Rabu, 14 Desember 2016

MAKALAH PENDIDIKAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS)



A.      Pendahuluan

Akhir abad ke 19 merupakan momentum bagi kebangkitan dunia Islam. Kesadaran ini muncul setelah dunia Islam melihat perputaran roda sejarah berbalik: dunia Barat maju dan dunia Islam terpuruk, bahkan Islam menjadi bulan-bulanan dunia Barat yang Kristen itu. Dari realitas sejarah ini kemudian muncul gerakan yang mencoba untuk melakukan otokritik secara kritis dengan cara melakukan evaluasi sebab-sebab terjadinya perputaran roda sejarah yang berbalik itu.

Menurut Abdullah (1995:539) gerakan ini lebih mengemuka di hampir dunia Islam pada abad ke 20 dengan nama gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tema sentral ide pembaharuan pemikiran dalam Islam di atas terletak pada kata kunci I’adatu al-Islam, yakni keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia, yang dulu pernah dilakukan Islam. Salah satuwujud dari I’adatu al-lslam itu adalah lajdid al-fahm, yakni memperbaharui kembali cara pandang dalam menjawab problematika yang berkembang dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Tajdid al-fahm ini dilakukan karena kemunduran dunia Islam diakibatkan penempatan qaul ulama abad pertengahan dijadikan rujukan utama dalam menjawab persoalan kontemporer sehingga yang terjadi kemudian adalah bias-bias dan kekakuan karena qaul itu sendiri muncul dan dirumuskan berdasarkan setting sosial oleh ulama ketika masih hidup. Adapun tema sentral gerakan untuk memulihkan dunia Islam adalah pemurnian akidah, ibadah dan semangat ijtihad di tengah masyarakat singkretik dan masyarakat yang berorientasi taklid.

Menjamurnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam seperti yang berkembang di dunia Islam di atas juga berkembang di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20, yang salah satunya adalah Persatuan Islam (PERSIS). Dalammakalah ini, penulis akan mencoba memaparkan sejarah berdirinya Persis, arah dan pergerakannya, visi dan misi Persis, serta peran Persis.

Dalam makalah ini, penulis memaparkan  Persatuan Islam (PERSIS). Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan bagi kita semua. Amin.

B.       Pembahasan

1.        Sejarah Berdirinya PERSIS

Menurut Ansori (1958:6) Persatuan Islam (PERSIS), adalah salah satu gerakan pembaharuan yang berdiri di Bandung pada hari Rabu tanggal 12 September1923 M. / 1 Safar 1342 H., tepatnya di salah satu gang kecil

yang bernama Pakgade. Di gang ini banyak berkumpul para saudagar, yang saat itu disebut Urang Pasar. Menurut Wildan, awal mula pembicaran pendirian PERSIS, didasarkan pembicaraan awal antara Yusuf  ZamzamQomaruddin, dan E. Abdurrahman. Berdirinya organisasi Persatuan Islam bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran:103; 

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٠٣﴾
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Berdirinya PERSIS juga dimaksudkan membersihkan Islam dari segala bid’ah, khurafat, shirik. Organisasi Persatuan Islam pada awal terbentuknya melalui kenduri-kenduri yang diadakan oleh kelompok para pedagang secara berkala dari rumah ke rumah anggota kelompok yang berasal dari Pelembang, mereka hijrah ke Bandung sejak abad 18, antara satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan kekeluargaan, dan perkawinan dan adanya kepentingan bersama dalam usaha perdagangan serta adanya kontak antara generasi yang datang kemudian untuk mengadakan studi agama, dan tamu-tamu lainnya yang datang pada acara tersebut juga berasal dari orang lain di luar perkumpulan peranakan Palembang, yaitu orang-orang yang ada di sekitar mereka berdagang.

