I. PENDAHULUAN
Pembicaraan
tentang Filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara
umum. Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambung di
seluruh jagad raya ini.
Filsafat
adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia
dan philosophos. Philo, berarti Cinta (loving),
sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau
kebijaksanaan (wisdom). Jadi, Filsafat secara sederhana berati cinta
pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksud adalah
dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia
berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang
dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam sampai
keakar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar. Secara simpel dapat dikatakan,
Filsafat adalah hasil proses berfikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu
secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).
Pandangan
bahwa Filsafat adalah usaha rasional dengan metode deduktif analogis menjadi
paradigma yang digunakan untuk melihat Filsafat Islam. Karena itu, filsafat
Islam hanya dinisbatkan pada Filosof Muslim. Dengan demikian Filsafat Islam
terlihat tak berbeda dengan Filsafat Yunani atau Barat dan menyunat
segala yang tidak terkait dengan usaha rasional.
Jelaslah
bahwa Filasafat Islam merupakan hasil pemikiran Umat Islam secara keseluruhan.
Pemikiran umat Islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur‘an
dan Hadis. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut
bertemu dengan peranan akal yang besar dan Ilmu pengetahuan yang berkembang
maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India.
Dengan kata lain Umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa
tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula perdaban bangsa sekitarnya
seperti Babilonia, Mesir, Ibrani dan lainnya.
Dalam
makalah ini, penulis memaparkan pemikiran-pemikiran para filosof islam
klasik, yaitu : pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
II. PEMBAHASAN
A. Al-Farabi (870-950 M)
1.
Riwayat
Hidup Al-Farabi
Ia adalah
Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania)
pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber sumber Islam lebih akrab dikenal
sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh
adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik Ibunya
berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang
Turki.
Al-Farabi
muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara,
dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad
untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah
kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian
mengembara di kota Harran yang terletak di
utara Syria,
dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia
kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940 M,
al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus
dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang
dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota
Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan
Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Sebagai
pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi,
menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang
monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan
pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya, Al-Farabi
hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat
Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan
khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara
di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Al-Farabi
dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik,
tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui
tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh
dalam pondasi filsafat. Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang
pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai
penulis karya-karya filsafat politik.
Para ahli
sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika
yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar
logika kepada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika,
meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.
Kehidupan
al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir
sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia
mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al- Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa
Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan
intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10.
Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para
filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli
logika paling terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama
ia belajar dengannya.
2.
Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi
meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al- Farabi dapat dibagi
menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang
logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran
secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik
ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan
“lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa
masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak
zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan
lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan
dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu
diambil oleh para Nabi.
Karya
al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya
Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang.
Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah
ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai
cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan
pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan sistem
pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang
terkenal adalah:
a)
Maqalah fi
Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
b)
Ihsha’
al-Ulum
c)
Kitab Ara’
Ahl al-Madinah al-Fadhilah
d) Kitab Tahshil al-Sa’adah
e)
‘U’yun
al-Masa’il
f)
Risalah fi
al-Aql
g)
Kitab
al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
h)
Risalah fi
Masail Mutafariqah
i)
Al-Ta’liqat
j)
Risalah fi
Itsbat al-Mufaraqat.
3.
Pemikiran Al-Farabi
Menyibukkan
diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh
segelintir orang saja, melainkan merupakan salah satu ciri kemanusiaan kita.
Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang,
seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang
filsafat adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan
yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.
Metafisika,
menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
a)
Bagian yang
berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
b)
Bagian yang
berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta
derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu
wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang
merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai
sumber wujudnya, yaiu teologi.
c)
Bagian yang
berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu
khusus.
Ilmu
filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi)
karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat
tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik
mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini
merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Dalam kajian
metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar.
Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah
adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar
dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam. Masuknya
filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan berbagai persoalan,
karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan ilmu mereka masing-masing.
Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal
yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan
ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan
penting. Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi.
Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang
pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.
Para ulama
Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang
kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah
Bizantium dan Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Masuknya
anasir lain ke tubuh umat Islam tak terelakkan lagi bagi pemikir untuk memberikan
pemecahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Al-Kindi memang telah berusaha
menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat al-Farabi.
Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan
masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan utama dalam kalangan filosof
Yunani. Masalah ini juga telah menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran
filosof Islam.
Dalam
filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika, sedangkan dalam
filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai problema keagamaan.
Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak berbeda dalam dua mazhab
tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat
Islam, tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam
semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dalam sistem
yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini
merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat seluruhnya. Alam semesta
muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan dogma ortodoks
tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin
emanasi digunakan untuk menjelaskan ini.
Hierarki
wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
a)
Tuhan yang
merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
b)
Para
Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
c)
Benda-benda
langit atau benda-benda angkasa (celestial).
d) Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan
filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa
timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi,
Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat
Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu.
Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan
sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu
maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul
wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First
Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang
wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal
Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari
situ timbul langit pertama.
Ada tiga hal
pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu:
a)
Segi esensi
(zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
b)
Pokok utama
segala yang maujud
c)
Prinsip
utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam Fushus
al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud
(eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu. Terdapat dua
macam zat; Pertama yang wajib ada. Aristoteles
membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang
Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai
yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk
semurni-murninya.
Dalam hal
ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh
perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang
sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian
berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang
sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang
tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai
nisbi.
Al-Farabi
seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah).
Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai
materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya.
Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi
bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara
berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya.
Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan,
bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih
berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama
sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting sekali
dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak
terjadi di kalangan umat Islam.
Dalam
risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.
a)
Akal budi
pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable) dan utama
dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles
phironesis (al-ta’aqqul).
b)
Akal budi
yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan
tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identic dengan pikiran sehat (common
sense- indria bersama).
c)
Akal budi
yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora sebagai
kecakapan memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif dan
intuitif.
d) Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini
memungkinkan kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui
kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.
e)
Akal budi
yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh
Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama dalam
soal logika, dan juga metafisika.
f)
Meskipun
demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak
juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang
patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi, dimana dia harus
beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas
menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena beberapa rintangan
atau yang lainnya.
