawan adama dan pemerintah sekaligus. Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka, Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nnabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.

Selama tahun-tahun terakhir kehidupan nabi SAW, telah muncuk nabi-nabi palsu di wilayah Arab bagian selatan dan tengah. Yang pertama mengaku dirinya memegang peran kenabian muncul di Yaman, ia bernama Aswan Ansi. Berikutnya ialah Musailamah Al-Kadzab, yang menyatakanbahwa Nabi Muhammad telah mengangkat dirinya sebagai mitra (partner) di dalam kenabian. Penganggap lainnya adalah Tulaihah dan Sajjah Ibnu Haris, seorang wanita dai Arab Tengah. Adapun orang-orang yang tidak mau membayar zakat, di antaranya
karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak yang dipaksakan penyerahannya ke perbendaharaan pusat di Madinah yang sama artinya dengan ‘penurunan kekuasaan’; suatu sikap yang tidak sesuai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang independen. Alasan lainnya ialah – dan ini menempati golongan terbesar – disebabkab karena kesalahan memahami ayat Alquran yang menerangkan mekanisme pemungutan zakat (Surah At-Taubah: 301). Mereka menduga bahwa hanya nabi yang berhak memungut zakat, dengan itu kesalahan seseorang dapat dihapuskan dan dibersihkan.

Penumpasan terhadap orang-orang murtad dan para pembangkang tersebut terutama setelah mendapat dukungan dari suku Gatafan yang kuat ternyata banyak menyita konsentrasi khalifah, baik secara moral maupun politik. Situasi keamanan Negara Madinah menjadi kacau sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali Umar yang dikenal keras menganjurkan bahwa dalam keadaan yang sangat kritis lebih baik jika mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap ini khalifah menjawab dengan marah. “Kalian begitu keras di masa Jahiliah, tetapi sekarang setelah Islam, kalian menjadi lemah. Wahyu-wahyu Allah telah berhenti dan agama kita telah memperoleh kesempurnaan. Kini haruskah Islam dibiarkan rusak dalam masa hidupku? Demi Allah, seandainya mereka menahan sehelai benang pun (dari zakat) saya akan memerintahkan untuk memerangi mereka”.

Dalam memerangi kaum murtad, dari kalangan kaum muslimin banyak hafizh (penghafal Alquran) yang tewas. Dikarenakan merupakan bagian-bagian Alquran, Umar cemas jika angka kematian itu bertambah, yang beberapa bagian lagi dari Alquran musnah. Oleh karena itu, ia menasihati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan” Alquran. Mulanya khalifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak menerima otoritas dari nabi, tapi kemudian member persetujuan menugaskan Zaid binTsabit. Menurut Jalaludin As-Suyuti bahwa pengumpulan Alquran ini termasuk salah satu jasa besar dari khalifah Abu Bakar.

Peperangan melawan para pengacau tersebut meneguhkan kembali khalifah Abu Bakar sebagai “Penyelamat Islam”, yang berhasil menyelamatkan Islam dari kekacauan dan kehancuran, dan membuat agama itu kembali memperoleh kesetiaan dari seluruh Jazirah Arab. Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan melawan kedua kekaisaran itu.

Tentara Islam di bawah pimpinan Musanna dan Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan menaklukkan Hirah. Sedangkan ke Syiria, suatu negara di utara Arab yang dikuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil. Ekpedisi ke Syiria ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat karena daerah protektorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi Timur. Dengan bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya nabi, impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama Islam hidup kembali. Mereka menyokong sepenuhnya pergolakan itu serta melindungi orang-orang yang berani berbuat maker terhadap pemerintahan Madinah. Dalam peristiwa Mu’tah, bangsa Romawi bersekongkol dengan suku-suku Arab pedalaman (Badui) dan orang Persia memberikan dukungan yang aktif kepada mereka untuk melawan kaum muslimin.

Faktor penting lainnya dari pengiriman pasukan besar-besaran ke Syiria ini sehingga di pimpin oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat Islam Arab memandang Syiria sebagai bagian integral dari semenanjung Arab. Negeri itu didiami oleh suku bangsa Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian, baik untuk keamanan umat Islam (Arab) maupun untuk pertalian nasional dengan orang-orang Syiria adalah sangat penting bagi kaum muslimin (Arab). Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan Kerajaan Hirah, dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapatselanjutnya, Khalifah Abu Bakar meniggal dunia, pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan ke khalifahannya berlangsung selama 2 tahun 5 bulan 11 hari.