Di antara tokoh-tokoh utama pendiri Persatuan Islam adalah Zamzam (1894-1952) dan Muhammad Yunus (PP PERSIS No.5/1993:5). Topik pembicaraan pada saat kenduri yang diadakan itu adalah diskusi-diskusi yang mengarah pada pendirian PERSIS dan mengupas gagasan-gagasan reformis yang sangat popular di Sumatera, yaitu yang dimuat di majalah al-Munir, yang terbit di Padang dan majalah yang bernama al-Manar, majalah ini terbit di Mesir, juga konflik yang terjadi antara Jami’at al-Khayr dengan al-Irsyad dalam masalah talafuz, niat dan berbagai persoalan lainnya. Selain itu jama’ah cikal bakal berdirinya PERSIS juga sangat menaruh perhatiannya terhadap organisasi-organisasi ke-Islaman lainnya seperti Syarikat Islam, di mana saat itu mereka sedang mengalami perpecahan akibat pengaruh faham komunis, begitu pula dengan Syarikat Islam di Bandung resmi menyokong komunis pada kongres Nasional yang ke-6 di Surabaya pada tahun 1921. Hal ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan oleh jama’ah cikal bakal berdirinya PERSIS tersebut, di samping itu kalangan mayoritas kalangan ummat Islam di Bandung khususnya menjadi sangat resah. Semua berita ini telah dibawa oleh Fakih Hasyim dari Surabaya ke Bandung (Noer, 1980).

Dari jama’ah penela’ah tentang Islam, mereka namakan Persatuan Islam.Saat itu pada setiap jama’ahnya selalu mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya, jadi jama’ah tersebut sebenarnya telah terbentuk tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau tanpa peraturan yang resmi, oleh karena itu didirikanlah secara resmi organisasinya sehingga mempunyai peraturan resmi dan disusun bersama, kemudian diberi nama dengan Persatuan Islam (PP PERSIS, 2005). 

Berdirinya organisasi PERSIS bukan atas dasar kepentingan dari pendirinya, namun atas dasar syi’ar Islam. Para pendiri PERSIS mendirikan organisasi karena merasa terpanggil untuk memperbaiki ummat, dan para pendirinya tidak mendapatkan kepentingan di dalamnyaBerdirinya organisasi PERSIS saat itu hanya bertujuan untuk mengangkat ummat Islam dari kejumudan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad (Ansori, 1958).

2.        Pola Pemikiran Tokoh-tokoh Persis

a)        A. Hasan

Menurut Dadan Wildan dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai Yang Politikus” beliau mengatakan bahwa untuk menelusuri perubahan sikap A.Hassan dalam agama, sukar disimpulkan. Apakah perubahannya itu terjadi di Surabaya atau di Bandung? Namun, tampaknya perubahan ini terjadi secara bertahap. Seperti pengaruh keluarga, pengaruh bacaan, dan pengaruh pergaulan.

Selama di Bandung A.Hassan sering mengikuti pengajian-pegajian dalam lingkungan Persis. Yang pada akhirnya ia memasuki organisasi Persis pada tahun 1926, tiga tahun setelah organisasi itu berdiri -Persis berdiri pada tanggal 26 September 1923. A.Hassan masuk Persis sebenarnya bukan karena ia tertarik dengan paham-paham Persis, karena justru dialah yang membawa Persis menjadi gerakan ishlah. Ia sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Maka nampaklah gabungan antara watak A.Hassan yang tajam dalam berpikir dan ciri Persis yang Keras. Hasilnya, sebuah gerakan tajdid yang cepat meluas. Dia telah membawa Persis menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah-masalah fiqhiyyah. Di tangannyalah, Persis tampil dengan corak dan warna baru dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

Kiprah A. Hassan di Persis sejalan dengan “program jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita-cita dan pemikirannya. Yakni menegakkan Al-Quran dan Sunnah. Hal tersebut ia lakukan dengan berbagai aktifitas, antara lain dengan mengadakan tablig-tablig, menyelenggarakan kursus pendidikan Islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah, dan selebaran-selebaran lainnya.Persis benar-benar mendapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap perdebatan, meskipun kadang-kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan kejumudan di kalangan umat Islam.

Masa-masa berikutnya boleh dikatakan perkembangan Persis dengan A. Hassan menjadi identik. Pandangan-pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim modernis” di Indonesia. A.Hassan dengan Persisnya atau persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam berbagai pertukaran pikiran, dialog terbuka, perdebatan, serta polemik di berbagai media massa.

b)        Mohammad Natsir: Ulama Politikus

Menurut Dadan Wildan pula dalam bukunya yang berjudul “Yang Dai Yang Politikus” beliau mengatakan bahwa Muhammad Natsir ini adalah salah satu dari murid-muridnya A.Hassan yang sering datang ke rumahnya A.Hassan untuk bertanya dan membahas soal-soal agama Islam. Natsir ini adalah orang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A.Hassan.