B. Ibnu Sina
1.
Riwayat
Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap
Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980
M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi
pada pemerintahan Dinasti Saman. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar
falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia
telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.
Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu
logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu
agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni
dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani
yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan
ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus
terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati
sudah 40an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab
ma warait thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia
mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas
dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
Sesudah itu
ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi
usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah
dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia
tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan
mengobati orang-orang sakit. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca
buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada
Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering-sering ia tertidur
karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan
terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
2.
Karya-karya Ibnu Sina
Sepanjang hayatnya, Ibnu Sina banyak menulis berbagai
macam karya yang berkaitan dengan bidang yang ditekuninya, baik dalam bentuk
buku maupun risalah. Karya-karyanya itu antara lain :
a)
Qanun fi
Thib
Kitab ini ditulis ketika ia menuntut
ilmu di Rayy dan Hamadan. Qanun fi Thib yang dalam bahasa Inggris telah
diterjemahkan dengan nama The Canon of Medicine, berisi tentang berbagai macam
cara penyembuhan dan obatobatan. Didalamnya tertulis jutaan item tentang
pengobatan dan oabt-obatan. Karena itu, ada pula yang menamakan kitabnya ini
sebagai Ensiklopedia Pengobatan.
b) Al-Magest
Buku ini berkaitan dengan bidang
astronomi. Diantara isinya, bantahan terhadap pandangan Euclides, serta
meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak.
Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.
c) Asy-Syifa
Dalam buku Asy-Syifa ini, Ibnu Sina
juga menuliskan tentang masalah penyakit dan pengobatan sekaligus obat
yang dibutuhkan berkaitan dengan
penyakit bersangkutan. Sama seperti Qanun fi Thib, kitab Asy-Syifa ini juga dikenal
dalam dunia kedokteran sebagai Ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Kitab
ini terdiri dari 18 jilid.
d) De Conglutineation Lagibum
Kitab ini ditulis dalam bahasa
latin, yang membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal
nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama,
menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan hebat gempa. Dan kedua,
karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses itu mengakibatkan
munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan
bumi.
3.
Pemikiran Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan perhatiannya
yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat
dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang
berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak
sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun
segi pembahasan metafisika.
Dalam segi
fisika, ia banyak memakai metode
eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam
segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia
mendekati pendapat-pendapat filosof modern.
Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir
Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau
ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang
lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan.
Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai
wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan-akan
tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam
arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia
pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan
wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha
memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat–sifat Tuhan dan kaum sufi ke
peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang
dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya
arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang
tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat
pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni
lagi.
Menurut
al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud
kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata
Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya,
agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual
of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari pemikiran tentang Tuhan timbul
akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di
langit. Jiwa manusia
sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan,
memancar dari akal ke sepuluh.
Segi-segi
kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu
:
a)
Segi fisika yang membicarakan tentang
macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan
kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang
biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b)
Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud
dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a)
Jiwa tumbuh - tumbuhan dengan daya - daya :
(1)
Makan (nutrition)
(2)
Tumbuh (growth)
(3)
Berkembang biak (reproduction)
b)
Jiwa binatang dengan daya - daya :
(1)
Gerak (locomotion)
(2) Menangkap
(perception) dengan dua bagian :
(a)
Menangkap dari luar dengan panca indera.
(b)
Menangkap dari dalam dengan indera - indera
dalam.
(3) Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
(4) Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
(5) Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
(6) Estimasi
yang dapat menangkap hal-hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
(7) Rekoleksi
yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c)
Jiwa manusia dengan daya-daya :
(1)
Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis
yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan
:
(a)
Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi
untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
(b)
Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih
untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
(c)
Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang
hal - hal abstrak.
(d)
Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup
berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Bagi Ibnu
Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala
sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap
essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi
tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan
falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Pemikiran Ibnu Sina tentang
pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu
Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual,
“imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut
tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu
Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu
dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol- simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau nabi dapat menyatakan
wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai,
dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun
kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu
menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi-memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
C. Al-Ghazali
1.
Riwayat
Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad at-Thusi alGhazali adalah nama lengkap dari Imam al-Ghazali. Lahir di
Thus, Khurasan, suatu tempat kira-kira sepuluh mil dari Naizabur, Persia.
Tepatnya lahir pada tahun : 450 Hijriyah. Wafatnyapun di negeri kelahiran
tersebut, pada tahun 505 Hijriyah.
Di masa hidupnya, Al-Ghazali
dikenal sebagai seorang ahli keTuhanan dan seorang filosof besar. Disamping itu
juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak ada tandingannya
dizaman itu, sehingga karya tulisnya yang berupa kitab “IHYA’ ‘ULUMUDDIN”
dipakai oleh seluruh dunia Islam hingga kini.
Ayahnya tergolong orang yang shaleh
dan hidup secera sederhana. Kesederhanaanya dinilai dari sikap hidup yang tidak
mau makan kecuali atas usahanya sendiri. Ayahnya pada waktu senggang sering
berkesempatan berkomunikasi dengan ulama pada majelis-majelis pengajian. Ia
amat pemurah dalam memberikan sesuatu yang dimiliki kepada ulama yang didatangi
sebagai rasa simpatik dan terima kasih. Sebagai orang yang dekat dan menyenangi
ulama’, ia berharap anaknya kelak mejadi ulama’ yang ahli agama serta member
nasehat pada umat.
Al-Ghazali, selain mendapat
bimbingan dari ayahnya, dibimbing pula oleh seorang sufi kenalan dekat ayahnya.
Disamping mempelajari ilmu tasawuf dan mengenal kehidupan sufi, beliau juga
mendapat bimbingan studi al-Qur’an dan hadits, serta menghafal syair-syair.