2.   Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Umat bin Khatthab nama lengkapnya adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi, salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy unutk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku-suku yang lain. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi SAW serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan memilih dan menbaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasihatnya serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khatthab menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukkan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umatnya: “Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan di lalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui.

Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai khalifah itu merupakan fenomena yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Umtuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abu Bakar Melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Pada awalnya terdapat bebagai keberatan mengenai rencana pengangkatan Umar, sahabat Thalhah misalnya, segera menemui Abu Bakar untuk menyampaikan rasa kecewanya. Namun, karena Umar adalah orang yang paling tepat menduduki kursi kekhalifahan, maka pengangkatan Umar mendapat persetujuan dari baiat dari semua anggota masyarakat Islam.

Umar bin Khatthab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullahh). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya. Ketika para pembangkang didalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mengsukseskan ekpedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan ini. Pada tahun 635 M, Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria ditundukkan, setahun kemudian seluruh wilayah Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kuat itu tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.

Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Suriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bajar telah mengirim pasukan besar di bawah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Front Syiria. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke Fronnt Irak untuk membantu pasukan di Syiria. Dengan gerakan secepat kilat Khalid menyebrangi gurun pasir ke arah Syiria. Ia bersama Abu Ubaidah bin Jarrah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abu Bakar, dan diganti Umar bin Khatthab. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar diberhentikan oleh Umar dan digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud agar tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah melanjutkan penaklukan Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Yarusalem, kota itu dikepung oleh pasukan muslim selama empat bulan. Sehingga akhirnya dapat di taklukkan dengan syarat harus khalifah Umar itu sendiri yang menerima “kunci” kota itu, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan
menghancurkan gereja-gereja.

Dari Syiria, pasukan kaum muslim melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30 sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauancdi negeri yang pernah di perintah oleh Raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front pertempuran. Akhirnya permintaan itu dikabulkan juga oleh khalifah dengan mengirim 4.000 tentara ke Mesir untuk membantu ekpedisi tersebut. Tahun 18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan Pelusiun (Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota Babilon juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H stelah 7 bulan terkepung, Cyrus, pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan Islam pimpinan ‘Amr setelah melihat kebesaran dan kesungguhan pasukan muslimin untuk menguasai Mesir.

Iskandariah, ibu kota Mesir dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan islam di bawah pimpinan Ubadah bin Samit yang dkirm oleh khalifah di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut:

a)     Setiap warga Negara diminta untuk membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
b)      Gencatan senjata akan berlangsung selama 7 bulan.
c)    Bangsa Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tiadak akan menyerang Iskandariah dan harus menjauh diri dari permusuhan.
d)      Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen.
e)      Pasukan tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang, mereka akan membayar pajakm perseorangan selama satu bulan.
f)      Umat Yunani harus tetap tinggal di Iskandariah.
g)     Umat Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sipil sebagai sandera sampai bataswaktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
 
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnahlah penaklukkan atas Mesir. Ibu kota negeri itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dubangun oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran Kairo hinggan kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan. Dengan Syiria sebagai basis, gerak maju pasukan Armenia, Mesopotamia Utara, Georgia dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat terhadap Asia Kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Seperti halnya Yarmuk yang menentukan nasib Syiria, perang Qasidisiah pada tahun 673 M menetukan masa depan Persia.

Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah Sa’ad bin Abi Waqqas untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di wilayah itu membuka jalan bagi gerak maju tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tirgis. Ibu kota Persia, Ctesiphon (Madain) yang letakknya di tepi sungai Tigris pada tahun itu dapat dikuasai. Setelah dikepung selama dua bulan, Yazdagrid Nahawan dan menundukkan Ahwaz pada tahun 22 H. TAhun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna dikuasai. Isfahan juga ditaklukkan, demikian pula Jurjan/Georgia dan Tabristan. Azerbaijan tidak luput dari kepungan pasukan muslim. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar daripada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dapat dikalahkan sehingga menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Kaum muslimin menyebut sukses ini dengan “kemenangan dari segala kemenangan” (Fathul Futuh). Perebutan atas kekuatan yan strategis tersebut berlangsung dengan cepat dan member prestise di mata dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan seakan-akan dogerakkan oleh kekuatan ghaib telah meluluhlantakkan Kerajaan Persia dan Romawi. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Khalid bin Walid, ‘Amr bin Ash dan lain-lain di Irak, Syiria, dan Mesir termasuk yang paling gemilang dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika di bandingkan dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.

Pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan, baitul mal, mencetak uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan menyelenggarakan “hisbah”. Khalifah Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun bawahannya sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapay dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khalifah memang merupakan penjelmaan yang hidup dari prinsip-prinsip egaliter dan demokratis yang harus dimiliki seorang kepala Negara.

Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturanperaturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu peperangan (ghanimah). Khalifah Umar membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri yang telah ia taklukkan dan melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka menerima tunjangan dari baitul mal atau gaji bagi prajurit yang masih aktif. Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (Al-Kharaj). Begitu pula Umar meninjau kembali bagian-bagian zakat yang dipercantumkan kepada’orang yang dijinakkan hatinya’ (Al-Mualladat Qulubuhum) mengenai syarat-syarat pemberiannya. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiaanya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Fairus atau Abu Lu’lu’ah secara tibatiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kea rah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari para pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat 3 hari setelah penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.

3.    Utsman Bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan, Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putrid Nabi SAW secara berurutan setelah salah satu meninggal. Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin Mekah, dan ikut hijrah ke Abenesia beserta istrinya.Utsman menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam
ekspedisi untuk melawan Bizantium di perbatasan Palestina. Ia juga membeli mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk selanjutnya diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.

Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah batu. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditanbahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih. Melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, siding Syura akhirnya memberi mandate kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman menjadu dua periode, yaitu enam tahun terakhir merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.

Pada masa-masa awal pemerintahannya. Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus melindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara cermat dan simultan di semua front. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di sini ialah “Zatis Sawari” (Peperangan Tiang Kapal) yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan perang kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang digunakan dalam peperangan tersebut. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslim sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan dari Irak, dan dari kota Kufah, Gelombang kaum muslimin menyerbu beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia.

Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Alquran. Penyusunan Alquran dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Alquran. Disebutkan bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang baccan Alquran muncul dikalangan tentara muslim, dimana sebagiannya direkrut dari Suriah dan sebagian lagi dari Irak. Ketua dewan penyusunan Alquran, yaitu Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran antara lain adalah dari Hafsah, salah seorang istri Nabi SAW. Kemudian dewan itu membuat beberapa salinan naskah Alquran untuk dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya. Setelah melewati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaannya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahaannya. Akan tetapi, sebenarnya kekacauan itu sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.

Utsman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang yang baik dan saleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Oleh karena itu, Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota-anggota keluarga itu. Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam. Ketika Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang di tuduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi seketaris utamanya, segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan mengorbankan kekayaan umun dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negar Suriah dan khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk dirinya dan lain-lain.
 
Situasi politik akhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mencekam. Bahkan juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Kondifikasi Alquran tersebut diatas misalnya, yang dimaksudkan oleh khalifah untuk menyelesaikan kesimpangsiuran bacaan Alquran sehingga perbedaan serius mengenai kitab suci dapat dihindari, telah mengundang kecaman yang sangat melebihi dari apa yang mungkin tidak diduga. Lawan-lawannya menuduh bahwa Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.

Terhadap berbagai kecaman tersebut, khalifah telah berupaya untuk membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan. Tentang pemborosan uang negara misalnya, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Benar jika dikatakan ia banyakn membantu saudara-saudaranya dari Bani Umayyah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya. Sama sekali bukan dari kas negara, bahkan khalifah tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjabat khalifah, justru Utsman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan mengumpulkan harta seperti di masa sebelum menjadi khalifah. Dalam hal ini Utsman berkata: “Pada saat pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling banyak di Arab, hari ini aku tidak memiliki kambing atau unta kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Tentang penyokong mereka, aku memberikan kepada mereka apa pun yang dapat aku berikan dan milikku pribadi. Tentang harta kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan negara, apa yang aku makan adalah hasil nafkahku sendiri.

Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Di Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang Gubernur yang diangkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras terjadi di Mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad, saudara ankat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena konfil soal pembagian ghanimah. Pemberontakan berhasil mengusir gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu berarak-arakan menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah dan Kufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah meuruti kemauan mereka dengan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka
merasa puas atas kebijaksanaan khalifah tersebut dan pulang ke negeri masing-masing. Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusu yang menerangkan bahwa para wakil itu harus di bunuh setelah sampai ke Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam, seketaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan diserahkan kepada pemberontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ingin menyelsaikan persoalan tersebut dengan jalan damai, tetapi mereka tidak dapat menerimanya.
 
Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Alquran, pada tahun 35 H/17 juni 656 M. akan tetapi, menurut Lewis, pusat oposisi sebenarnya adalah di Madinah sendiri. Di sini Thalhah, Zubair, dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang datang ke Madinah untuk melampiaskan rasa dendamnya yang meluap-luap itu.

4.    Ali Bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 H)
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakandari menantu nabi. Ali putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia sepupu Nabi SAW yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman nabi yang lain membantu Abu Thalib dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain. Ia telah masuk Islam pada usia sangat muda. Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di mekah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fathimah, salah seorang putri Rasulullah, dan dari sisi keturunan Nabi SAW berkelanjutan. Karena kesibukannya merawat dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW, ia tidak berkesempatan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, tetapi ia baru membaiatnya setelah Fathimah wafat.

Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Muhammad. Beberapa hari pembunuhan Utsman, stabilitas keamanan kota Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib tampil menggantikan Utsman, menerima baiat dari sejumlaha kaum muslimin.

Kota Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak yang berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Sehingga hanya beberapa sahabat yang masih bertada di Madinah, antara lain Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan tidak semua sahabat tersebut menyokong Ali, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Oleh karena itu, Ali pun menanyakan keberaddan mereka karena merekalah yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi khalifah lantaran kesenioranya dan mengikuti perang Badar. Maka muncullah Thalhah, Zubair, dan Sa’ad membaiat Ali yang kemudian diikitu oleh banyak orang, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, dan yang paling awal
membaiat Ali adalah Thalha bin Ubaidillah.

Tugas pertama yang dilakukan oleh Khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah hibah yang telah di bagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah, Muawwiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.

Oposisi terhadapa khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Mrskipun masing-masing mempunyai alasan peribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama jug diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang-orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah Utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar itu.

Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakan lagi. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “Perang Jamal” (Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah, istri Nabi SAW mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin gugur. Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung perang, dan justru bertikai melawan saudara sesama muslim. Segera sesudah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibu kota kedaulatan Islam dan tidak ada lagi seorang khalifah yang berkuasa berdiam di sana. Sekarang Ali adalah pemimpin dari seluruh wilayah Islam, kecuali Suriah.

Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas pemerintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslom terjadi lagi, yaitu antara angkatan perang Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya puhak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Alquran sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meltakkan jabatan pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, ‘Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim (arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahirnya golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.

Kelompok Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya, sungguh sangat fatal bagi Ali. Tentara semakin lemah, sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa Khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir. Kelompok Muawiyah juga berusaha sedapat mungkin untuk membuat massa Islam dari pengikut Ali, Muawiyah dan ‘Amr, sebab diyakini bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan yang terjadi kemudian. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661), khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Ibnu Muljam, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik. Pada tanggal 10 Ramadhan 40 H (660 M) masa pemerintahan Ali berakhir.

Hasan anak tertua Ali mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai khalifah kurang lebih selama lima bulan. Tentaranya dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan para pendukungnya di Irak meninggalkannya sehingga dengan demikian tidak dapat lebih lama lagi mempertahankan kekuasaannya, kemudian turun tahta. Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah penguasa absolut dalam wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabits Tsani tahun 4 H (661 M) Muawiyah memasuki kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya. Sumpah kesetiaan diucapkan kepadanya di hadapan dua putra Ali, Hasan dan Husain. Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga pada tahun 4 H disebut sebagai ‘Amul Jama’ah, tahun jama’ah.