Oleh karena Natsir ini adalah muridnya A.Hassan, maka ia pun banyak pula melahirkan karya-karya tulisan. Dalam berbagai tulisannya, Natsir menempatkan Islam tidak semata-mata suatu agama, tetapi juga suatu “pandangan hidup” yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Baginya, Islam adalah sumber perjuangan, sumber penentangan terhadap segala bentuk penjajahan, eksploitasi manusia atas manusia, sumber pemberantasan kebodohan dan kejahilan, sumber pemberantasan kedewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Dalam pandangannya, Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Islam adalah primer.

Sebagai seorang ulama yang terjun di bidang politik, Kegiatan politik Muhammad Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bahkan ia pun penah menjabat sebagi menteri penerangan pada Kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dandalamkabinetHatta 1948.

c)        KH. E. Abdurrahman:

Peran, kedudukan, dan aktivitas K.H. E. Abdurahman  dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai pemikir, pendakwah maupun pelanjut gerakan tajdid dalam jam’iyyah persis, telah memberi warna tersendiri. Ia tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan gaya kepimimpinan yang luwes, ia telah membawa persis pada garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile, dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa keras namun tetap teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. 

Ustad Abdurahman dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli hukum yang tawadlu. Ia tidak ingin disanjung sehingga tidak banyak dikenal umum. Penghargaannya terhadap waktu sangat luar biasa. Ia menghabisakan waktunya menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.

Dalam penilaian Mohammad Natsir, ustad Abdurahman mempunyai kelebihan dalam hal kecermatannya ketika menetapkan hukum dari ijtihadnya, dengan landasan dalil yang selalu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya ulama seperti ini termasuk langka, bahkan jarang ditemui, bahkan di luar negri sekalipun.

Dalam aktivitas organisasi di jamiyyah persis, ustad Abdurahman menunjukan sikap loyal. Ia aktif sebagai anggota persis sejak tahun 1934. Jabatan dalam jamiyyah yang pertama kali dipegangnya adalah ketua bagian tabligh dan pendidikan pada tahun 1952. Pada tahun 1953 (pada muktamar persis di Bandung) ustad Abdurahman terpilih sebagai sekretaris umum pusat pimpinan persis, mendampingi K.H. Mohammad Isa Anshary sebagai ketua umum.

Pasca mukhtamar VII persis, pada tahun 1962, ustad Abdurrahman terpilih sebagai ketua umum pusat pimpinan Persis melalui referendum. Periode kepemimpinan ustad Abdurahman ini merupakan periode kepemimpinan persis ketiga setelah berakhirnya kepemimipinan K.H. Mohammad Isa Anshary. Periode kepemimpinan Persis ketiga ini merupakan regerenasi kepemimpinan dari generasi pertama Persis ke eksponen Pemuda Persis yang merupakan organisasi otonom persis, tempat pembentukan kader-kader persis. Tampilnya KH.E. Abdurrahman, Eman sar’an, rusyad nurdin, dan E. Bachrum yang merupakan mantan pimpinan pemuda persis periode awal, membuktikan adanya pewarisan tongkat estafet kepemimpinan kepada kelompok muda dari organisasi otonom persis.

Berbagai persoalan mulai muncul pada masa kepemimpinan ustad abdurahman. Namun masalah yang paling mendasar adalah bagaimana mempertaruhkan eksistensi persis ditengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan persis dihadapkan pada masalah-masalah pada politik yang beragam. Pembubaran masyumi oleh soekarno karena dianggap kontra revolusi, dan lepasnya persis sebagai anggota istimewa Masyumi, serta ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintahan Orde Lama karena tidak memasukan Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada meletusnya G.30 S/PKI merupakan masalah politis yang dihadapi pada masa awal kepemimpinan ustad Abdurahman.

Pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman, permaslahan interen organisasi pun berkembang, terutama setelah terjadinya G.30 S/PKI, karena ada anggota anggota yang diragukan ittikad baiknya dalam organisasi Persis. Pengawasan ketat dilakukan. Selain menghendaki dan mengutamakan kualitas pelaksanaan, pengalaman ajaran agama yang berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah, Persis juga mengutamakan kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang berdasarkan qanun asasi dan qanun dakhili (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga), peraturan-peraturan, tausiyyah, dan seperangkat tata kerja yang berlaku dalam organisasi. Meskipun kuantitas tidak diabaikan, ada suatu kekhawatiran jika jumlah yang banyak hanya menambah beban, seperti buih, tidak memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya malah mendatangkan madarat bagi keutuhan dan tegaknya jamiyyah.