Ketika sufi pengasuh AlGhazali merasa kewalahan dalam membekali ilmu dan
kebutuhan hidupnya, ia dianjurkan untuk memasuki salah satu sekolah di Thus
dengan beasiswa.
Pengembaraan Al-Ghazali dimulai
pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk berguru
pada Abu Nasr al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun, Al-Ghazali pergi ke
Nisabur, dan berguru pada al-Juwayni hingga ia berusia 28 tahun. Selama di
madrasah Nisabur ini, Al-Ghazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat.
Sepeninggal Al-Juwayni, Al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu
menjadi gudang para sarjana disinilah beliau berjumpa dengan Nizam al-Mulk.
Kehadiran Al-Ghazali disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa
oleh karena kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan
keunggulannya. Dengan demikian, jadilah al-Ghazali “Imam” di wilayah Khurasan
ketika itu.
Beliau tinggal di kota Mu’askar ini
hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Ghazali dalam bidang fiqih,
teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi “guru
besar” teologi dan “rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah
didirikan pada 1065. Pengangkatan itu
terjadi pada 484/Juli 1091. Jadi, saat menjadi guru besar (profesor), al-Ghazali baru berusia 34 tahun.
2.
Karya-karya Al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan
mencapai 300 buah, namun disini hanya sebagian yang dapat di sebutkan yang mana
di antaranya adalah:
a)
Maqashid
al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan
berisi masalah-masalah filsafat.
b)
Tahafut
al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau
berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini,
Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
c)
Mi’yar
al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu).
d) Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali
Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya
selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus,
Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan
filsafat.
e)
Al-Munqids
min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan;
f)
Al-Ma’arif
al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional).
g)
Misykat
al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang
akhlak dan tasawuf.
h)
Minhaj
al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
i)
Al-Iqtishad
fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah).
j)
Ayyuha
al-Walad.
k)
Al-Mustashfa.
l)
Iljam
al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
m) Mizan al-‘Amal.
n)
Mahakk
al-Nazhar.
3.
Pemikiran Al-Ghazali
a)
Filsafat
Imam Al-Ghazali adalah seorang
tokoh yang juga banyak menulis mengenai filsafat, sebagaimana yang beliau tulis
dalam bukunya Tahafut Falsafah
sebagai salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf
yang di anggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun disisi lain beliau
menulis buku Maqashid Al-Falsafah,
yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang
berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Pada prinsipnya, Al-Ghazali
tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam pengertian yang sebenarnya,
bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah seorang yang mendalaminya
dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa Al-Ghazali sama sekali
tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti filsafat, tetapi tujuannya
hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf, dan dalam bentuknya
ditujukan kepada Al-Farabi dan Ibn Sina.
Kritik terhadap para filsuf yang
dilakukan oleh Al-Ghazali di dasarkan pada alasan berikut. Pertama. Al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat,
kecuali setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak
disebut sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan
pernyatannya dalam Al-Munqids, “Orang
yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak akan bisa membongkar
kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai bukti penguasaan Al-Ghazali terhadap
filsafat adalah buku Maqashid Al-Falsafah
(Maksud-maksud Para Filsuf) yang oleh Al-Ghazali dimaksudkan sebagai pengantar
terhadap Tahafut, di samping
buku-buku yang lain. Kedua, beliau
mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak menyerang filsafat
sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang menurutnya (bisa)
membahayakan Islam. Musuh Al-Ghazali yang lain adalah aliran kebatinan. Untuk
menghadapi mereka, Al-Ghazali menulis lebih dari satu kitab di antaranya adalah
Fadhaih Al-Bathiniyah
(Keburukan-keburukan Aliran Kebatinan), dan Mawahim
Al-Bathiniyah (Prasangka-prasangka Kebathinan). Aliran ini lebih berbahaya
daripada filsafat karena mereka-sebagaimana disitir Al-Ghazali dan Ibnul Jauzi menggunakan
Islam sebagai kedok, padahal keyakinan dan prilaku mereka yang sebenarnya
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Kalau filsafat hanya berada di menara
gading dan bersifat elitis, aliran kebatinan bisa merasuki masyarakat luas dalam
berbagai bentuk sesuai dengan yang dirasukinya.
Tuhan, kehendak tertinggi dan obyek
cinta tertinggi, ideal bagi diri manusia, dipahami Al-Ghazali sebagai realitas
akhir yang benar-benar mandiri. Tuhan ada dengan sendirinya dan bebas dari
segala sifat antropormorfostik. Tuhan
sadar dan memiliki kesadaran dengan sendirinya, dan kesadaran-Nya meliputi
pengetahuan terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi atau bisa menjadi.
Tuhan bukanlah sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri
Tuhan. Dia adalah satu-satunya sebab sejati.
Hubungan antara Tuhan dengan alam
semesta dipahami Al-Ghazali sebagai hubungan identitas sejati tetapi dengan
perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari Tuhan seperti mengalirnya sungai.
Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti. Maksud yang mendasarinya
adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya Al-Ghazali meyakini
kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab sangat
diperlukan, tetapi akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi
segala akibat. Selain Tuhan, sama sekali tak ada satupun wujud yang memiliki
perbuatan. Dunia dan segala peristiwa di dunia dipandang sebagai mukjizat
abadi. Semua obyek di dunia bukan saja telah diciptakan oleh Tuhan, tetapi dari
waktu ke waktu selama obyek-obyek itu ada, semuanya diciptakan atau
dipertahankan eksistensinya melalui perbuatan pribadi Tuhan secara langsung.
Maka Tuhan menciptakan segalanya dalam suatu rangkaian tanpa akhir dengan cepat
dan Dia menciptakan setiap kondisi dan situasi baru yang dibutuhkan oleh
perubahanperubahan di dunia ini. Andaikan Tuhan menghentikan aktivitas-Nya
mencipta, dunia serentak akan lenyap eksistensinya. Dalam realitas, tidak ada
sesuatu pun seperti alam. Esensi benda sesungguhnya ada dalam Wujud tertinggi.