C.      Kemajuan Peradaban Khulafaur Rasyidin
Masa kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi kekuasaan Islam menembus ke luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bizantium dan Hindia.

Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai berikut:

1.  Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.  Dalam dada para sahabat Nabi SAW tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang terpadu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan aliran agama wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksa aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
5.  Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.  Bangsa Sami di Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7.  Mesir, Syiria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.

Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Diantara pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut:

1.  Menjaga keutuhan Alquran Al-Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar.
2.    Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.  Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para penduduk negeri. Oleh sebeb itu, para sahabat pada masa Utsman dikirm ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Alquran dan As-Sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.  Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 banyak yang mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah 30 dan menafsirkannya dengan motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang di tundukkan. Interpretasi ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang berbicara bahwa berperangnya sahabat adalah karena iman yang bersemayam di dada mereka.
5.    Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i maupun panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi sebagai da’i. para khalifah adalah penguasa, imam shalat, mengadili orang yang berselisih, da’I, dan juga panglima perang. Di samping itu, dalam hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau lembaga-lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih sempurna, telah di jadikan sebagai suatu nizham yang mempunyai alat-alat perlengkapan dan lembaga-lembaga menurut ukuran zamannya telah cukup baik.

Kesimpuan
Setelah Nabi saw wafat, masing-masing golongan yang ada pada masa itu merasa paling berhak menjadi penerus nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang dengan melakukan semacam kudeta (coup d’etat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai deputi nabi.

Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelar AAsh-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj. Seringkali mendapingi
rasulullah di saat penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan actual di Madinah.

Umat bin Khatthab nama lengkapnya adalah Umar Bin Khatthab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy unutk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku-suku yang lain.

Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan, Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putrid Nabi SAW secara berurutan setelah salah satu meninggal. Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin Mekah, dan ikut hijrah ke Abenesia beserta istrinya.

Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dari menantu nabi. Ali putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia sepupu nabi SAW yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman nabi yang lain membantu Abu Thalib dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain. Ia telah masuk Islam pada usia sangat muda. Ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di mekah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fathimah, salah seorang putri Rasulullah.

Daftar Pustaka
Al-Baladzuri, Futuhul Buldam, Jilid V, Mesir: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, t.t..
Al-Akkad, Abbas Mahmood, Kecemerlangan Umar bin Khatthabm. Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar, 2006.
As-Suyuti, Jalaludin, Tarikh al-Khulafa. Beirut: Darul Fikr, 1979.
At-Tabari, Tarikh At-Thabari, Jilid III, Mesir: Darul Ma’arif, 1962.
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hassan, Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam As-Siyasi wa Ad-Dini wa As-Sawafi wa Al-Ijtimai, Kairo: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979.
Hassan, Ibrahim Hassan, Tarikhul-Islam, As-Siyasi Ad-Dini As-Saqafi Al- Ijtima’I, Jilid I, Kairo: Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, 1979.
Hasymi, A., Prof., Dustur Da’wah menurut Alquran. Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Hisyam, Ibnu, Sirah Ibn Hisyam, Jilid IV, Mesir: Mathba’ah Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuh. 1973.
Ilaihi, Wahyu, S.Ag., M.A., dan Harjani Hefni, Lc., M.A., Pengantar Sejarah Dakwah. Rahmat semesta dan Kencana, 2007.
Lewis, Bernard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pedoman Ilmu, 1998.
Mahmudunnasir, Syed, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Rosda Karya 1991.
Montgomery, W., Pengantar Studi Alquran, Jakarta: Rajawali, 1991.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Mun’in Majeed, Tarikh Al-Hadarah Al-Islamiyah. Mesir: Angelo, 1965.
Said, Amin, Nasy’atud Daulat Al-Islamiyah, Isa Al-Halabi, Mesir, t.t.
Sulthon Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: UINSA, 2014
Shihab M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. Tangerang: Lentera Hati, 2011.
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, SIRAH NABAWIYAH. Jakarta Timur: UMMUL QURA, 2016.
Sjadzali, Munawwir, Islam dan Tata Negara. Jakarta : UI Press, 1991.
Yatim, Badri, Dr.M.A., Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raya Grofindo Persada, 2000.