Pengawasan yang ketat inilah yang menjadi ciri khas kepemimpinan ustad Abdurrahman. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya pemalsuan nama organisasi Persis untuk keuntungan pribadi, selain karena terputusnya hubungan antara pusat pimpinan persis dengan cabang-cabang yang ada di sumatera, kalimantan, dan sulawesi akibat peristiwa G.30S/PKI. Sebagai perbandingan, tahun 1964 terdapat 63 cabang dengan jumlah anggota 7.173 pada tahun 1967 turun menjadi 56 cabang dengan jumlah 4.455 anggota, dan pada tahun 1980 terdapat 81 cabang dengan jumlah angota hanya 3.717 orang. Ini menunjukan adanya perbedaan yang mencolok antara jumlah cabang dan banyaknya anggota.

Dalam hal Ini dapat difahami, karena yang menjadi dasar dari ustad abdurahman sebagai ketua umum pusat pimpinan persis  tentang keangotaan persis berorientasi pada penekanan kualitas bukan kuantitas. Jika dilihat dari aktifitas organisasinya, pada masa kepemimpin ustad abdurrahaman, sejak tahun 1962 hingga 1983, menunjukan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, dari tingkat pusat hingga ke tingkat cabang. Hal ini tidak lepas dari langkah dan kebijakan ustad abdurahman. Menurut Mohammad Natsir, ustad Abdurrahaman lebih banyak mewarnai arah dan perjuangan Persis dan tablig-tablig  dan pengembangan lembaga-lembaga pendidiakan (pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi masa tidak memperlihatkan langkah perjuangannya ke arah politik. Ustad Abdurahman dalam memimpin organisasi Persis lebih mengorientasikan pada “organisasi agama”, sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukanpolitical leaders.
Pembaharuan Persis sejak awal hingga kepemimpinan ustad Abdurahman yang menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu, menerut Federspiel memberikan sumbangan bagi penguatan pemikiran perilaku kaum muslimin Suni di Indonesia. Penyampaian khotbah dalam bahasa lokal yang dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan Islam mengenai agama, yang menjadi target para ulama. Pembaharuan dalam praktik penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam yang mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan pertentangan dikalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan untuk membersihkan upacara keagamaan dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam Al-Quran dan Sunnah.

Pesis menyatakan bahwa segala suatu diluar masalah ibadat diizinkan oleh Islam apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini ditafsirkan secara luas dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persis, kitab suci merupakan otoritas final menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.

Bagaimanapun, persis sejak awal berdirinya hingga berada dibawah kepemimpinan ustad Abdurahman telah memberikan konstribusi yang cukup besar dalam gerakan pembaharuan Islam di indonesia. Menurut Federspiel, nilai Persis, sebagai suatu topik bagi penelitian ilmiah, tidak terletak pada organisasinya, karena ia kecil dan tidak kukuh juga tidak terletak pada partisipasinya dalam kehidupan politik Indonesia, karena aktifitasnya bersifat insidental dan pinggiran bagi arus utama  perkembangan politik. Walaupun peran persis dalam pendidikan agama cukup besar terhadap perkembangan umat Islam Indonesia, tetapi dalam hal pengaruhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Begitu pula, usaha-usaha dalam melalui penerbitan yang dilakukannya, meskipun cukup berpengaruh pada waktu itu, sambutan dari pembaca dikalangan masyarakat indonesia secara umum masih sedikit.

Meskipun demikian, peran Persis penting dikaji karena ia telah berusaha mendefinisikan Islam yang sebenarnya, baik dalam segi prinsip dasarnya maupun dalam hal tuntutan perilaku religius  yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, karena usahnaya senantiasa menghadiri berbagai konsep dan generalisasi yang kabur, ia mirip dengan berbagai konsep gerakan Islam Indonesia lainnya, yakni dalam hal kesamaan perhatian. Selain itu, peran Persis terasa penting karena telah memberikan solusi tersendiri bagi persolan besar yang menghadang umat Islam Indonesia abad 20. Semua usaha Persis itu tentu saja tidak terlepas dari peran ulamanya, sejak didirikannya oleh H.Zamzam dan H. Muhamad Yunus, kemudian dikembangkan dengan dasar-dasar doktrinal pada masa kepemimpinan Isa Anshary, walaupun akhirnya melamah pada masa kepemimpinan ustad Abdurahman. Dan nampaknya, pada masa kepemimpin ustad Abdurahman inilah persis kembali pada garis perjuangannya: tablig dan pendidikan berdasarkan Al-Quran Dan Sunnah.