Sebab-akibat adalah ciptaan langsung Tuhan dan perbuatan-Nya. Keterkaitan wajib
hanya bisa dipahami sebagai sesuatu bergantung kepada kehendak Tuhan. Tuhan
berkehendak bahwa kita, diri-diri yang terbatas ini, mesti membayangkan sebuah
hubungan antara dua peristiwa. Di luar ini, kausalitas tidak berarti.
b)
Tasawuf
Dalam pandangan Al-Ghazali, ilmu
tasawuf mengandung dua bagian penting, Pertama
mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian Kedua mengandung bahasa hal-hal yang
menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu tasawuf yang mengandung dua bagian ilmu ini
secara jelas diuraikan dalam karyanya Ihya’
Ulumuddin. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun menjadi empat bab utama dan
masing-masing bab utama dibagi lagi kedalam sepuluh fasal keempat bab utama itu
adalah pertama tentang ibadah, bab kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat,
bab utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang mencelakakan, dan bab
utama keempat berkenaan dengan maqamat dan ahwal.
Menurut Al-Ghazali perjalanan
tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus
menerus hingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itulah, maka Al-Ghazali
menekankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang
terpuji baik disisi manusia maupun disisi Tuhan.
Menurut Al-Ghazali, hati (qalbu)
ibarat cermin yang mampu menangkap ma’rifat keTuhanan. Kemampuan hati tersebut
tergantung pada bersihnya dan beningnya hati itu sendiri. Apabila ia dalam
keadaan kotor atau penuh debu dosa maka ia tidak akan bisa menangkap ma’rifat
itu.
Metode pencapaian yang digunakan
adalah metode kasyf . Dengan kasyf
yaitu terbukanya dinding yang memisahkan antara hati dengan Tuhan karena begitu
bersih dan beningnya hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki.
Ibarat seorang, bukan hanya mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia
sudah berada dalam rumah itu menyaksikan dan merasakannya.
Di bidang tasawuf, Al-Ghazali
dianggap sebagai penengah dalam mengartikulasikan konsep tasawuf dan syari’at.
Sebab, kalangan muslim sendiri masih terjadi pertentangan antara kajian yang
dilakukan oleh para sufi dan ulama fikih. Kajian mengenai ilmu bathin
sebenarnya pernah dialami AlGhazali dan diungkapkan melalui ritual ibadah yang
dilakukannya.
c)
Kalam
Sebagai salah satu tokoh Al-Asy’ariyah pada generasi kelima,
AlGhazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya
untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
Qadim
alam yang dikemukakan oleh para filosof merupakan salah satu masalah yang
sangat ditentang oleh Al-Ghazali, bahkan beliau mengkafirkan para filosof
karena menganggap alam qadim. Menurut
Al-Ghazali, kalau alam qadim berarti
tidak ada arti Tuhan mencipta karena Tuhan dan alam semesta sama qadim. Lagi pula, kalau alam hanya
dipahami lewat sebab akibat, Tuhan sebagai pencipta tidak dapat dibuktikan.
Teori emanasi, demikian Al-Ghazali memberi kesan bahwa alam terus berproses
tanpa henti-hentinya. Hal ini akan mengakibatkan bahwa materi itu sudah ada sejak
qadim. Padahal, menurut AlGhazali,
alam diciptakan Tuhan dari tidak ada pada waktu yang lalu secara terbatas, baik
dalam bentuk maupun materi.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa
akal tidak dapat membawah kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban
bagi manusia ditentukan oleh wahyu. Demikian juga halnya dengan masalah mana
yang baik dan mana yang buruk menurut Al-Ghazali akal tidak dapat
mengetahuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perbuatan baik kalau perbuatan
itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai dengan
tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah akhirat yang hanya
diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya diketahui
melalui wahyu.
d) Moral / Akhlak
Al-Ghazali memberikan sebuah
definisi terhadap akhlak / moral sebagaimana berikut, “Akhlak adalah suatu
sikap (hay’ah) yang mengakar dalam
jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa
perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir
perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia
disebut akhlak yang baik. Dan ika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka
sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”
Al-Ghazali berpendapat, bahwa
pendidikan moral yang utama adalah dengan cara berperilaku baik. Artinya,
membawah manusia pada tindakantindakan yang baik. Al-Ghazali menetapkan bahwa
mencari moral dengan perantaraan bertingkah laku moral merupakan korelasi yang
menakjubkan antara kalbu dengan anggota tubuh. Untuk itu al-Ghazali menyusun
argumentasi sebagai berikut: “Setiap sifat yang nampak pada kalbu akan
memancarkan pengaruhnya ke dalam semua anggota tubuh. Sehingga anggota tubuh
tidak bisa bergerak kecuali harus sesuai dengan pengaruh tersebut. Dan setiap aksi
harus berjalan pada anggota tubuh yang daripadanya suatu pengaruh naik ke
kalbu. Sebagai bukti, ialah bahwa orang yang hendak menjadikan kecerdikan
menulis sebagai sifat psikologis bagi dirinya maka dia harus membimbing tangan
seperti yang dilakukan oleh seorang penulis yang genius dan mengkontinyukannya
dalam waktu yang lama, menirukan tulisan yang baik hingga menjadi sifat yang
mesti bagi dirinya, setelah pada mulanya dia rasakan sulit”.
Penggerak utama dalam sebuah
tindakan dalam pandangan Imam AlGhazali memang nampak pada sebuah hati terlebih
dahulu, yang artinya apabila segumpal daging itu baik maka baiklah semuanya.
Sebagaimana seorang remaja saat ini yang seharusnya mendapatkan bimbingan hati
mulai dari kecil tampaknya tidaklah didapatkan dalam dirinya.
Al-Ghazali membagai dalam sebuah
tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
(1)
mempelajari akhlak
sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri kesusilaan
(moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilaku orang yang
mempelajarinya.