Terhadap kepemimpinan ustad Abdurahman ini, Surya Negara pernah memberikan penilaian: Pertama, ustad  Abdurahman sebagai pemegang amanah, ia telah berusaha menyebrangkan persis di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan eksistensi dengan mewujudkan dan melesterikan amanah para pendiri dan pendahulu persis sebagai organisasi dakwah. Kedua, ustad Abdurahman sebagai “penyelamat” Persis ia tidak berpartisispasi menerima Nasakom pada masa Orde Lama, padahal organisasi lain membuka diri tanpa reserve sebagai pendukung Nasakom. Ketiga, ustad Abdurahman lebih memilih intensifikasi dan konsolidasi ke dalam organisasi Persis daripada ekstensifikasi yang melemahkan kontrol organisasi. Keempat,ustad Abdurahman menampilkan sikap kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak membenarkannya berganti nama atau busana, ia lebih mengutamakan Persis sebagai organisasi kualitas yang berpengaruh besar.

Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia kepemimpinan ustad Abdurahman dalam jam’iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjaung mengembalikan umat kepada Al-Quran Dan Sunnah sejak generasi awal melalui pendidikan, dakwah tablig, dan publikasi atau penerbitan yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada organisasinya, tetapi pada upaya penyebaran pahamnya; yang diakui atau tidak telah menembus batas-batas organisasinya sendiri_organisasinya tidak dikenal luas tetapi pahamnya telah menembus batas-batas kekakuan dan kekaburan pemahaman keislaman di Indonesia.

3.        Visi Misi dan Tujuan PERSIS

a)        Visi, yaitu terwujudnya al-Jamaah sesuai tuntutan Alquran dan Sunah.
b)        Misi, yaitu: (1) mengembalikan umat kepada Alquran dan Sunah; (2) menghidupkan ruh al-jihad, ijtihad dan tajdid; (3) mewujudkan Mujahid, Mujtahid, dan Muwahid; dan (4) meningkatkan kesejahteraan umat (PERSIS PRESS, 2005:25).
c)        Tujuan, yaitu terlaksananya syariat Islam berlandaskan Alquran dan Sunah secara kâffatdalam segala aspek kehidupan (Ansori, 1958).

4.        Arah dan Pergerakan PERSIS

Organsisasi PERSIS, di awal berdirinya sudah menampakkan perbedaan coraknya dengan kelompok pergerakan lainnya, dan berdirinya PERSIS dititikberatkan pada pembentukan faham keagamaan, sedangkan kelompok-kelompok pergerakan yang telah diorganisasikan, misalnya Budi Utomo, yang didirikan pada tahun 1908, pergerakannya dengan menitikberatkan pada bidang pendidikan bagi orang-orang pribumi (khususnya orang-orang jawa), sementara itu, Syarikat Islam yang didirikan pada tahun 1912, organisasi ini bergerak dalam bidang perdagangan dan politik, dan Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912, gerakan organisasi ini dikhususkan bagi kesejahteraan sosial masyarakat muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan.

PERSIS juga tidak banyak menekankan pengembangan jumlah anggotanya, tetapi PERSIS masih tetap sebuah organisasi yang relatif kecil dengan struktur yang longgar. sedangkan popularitas PERSIS dapat dirasakan dibeberapa tempat, dan hal ini nampaknya terlihat pada bidang pendidikan agama yang ditawarkannya, masjid-masjid, sikapnya yang jelas terhadap isu-isu controversial, serta pada kontak social dan perhelatan yang diorganisasikan oleh para aktifisnya melalui berbagai macam pertemuan, pengajian dan perdebatan, karena itu reputasi PERSIS tidak banyak bergantung pada prestasi-prestasi organisasionalnya, akan tetapi lebih karena kemampuannya dalam menciptakan sebuah kesetiakawanan, sebuah ciri khas, sebuah pandangan, sebuah idiologi yang memandang Islam sebagai inti kehidupan, dengan menggantungkan secara langsung segala macam persoalan pada pendirian itu.

Dalam perkembangan selanjutnya perjuangan PERSIS memiliki dua macam, yaitu: pertama: perjuangan kedalam, yang secara aktif membersihkan Islam dari faham-faham yang tidak berdasarkan al-Qur’an dan Hadits , terutama yang menyangkut masalah akidah dan ibadah serta menyeru ummat Islam supaya berjuang atas dasar al-Qur’an dan Sunnah . kedua: perjuangan keluar, yang secara aktif menentang dan melawan setiap aliran dan gerakan anti Islam yang hendak merusak dan menghancurkan Islam di Indonesia, karena itulah segala aktifitas dan perjuangannya ditekankan pada usaha menyiarkan, menyebarkan dan menegakkan faham al-Qur’an dan Sunnah . Dengan demikian, usaha mengembangkan organisasi tidak mendapat perhatian yang wajar, disamping tidak diniatkan, dan PERSIS hanya mencari kwalitas bukan kwantitas, PERSIS mencari isi bukan mencari jumlah (Ansori, 1958).

5.        Peran PERSIS

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham Al-Quran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah ( pesantren ), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya (Hanun, 1992:167).

Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School ( HIS ) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.

Menurut Noer (1998:38-69) dalam bidang penerbitan (publikasi), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, diantaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Aliran Islam (1948), Risalah (1962), Pemuda Persis Tamaddun (1970), majalah berbahasa Sunda Iber (1967), dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.

Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun organisasi-organisasi keislaman lainnya menjadikan buku-buku dan majalah-majalah terbitan Persis ini sebagai bahan referensi mereka.

Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian kegiatan khutbah dan tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari cabang-cabang, undangan dari organisasi Islam lainnya, maupun atas permintaan masyarakat luas.

Pada masa Ahmad Hassanguru utama Persiskegiatan tabligh yang digelar Persis tidak hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi pada 1932, kelompok Ahmadiyah (1933), Nahdlatul Ulama (1936), kelompok Kristen, kalangan nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara Ahmad Hassan dan Ir Soekarno tentang paham kebangsaan.

Sepeninggal Ahmad Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai jarang dilakukan. Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil tetap melakukan edukasi untuk menanamkan semangat keislaman yang benar. Namun, bukan berarti tidak siap untuk berdiskusi dengan kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang tertentu. Jika dibutuhkan, Persis siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.

Di pengujung abad ke-20, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga Muktamar II di Jakarta tahun 1995, Persis tercatat telah memiliki 436 unit pesantren dari berbagai tingkatan. Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jamaah haji dan umrah dalam kelompok Qornul Manazil, mendirikan beberapa bank Islam skala kecil ( Bank Perkreditan Rakyat / BPR ), mengembangkan perguruan tinggi, mendirikan rumah yatim dan rumah sakit Islam, membangun masjid, seminar, serta lainnya.[14]

Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan untuk meneliti masalah-masalah yang membutuhkan keputusan hukum,[15]  dan sebagai Dewan Peneliti Hukum Islam sekaligus sebagai pengawas pelaksanaannya di kalangan anggota Persatuan Islam,[16] dan bertanggungjawab kepada Allah SWT dalam setiap kinerja dan keputusan-keputusan hukum yang difatwakannya.  

6.        Persis Masa Kini

Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan­persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

Dibawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amien, anggota dan simpatan Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari 3 juta orang yang tersebar di 14 propinsi dengan 7 Pimpinan Wilayah, 33 Pimpinan Daerah, dan 258 Pimpinan Cabang. Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri, (Persistri) Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, dan Himpunan Mahasiswi (Himi) Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek­aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh, akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar/menengah hingga pendidikan tinggi), da'wah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunanpembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negri, menyelenggarakan seminar­seminar, pelatihan­pelatihan, dan diskusi (halakoh) pengkajian Islam. Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis serta Dewan Hisab dan Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktifitasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hukum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin banyak dan beragam.


7.        Pendidikan Persis Kontemporer

Menurut Bactiar pendidikan Persis dulu dan sekarang itu perbedaannya adalah dari segi kuantitasnya saja. Kalau dahulu lembaganya hanya satu, sekarang itu sudah banyak. Ada pun dari segi kurikulum, sebenarnya yang dilakukan Persis itu adalah membuat revolusi yaitu mencoba ingin santri itu jangan hanya tahu kitab saja. menjembatani antara pendidikan Barat dan pesanten kobong. Maka sejak pertama didirikan Pesantren Persis tahun 1936, maka dasar dari komposisi kurikulum, pelajarannya adalah 80% pelajaran agama, 20% pelajaran umum. Bahkan Pendis (Pendidikan Islam) pun “sekolah umum” komposisi kurikulum pelajarannya 70% pelajaran agama, 30% pelajaran umum.

Kemudian yang menjadi kekurangan atau berubah belakangan sampai tahun 2000-an dari Pesantern Persis itu adalah SDM (sumber daya manusia). Penyebabnya adalah kuantitas pesantren persis semakin banyak, SDM pun dibutuhkan banyak. Oleh karena pesantren itu harus terus berjalan, SDM tidak ada, yang pada akhirnya dengan kondisi seadanya pula. Jadi yang menjadi problem itu adalah guru, maksudnya antara guru dengan bidang studi yang diampu itu terkadang tidak sesuai, seperti harus mengajar tafsir-hadits tapi guru tersebut tidak bisa bahasa Arab, makanya terpaksa harus menggunakan buku-buku terjemahan bahkan sampai menggunakan buku-buku yang terbitan dari Depag.

Hal tersebutlah yang menyebabkan degradasi. Karena semangat mengembangkan pesantren tidak diimbangi dengan semangat penyiapan SDMnya yang terkontrol sehingga bisa terus mengajar sesuai dengan keahlian guru tersebut. Itulah yang menyebabkan penurunan kualitas, sebab murid itu tergantung dari guru. Kalau gurunya bagus, murid pun akan bagus. Tetapi kalau sebaliknya, mungkin hal itu pula yang akan terjadi pada muridnya.

Kalau berbicara mengenai perbaikan kualitas, yang pertama harus diperbaiki itu adalah SDM. Dan nantinya baik materi pelajaran ataupun kurikulum itu akan mengikuti. Seperti dalam rumus pendidikan yang mengatakan “Guru itu lebih penting dari pada materi pelajaran”, sebab materi pelajaran itu semua tergantung gurunya. Sebab guru itu ia yang akan mengarahkan murid akan dibawa kemana. Jadi central perubahan murid itu ada di guru.

C.      Kesimpulan

PERSISadalah salah satu gerakan pembaharuan yang didirikan oleh Yusuf  ZamzamQomaruddin, dan E. Abdurrahman. Organisasi Persatuan Islam ini, bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan maksud membersihkan Islam dari segala bid’ah, khurafat, shirik. Berdirinya organisasi PERSIS bertujuan untuk mengangkat ummat Islam dari kejumudan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad.
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

Peran persis sebagai salah satu organisasi Islam sangatlah besar, misalnya dalam bidang pendidikan, ialah dengan menyelenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Persis juga mendirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis). Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi Persis mendirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung. Dalam perkembangannya, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Dalam bidang penerbitan, Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah. Melalui penerbitan ini, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah dan tajdid.

Perkembangan selanjutnya, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya. Demikian makalah yang dapat penulis paparkan, semoga bermanfaat. Kritik dan saran penulis harapkan, guna untuk perbaikan dan penyempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA


Anshori, M. Isa.1958. Menifes Perjuangan Persaatuan Islam. Bandung: Pasifik.
Abdullah, Amin. 1995. Telaah Hermenetis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia, dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk., Kontekstnalisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali. Jakarta: Paramadina.
Asrohah, Harun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos.
Djamaluddin, dkk. 1998. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka
Hanun, Asrohah. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hasan, A. 2004. Tafsir Al-Qur’an. Surabaya: Al-Ikhwan.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
PP PERSIS,1993. Persis Dalam Pentas Sejarah Islam Indonesia”, dalam Risalah, Nomor 5 Tahun XXXI.
Pusat Pimpinan Persatuan Islam, Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, PP. PERSIS, Persatuan Islam, Bandung, 2005.
Qanun Asasi- Qanun Dakhili, Penjelasan Qanun Asasi-Qanun Dakhili Pedoman Kerja Program Jihad 2005-2010 Persatuan Islam. PERSIS Press, Bandung,  2005.
Republika, Islam Digest,  Ahad, 3 Oktober 2010 / 24 Syawal 1431 H.
Setia, Zuhairi dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Wildan, Dadan. PERSIS Dalam Pentas Sejarah Islam. Bandung.


0 komentar:

Posting Komentar