(2)
Mempelajari
akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
(3)
Karena
akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan
kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat
kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak
menjadi subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Moralitas yang jelek, menurut
Al-Ghazali adalah penyakit kalbu. Jika ignorasi diobati dengan cara belajar,
sakit bakhil diobati dengan cara berlapang dada, maka moral yang jelek harus
diobati dengan kesungguhan. Itulah atensi yang mengagumkan dari Al-Ghazali.
Sebab, setiap jiwa punya kondisi dan tempramen khusus. Jika dalam mendidik jiwa
tidak menjaga situasi, tempramen dan kesiapan psikologis, maka sang pendidik
tidak akan berhasil mencapai tujuannya. Demikian pula para propagandis moral
tidak akan berhasil mencapai cita-citanya.
Dewasa ini pengertian kenakalan
remaja berkembang lebih luas lagi, yakni meliputi pengertian yuridis,
sosiologis, moral, dan susila. Perbuatanperbuatan tersebut menyalahi
undang-undang yang berlaku sebagai hukum positif, melawan kehendak masyarakat,
tidak mengindahkan nilai-nilai moral dan anti susila. Akibatnya
perbuatan-perbuatan anak tersebut sering menimbulkan keresahan di dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam kenyataannya sering terjadi
hubungan individu dengan individu atau bahkan hubungan individu dengan kelompok
mengalami gangguan yang disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian
anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan
terhadap hak-hak orang lain. Gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul
dari perbuatan-perbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak
orang lain ditengah masyarakat, antara lain :
(1) Mengancam hak milik orang lain misalnya:
pencurian, penipuan, dan penggelapan.
(2) Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan
orang lain, seperti: pembunuhan dan penganiayaan.
(3) Mengancam kehormatan orang lain dan
bersifat tindak susila, yakni: pemerkosaan dan perzinahan.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang
sesuai dengan ajaran agama, yang dibentuk sejak si anak lahir, akan menjadi
dasar pokok dalam pembentukan kepribadian si anak. Apabila kepribadiannya
dipenuhi oleh nilai-nilai agama, maka akan terhindarlah dia dari
kelakuan-kelakuan yang tidak baik. Cara mendidik anak dengan jalan memberi
contoh langsung sangat berat untuk dilakukan para orang tua yang dangkal
imannya, akan tetapi sangat mudah dan ringan bagi orang tua yang benar-benar
beriman dan taat beribadah kepada Allah SWT. Cara ini memerlukan ketekunan dan
control yang baik dari orang tua, juga menuntut tanggung jawab vertical maupun
horizontal.
Moralitas itu tidak dapat terjadi,
hanya melalui pengertian-pengertian tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan
contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan
berangsur-angsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah
si anak diberi pengertianpengertian tentang moral.
Umur remaja adalah umur peralihan
dari anak menjelang dewasa, yang merupakan masa perkembangan terakhir bagi
pembinaan kepribadian atau masa persiapan untuk memasuki umur dewasa,
problemanya tidak sedikit. Di antara problema yang dulu dirasakan dan sekarang
semakin tampak dengan jelas ialah :
(1) Masalah hari depan
Setiap
remaja memikirkan masa depannya, ia ingin mendapatkan kepastian, akan jadi
apakah ia nanti setelah tamat. Kecemasan akan hari depan yang kurang pasti, itu
telah menimbulkan problema lain, yang mungkin menambah suramnya masa depan
remaja itu.
(2) Masalah hubungan dengan orang tua
Sering
kali terjadi pertentangan pendapat antara orang tua dan anakanaknya yang telah
remaja atau dewasa. Kadang-kadang hubungan yang kurang baik itu timbul, karena
remaja mengikuti arus mode seperti : rambut gondrong, pakaian kurang sopan,
lagak lagu terhadap orang tua kurang hormat.
(3) Masalah moral dan agama
Kemerosotan
moral disertai oleh sikap menjauh dari agama. Nilai-nilai moral yang tidak
didasarkan kepada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan, waktu, dan
tempat. Keadaan nilai-nilai yang berubah-ubah itu menimbulkan kegoncangan pula,
karena menyebabkan orang hidup tanpa pegangan yang pasti. Nilai yang tetap dan
tidak berubah adalah nilainilai agama, karena nilai-nilai agama itu absolut dan
berlaku sepanjang masa, tidak terpengaruhi oleh waktu, tempat, dan keadaan.
Adat kebiasaan, menurut al-Ghazali
berpengaruh besar dalam memproses pembentukan moral, hingga moral dengan
hukum kebiasaan menjadi istilah tentang
suatu kondisi yang ada di dalam jiwa secara stabil yang dari padanya
perbuatan-perbuatan keluar secara mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan yang teliti. Sedangkan moral merupakan istilah mengenai kondisi
dan potret batin dari jiwa. Oleh sebab itu, kita melihat AlGhazali menekan
aspek-aspek ini yang berkaitan dengan moral, karena AlGhazali berkeyakinan
bahwa aspek-aspek itu akan menjadi langkah awal bagi tindakan yang lebih jelek
dan akan menjadi bentuk yang imperative.
Al-Ghazali menetapkan bahwa ketika
jiwa secara adat bergelimang dan cenderung kepada hal yang bathil, maka
bagaimana jiwa itu tidak akan menikmati kebenaran andaikata didatangkan
kepadanya dan harus dikontinyukan. Sebagaimana Al-Ghazali menetapkan bahwa jiwa
dengan fitrahnya adalah baik dan cenderung kepada kebaikan. Sedangkan
kecenderungan ini kepada tindakan yang jelek adalah persoalan yang berada di
luar batas dari pengertian tempramen, seperti kecenderungan untuk makan tanah
liat.
Al-Ghazali beralih pada pemerincian
potensi-potensi psikologis yang harus dididik. Oleh Al-Ghazali potensi
psikologis yang harus disimpulkan menjadi tiga potensi fundamental: potensi
kognitif, potensi syahwat, potensi marah.
(1)
Potensi Kognitif
: jika potensi ini dididik semestinya, maka akan menghasilkan hikmah yang disebutkan
oleh Allah sebagai berikut: “Barang siapa
diberi hikmah, berarti diberi banyak kebaikan”. Sebagai hasilnya, dia mudah
untuk membedakan antara keyakinan-keyakinan yang benar dan yang salah,
perkataan dan tindakan yang baik dan buruk.
(2)
Potensi Syahwat
: dengan memperbaiki potensi syahwat ini, maka tercapai sifat iffah (bersih
diri) sehingga jiwa mampu membantai kejelekankejelekan baik yang nampak maupun
tidak nampak mata, menghindari kejelekan dan sekuat mungkin mendahulukan
tindakan yang terpuji.
(3)
Potensi Marah
: dengan menaklukan dan memperbaiki sifat ini akan menghasilkan sifat rendah
hati yaitu menahan marah. Demikian pula, akan menghasilkan keberanian
(Al-Syaja’ah), yaitu menahan jiwa dari rasa takut dan semberono.
Al-Ghazali berpendapat mengenai
akhlak adalah gambaran atau perwujudan dari sikap jiwa seseorang, dari padanya
muncul perilaku dengan mudah dan otomatis tanpa berhajat kepada pikiran dan
penundaan. Jika sesuatu yang muncul dari sikap jiwa itu adalah perilaku yang
terpuji menurut akal dan agama, maka sesuatu yang muncul itu dikatakan akhlak
yang baik. Dan jika perilaku yang muncul dari sikap jiwa itu adalah perilaku
yang jahat, maka sesuatu yang muncul tersebut dikatakan akhlak yang buruk. Oleh
karena itu yang pokok menurut Al-Ghazali, bukan masalah baik dan buruk itu
sendiri. Tetapi bagaimana untuk melatih jiwa supaya mempunyai sikap, atau agar
terbiasa siap dan rela berkorban sesuai dengan keyakinan, pendapat atau
keyakinan yang tersembunyi dalam jiwanya. Serta sesuai dengan apa yang diharapkan.
Memang usia-usia remaja sangtlah
perlu butuh sebuah pengawasan yang lebih dari orang tua dan juga lingkungannya,
dalam membimbing dan mengarahkan prilaku mana yang baik dan buruk sehingga
nantinya tidak salah melangkah agar kelak di masa depan para remaja tidak ada
kata penyesalan yang berakibat pada putus asa dengan mengatakan “ya sudahlah kalau sudah begini mau bagaimana
lagi”.
Al-Ghazali memandang manusia
sebagai makhluk yang mulia, seluruh unsurnya adalah mutiara-mutiara. Diantara
mutiara-mutiara itu ada yang paling cemerlang dan paling gemerlapan sehingga
sangat menarik, yakni qalb atau jiwa. Qalb sangat berharga, bersih dari semua
ukiran dan gambaran, condong kepada semua yang dicondongkan kepadanya. Manusia
sejak lahir di dunia ini menjadi amanat bagi ibu dan bapaknya. Al-Ghazali
memandang manusia sebagai proses hidup yang bertugas dan bertujuan, yaitu:
bekerja, beramal shaleh, mengabdikan diri dalam mengelola bumi untuk memperoleh
kebahagiaan abadi sejak di dunia hingga di akhirat.
Mengenai kehidupan sosial dalam
pendidikan sosial bagi anak-anak, AlGhazali memberikan petunjuk kepada kedua
orang tua dan para guru umumnya, agar anak-anak dalam pergaulan dan
kehidupannya mempunyai sifat-sifat yang mulia dan etika pergaulan yang baik,
sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan membatasi
pergaulannya.
Menghormati
dan patuh kepada kedua orang tua dan orang dewasa
lainnya.
Al-Ghazali menjelaskan: “sangat
penting sekali jikalau anak itu diajarkan bagaimana ia harus patuh kepada kedua
orang tuanya, guru, juga setiap orang yang lebih tinggi usianya daripada anak
itu sendiri, tanpa memandang apakah orang tua itu masih sekeluarga dengannya
atau orang lain. Suruhlah anak itu memandang anak itu dengan mata penghormatan
dan sikap memuliakan sebagaimana mestinya dan dihadapan mereka janganlah
dibiarkan main-main. Biasakanlah anak itu mendengar ucapanucapan yang baik
diwaktu orang lain yang usianya lebih tua dari padanya, dan hendaklah ia
dibiasakan suka menghormati dan meluaskan tempat duduk untuknya dan boleh saja
ia duduk dihadapannya untuk belajar kesopanan.”
(1) Merendahkan diri dan lemah lembut.
(2) Membentuk sikap dermawan.
(3) Membatasi pergaulan anak.
Al-Ghazali memberikan
nasehat-nasehat: “maka bergaul dengan kawan yang dianggap jahat, buruk dan
tidak sopan wajib dilarang sama sekali, karena akan dapat mempengaruhi anak
yang baik, dan hal ini pasti menjalar dan ditirukan.”
Prinsip-prinsip moral dipelajari
dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan
bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan.
Berdasarkan pendapatnya ini, dapat dikatakan bahwa akhlak yang dikembangkan
AlGhazali bercorak teleologis (ada
tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengaca kepada akibatnya. Corak etika
ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan
di akhirat, dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa
yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau
menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadah seperti shalat dan
zakat adalah amal baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik atau buruk
berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang
ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Mengenai tujuan pokok etika / moral
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhluq bitakhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah,
atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu
bishifatirrahman ala thaqalil-basyariyah. Maksud semboyan itu ialah agar
manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan sifat-sifat keTuhanan
seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan
manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan
prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Dalam hal ini beliau sama sekali tidak cocok dengan filsafat
klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi
pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap
materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
D. Ibnu Rusyd
1.
Riwayat
Hidup Ibu Rusyd
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad
Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia
terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd.
Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di
ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan
terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek
dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M
diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang
luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua
Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Dalam buku karangan Nurcholis
Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk
Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh
orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi
dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian
nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf
konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui
asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian
berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”,
huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian,
rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d”
dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf
”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga
Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam
keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti,
Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang
dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga
mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu
pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara
keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville
terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi
saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di
negeri-negeri Islam Timur.
Sebagai seorang yang berasal dari
keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia
diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565
H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana,
iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana
di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai
pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub
al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana
tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan
antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum
ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan
oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke
suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum
filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum
fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana
dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.
2.
Karya-karya Ibu Rusyd
Sebagai seorang filsafat Islam di
dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam
tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah
filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
a)
Tahafut
at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir
keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl
dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang
dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut
juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai
akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga
para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah
imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan
demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti
halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk
membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.
b)
Fash
al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama).
c)
Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para
ahli ilmu kalam dan sufi.
d) Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).
3.
Pemikiran Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles
tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof
Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau
komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran
Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan
nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir
martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang
menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak
sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa
persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan
unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh
karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat
Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk
menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun
557-559 H.
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd
sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor
dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan
tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim
besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
a)
Pemikiran
Epistemologi
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini,
ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan
dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud
yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai
sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna
pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin
sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam
banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya
nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam
pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa
kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai
berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan
diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang
ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya
memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin
filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/
meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa
dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam
dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam
menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn
Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
(1)
Lewat
metode al- Khatabiyyah (Retorika).
(2)
lewat
metode al-Jadaliyyah (dialektika).
(3)
Lewat
metode al-Burhaniyyah (demonstratif).
Pertama, Metode Khatabi digunakan
oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang
yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada
seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria
pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh
mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara
alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan
oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara
alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir
secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak
layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik
terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani
diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran .
Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan
pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan
ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’:85
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
Çyr9$#
( È@è%
ßyr9$#
ô`ÏB
ÌøBr&
În1u
!$tBur
OçFÏ?ré&
z`ÏiB
ÉOù=Ïèø9$#
wÎ)
WxÎ=s%
ÇÑÎÈ
85. dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Allah SWT tidak menjelaskan
pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai
sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah
dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode
itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan
kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan
metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn
rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan
pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode
ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an
kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan
Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu
tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas
untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al
qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika
terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif
pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki
keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani,
maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri
didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang
keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik)
dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz.
Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena
adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau
faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz
dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan
bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan
menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter
dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan
bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup
mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm)
untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
b)
Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat
posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”.
Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang
ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan
Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan
dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak
Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di
jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan,
golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah,
masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama
lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai
denngan kepercayaan mereka.
Dalam pembuktian terhadap Tuhan,
Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
(1) Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan
adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh
beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah
digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam
berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang
khusus yang terpelajar.
(2) Dalil ‘inayah al-Ilahiyah
(pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan
dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan
manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua,
kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj
diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung
dalil tersebut, diantaranya QS. Al-Naba’:6-7.
óOs9r&
È@yèøgwU
uÚöF{$#
#Y»ygÏB
ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur
#Y$s?÷rr&
ÇÐÈ
6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,
7. dan gunung-gunung sebagai pasak?,
(3) Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini
didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada
kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan
padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai
bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu
siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib
mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan
hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, al-Hajj:73
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
z>누
×@sWtB
(#qãèÏJtGó$$sù
ÿ¼ã&s!
4 cÎ)
úïÏ%©!$#
cqããôs?
`ÏB
Èbrß
«!$#
`s9
(#qà)è=øs
$\/$t/è
Èqs9ur
(#qãèyJtGô_$#
¼çms9
( bÎ)ur
ãNåkö:è=ó¡o
Ü>$t/%!$#
$\«øx©
w
çnräÉ)ZtFó¡o
çm÷YÏB
4 y#ãè|Ê
Ü=Ï9$©Ü9$#
Ü>qè=ôÜyJø9$#ur
ÇÐÌÈ
73. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.
(4) Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal
dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan
tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil
ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu
berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak
pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak
pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada
sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan
oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
(5) Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn
Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam
realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus
menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak
pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan
dua jenis ilmu itu.
c) Tanggapan Terhadap Al-Ghazali
Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak
orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya
berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul
Tahafutut Falasifah. Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat
ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh
al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd
menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga
mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya
memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua
pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali adalah sebagai golongan
filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah
satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita
tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam
buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas
akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Melalui buku Tahafut al-Falasifah
(Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap
para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali,
dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui
perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.
Sehubungan serangan dan pengkafiran
Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran
tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut
(Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:
(1)
Alam
qadim (tidal bermula).
(2)
Keabadian
(abadiah) alam, masa dan gerak.
(3)
Konsep
Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan
ini bersifat metaforis.
(4)
Demonnstrasi/pembuktian
eksistensi Penciptaan alam.
(5)
Argumen
rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud.
(6)
Penolakan
akan sifat-sifat Tuhan,
(7)
Kemustahilan
konsep genus (jins) kepada Tuhan.
(8)
Wujud
Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
(9)
Argumen
rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).
(10) Argumen rasional tentang sebab dan
Pencipta alam (hukum alam tak dapat berubah).
(11) Pengetahuan Tuhan tentang selain
diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal.
(12) Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui
diri-Nya sendiri.
(13) Tuhan tidak mengetahui perincian segala
sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
(14) Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi
Tuhan dengan gerak putarnya.
(15) Tujuan yang menggerakkan.
(16) Jiwa-jiwa langit mengetahui
partikular-partikular yang bermula.
(17) Kemustahilan perpisahan dari sebab alami
peristiwa-peristiwa.
(18) Jiwa manusia adalah substansi spiritual
yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh
dan bukan tubuh.
(19) Jiwa manusia setelah terwujud tidak
dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan
kehancurannya.
(20) Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari 20 persoalan ini ada 3 hal
yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu: pertama, alam kekal
(qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf mengatakan (yang
juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama
dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan
tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
(1)
Pedapat
Filosuf tentang Qadimnya Alam
Namun menurut Al-Ghazali, pendapat
para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima
kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah
pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio
ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah
diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang
memunculkan bentuk kekafiran.
Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf
lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang
tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada
(al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam
bentuk lain.
Pendapat ini didukung oleh beberapa
ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari
sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuka pada
al-QS. Ibrahim ayat 47-48:
xsù
¨ûtù|¡øtrB
©!$#
y#Î=øèC
¾ÍnÏôãur
ÿ¼ã&s#ßâ
3 ¨bÎ)
©!$#
ÖÍtã
rè
5Q$s)ÏFR$#
ÇÍÐÈ tPöqt
ãA£t7è?
ÞÚöF{$#
uöxî
ÇÚöF{$#
ßNºuq»yJ¡¡9$#ur
( (#rãtt/ur
¬!
ÏÏnºuqø9$#
Í$£gs)ø9$#
ÇÍÑÈ
47. karena itu janganlah sekali-kali kamu
mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya
Allah Maha perkasa, lagi mempunyai pembalasan.
48. (yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya
(di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa.
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd,
mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada
wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan
Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya,
sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan
kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada
(al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang
memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru
itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut
filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu
(materi) yang sudah ada.
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah
keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang
berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah. Akan tetapi
yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.
Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa
terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini juga membantah
bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa
Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada
bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat
yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua
zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang
ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda
(alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum
adanya masa.
Dalam perdebatan di atas, kita akan
mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak akan pernah usai. Karena
dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf dan termasuk Ibn
Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran. Kemudian di sisi yang
lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menimbulkan
kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya,
sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah
perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut dijelaskan,
mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
(a) Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu
yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan
dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan,
udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
(b) Jenis Kedua, wujudnya tidak karena
sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini
sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti
pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wjud yang qadim
inilah yang disebut Allah.
(c) Wujud yang ketiga ini adalah wujud di
tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi
berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena
sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada
kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan
jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan
dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak
didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya
dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan
kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun
sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula
benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang
benar-benar baharu pasti bersifat rusak.
(2)
Pedapat
Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan
Masalah Kedua yang digugat oleh
Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf berpendirian bahwa
Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara
yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya
selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan
perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu.
Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya,
berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak
mungkin terjadi (mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah
tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang
diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi
pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali,
setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang
terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh
Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi,
Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu
Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah
seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu
bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu
Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin
mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd,
Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang
mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang
perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang
perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para
filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan
dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu
berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan
pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak
berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu
Pendapat kedua fiilosof ini sangat
menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu Oliver Leaman mencoba
memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa
pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan, yakni
pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan ”Tuduhan yang menarik
ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan kita dan
pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat jel;as
mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas
dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa
pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan
keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu
pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah
itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada
sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan
Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran
manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. Dia
(Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.
Jadi, dalam hal ini apakah benar
Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal pembacaan sehingga
menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak mememiliki argumen
lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak permasalahan yang dimaksud
Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada kesalahpahaman Al-Ghazali
sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd? Atau
sebaliknya?
(3)
Pedapat
Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani
Masalah yang ketiga yang digugat
oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para
filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal
tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati
akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan
merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan
demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula,
maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang
tidak sempurna.
Al-Ghazali tidak sepaham dengan
pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud
sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri
sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan “…adalah bertentangan dengan seluruh
keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak
akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan
yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan
bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu
benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu”.
Dalam membantah gugatan Al-Ghazali,
Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi
tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati,
maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan.
Adapun ungkapannya sebagai berikut: “… perbandingan antara kematian dan tidur
dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena
aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak
bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah
terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan
keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh
orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup
daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari
firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali
kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.
Perdebatan di atas sebenarnya
adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd
dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari
para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka
Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof.
Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi.
III.
PENUTUP
Pemikiran al-Farabi tentang filsafat adalah mengetahui
semua yang wujud karena ia wujud.(al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah).
Tujuan terpenting mempelajari filsafat adalah mengetahui tuhan, bahwa ia esa
dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada ,
bahwa ia mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan-Nya,
Seorang filosof atau al hakim adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang
zat yang ada dengan sendirinya (al-wajibli-dzatihi), Wujud selain Allah, yaitu
mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.
Bagi Ibnu
Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala
sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap
essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi
tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran
filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga
filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan
kacau (tahafut) dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran agama.
Jika
menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan
Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al-kindi,
al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran
agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari
ajaran agama Islam. Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan
penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap
dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf
Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan
dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang
menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah
al-Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.
Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga
Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat,
Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN
SUMUT, 1999.
Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Islam
and The World, Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979.
Abduh, Muhammad. Ilmu dan
Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah. Bandung;
Diponegoro, 1992.
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat
Hidup Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat
Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah,
Mesir: Dar al-ma’arif, t. t.
Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual
Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta: Pustaka pelajar,
1996.
Hanafi, Ahmad. Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd &
Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Leaman, Oliver. Pengantar
Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit
Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Muhammad Amin, Miska. Epistemologi
Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat
Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun. Fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976
----------------------,Islam Rasional,
Bandung: Mizan, 1995.
----------------------,”Al-Ghazali
dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh
Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, Jakarta: 26
Januari 1985.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi
al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973.
______________, Falsafah Ibnu
Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan: Jamia’ah Ummi Durman
al-Islamiyah, 1967.
Rusyd, Ibnu. Fashl al-Maqal wa
Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal Tahkik Muhammad
Immarat, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972
----------------. Kaitan Filsafat
dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996.
Syarif, M.M. History of Muslim
Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963.
Shiddiqi, Nauruzzaman. Tamaddum
Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Qasim, Mahmud. Falsafah Ibnu
Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi Sudan: Jamia’ah Ummi Durman
al-Islamiyah, 1967.
Zar, Sirajuddin, Filsafat
Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar