Rabu, 14 Desember 2016

PEMIKIRAN FILOSOF MUSLIM PERIODE KLASIK AL-FARABI, IBNU SINA, AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD



I.     PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang Filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambung di seluruh jagad raya ini.
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo, berarti Cinta (loving), sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi, Filsafat secara sederhana berati cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksud adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan  mendalam  sampai keakar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar. Secara simpel dapat dikatakan, Filsafat adalah hasil proses berfikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).
Pandangan bahwa Filsafat adalah usaha rasional dengan metode deduktif analogis menjadi paradigma yang digunakan untuk melihat Filsafat Islam. Karena itu, filsafat Islam hanya dinisbatkan pada Filosof Muslim. Dengan demikian Filsafat Islam terlihat tak berbeda dengan Filsafat Yunani atau Barat  dan menyunat segala yang tidak terkait dengan usaha rasional.
Jelaslah bahwa Filasafat Islam merupakan hasil pemikiran Umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam  ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur‘an dan Hadis. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan Ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India. Dengan kata lain Umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula perdaban bangsa sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani dan lainnya.


Dalam makalah ini, penulis memaparkan  pemikiran-pemikiran para filosof islam klasik, yaitu : pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.

II.       PEMBAHASAN
A.      Al-Farabi (870-950 M)
1.    Riwayat Hidup Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940 M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya, Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam pondasi filsafat. Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al- Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia belajar dengannya.

2.    Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al- Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.  Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah:
a)        Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
b)        Ihsha’ al-Ulum
c)        Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
d)       Kitab Tahshil al-Sa’adah
e)        ‘U’yun al-Masa’il
f)         Risalah fi al-Aql
g)        Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
h)        Risalah fi Masail Mutafariqah
i)          Al-Ta’liqat
j)          Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.

3.    Pemikiran Al-Farabi
Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang, seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
a)        Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
b)        Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.
c)        Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Masuknya anasir lain ke tubuh umat Islam tak terelakkan lagi bagi pemikir untuk memberikan pemecahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Al-Kindi memang telah berusaha menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat al-Farabi. Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam.
Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika, sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dalam sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat seluruhnya. Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk menjelaskan ini.
Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
a)        Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
b)        Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
c)        Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
d)       Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu:
a)        Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
b)        Pokok utama segala yang maujud
c)        Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat; Pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya.
Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi di kalangan umat Islam.
Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.
a)        Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable) dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’aqqul).
b)        Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identic dengan pikiran sehat (common sense- indria bersama).
c)        Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.
d)       Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.
e)        Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.
f)         Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena beberapa rintangan atau yang lainnya.

B.     Ibnu Sina
1.        Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma warait thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak  pernah dikecewakan. Sering-sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

2.        Karya-karya Ibnu Sina
Sepanjang hayatnya, Ibnu Sina banyak menulis berbagai macam karya yang berkaitan dengan bidang yang ditekuninya, baik dalam bentuk buku maupun risalah. Karya-karyanya itu antara lain :
a)        Qanun fi Thib
Kitab ini ditulis ketika ia menuntut ilmu di Rayy dan Hamadan. Qanun fi Thib yang dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan dengan nama The Canon of Medicine, berisi tentang berbagai macam cara penyembuhan dan obatobatan. Didalamnya tertulis jutaan item tentang pengobatan dan oabt-obatan. Karena itu, ada pula yang menamakan kitabnya ini sebagai Ensiklopedia Pengobatan.
b)      Al-Magest
Buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya, bantahan terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.

c)      Asy-Syifa
Dalam buku Asy-Syifa ini, Ibnu Sina juga menuliskan tentang masalah penyakit dan pengobatan sekaligus obat yang  dibutuhkan berkaitan dengan penyakit bersangkutan. Sama seperti Qanun fi Thib, kitab Asy-Syifa ini juga dikenal dalam dunia kedokteran sebagai Ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Kitab ini terdiri dari 18 jilid.
d)     De Conglutineation Lagibum
Kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi.

3.        Pemikiran Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak  memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat filosof modern.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan-akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat–sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a)        Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b)        Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a)        Jiwa tumbuh - tumbuhan dengan daya - daya :
(1)     Makan (nutrition)
(2)     Tumbuh (growth)
(3)     Berkembang biak (reproduction)
b)   Jiwa binatang dengan daya - daya :
(1)     Gerak (locomotion)
(2) Menangkap (perception) dengan dua bagian :
(a)      Menangkap dari luar dengan panca indera.
(b)     Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
(3) Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
(4) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
(5) Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
(6) Estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
(7) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c)      Jiwa manusia dengan daya-daya :
(1)     Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
(a)      Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
(b)     Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
(c)      Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
(d)     Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol- simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi-memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

C.    Al-Ghazali
1.        Riwayat Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi alGhazali adalah nama lengkap dari Imam al-Ghazali. Lahir di Thus, Khurasan, suatu tempat kira-kira sepuluh mil dari Naizabur, Persia. Tepatnya lahir pada tahun : 450 Hijriyah. Wafatnyapun di negeri kelahiran tersebut, pada tahun 505 Hijriyah.
Di masa hidupnya, Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ahli keTuhanan dan seorang filosof besar. Disamping itu juga masyhur sebagai seorang ahli fiqih dan tasawuf yang tidak ada tandingannya dizaman itu, sehingga karya tulisnya yang berupa kitab “IHYA’ ‘ULUMUDDIN” dipakai oleh seluruh dunia Islam hingga kini.
Ayahnya tergolong orang yang shaleh dan hidup secera sederhana. Kesederhanaanya dinilai dari sikap hidup yang tidak mau makan kecuali atas usahanya sendiri. Ayahnya pada waktu senggang sering berkesempatan berkomunikasi dengan ulama pada majelis-majelis pengajian. Ia amat pemurah dalam memberikan sesuatu yang dimiliki kepada ulama yang didatangi sebagai rasa simpatik dan terima kasih. Sebagai orang yang dekat dan menyenangi ulama’, ia berharap anaknya kelak mejadi ulama’ yang ahli agama serta member nasehat pada umat.
Al-Ghazali, selain mendapat bimbingan dari ayahnya, dibimbing pula oleh seorang sufi kenalan dekat ayahnya. Disamping mempelajari ilmu tasawuf dan mengenal kehidupan sufi, beliau juga mendapat bimbingan studi al-Qur’an dan hadits, serta menghafal syair-syair. Ketika sufi pengasuh AlGhazali merasa kewalahan dalam membekali ilmu dan kebutuhan hidupnya, ia dianjurkan untuk memasuki salah satu sekolah di Thus dengan beasiswa.
Pengembaraan Al-Ghazali dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun, Al-Ghazali pergi ke Nisabur, dan berguru pada al-Juwayni hingga ia berusia 28 tahun. Selama di madrasah Nisabur ini, Al-Ghazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat. Sepeninggal Al-Juwayni, Al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para sarjana disinilah beliau berjumpa dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran Al-Ghazali disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa oleh karena kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian, jadilah al-Ghazali “Imam” di wilayah Khurasan ketika itu.
Beliau tinggal di kota Mu’askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Ghazali dalam bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi “guru besar” teologi dan “rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada 1065.  Pengangkatan itu terjadi pada 484/Juli 1091. Jadi, saat menjadi guru besar (profesor), al-Ghazali baru berusia 34 tahun.

2.        Karya-karya Al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, namun disini hanya sebagian yang dapat di sebutkan yang mana di antaranya adalah:
a)        Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
b)        Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
c)        Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu).
d)       Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat.
e)        Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan;
f)         Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional).
g)        Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
h)        Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
i)          Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah).
j)          Ayyuha al-Walad.
k)        Al-Mustashfa.
l)          Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
m)      Mizan al-‘Amal.
n)        Mahakk al-Nazhar.

3.        Pemikiran Al-Ghazali
a)        Filsafat
Imam Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai filsafat, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang di anggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun disisi lain beliau menulis buku Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Pada prinsipnya, Al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa Al-Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti filsafat, tetapi tujuannya hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf, dan dalam bentuknya ditujukan kepada Al-Farabi dan Ibn Sina.
Kritik terhadap para filsuf yang dilakukan oleh Al-Ghazali di dasarkan pada alasan berikut. Pertama. Al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat, kecuali setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak disebut sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyatannya dalam Al-Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak akan bisa membongkar kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai bukti penguasaan Al-Ghazali terhadap filsafat adalah buku Maqashid Al-Falsafah (Maksud-maksud Para Filsuf) yang oleh Al-Ghazali dimaksudkan sebagai pengantar terhadap Tahafut, di samping buku-buku yang lain. Kedua, beliau mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang menurutnya (bisa) membahayakan Islam. Musuh Al-Ghazali yang lain adalah aliran kebatinan. Untuk menghadapi mereka, Al-Ghazali menulis lebih dari satu kitab di antaranya adalah Fadhaih Al-Bathiniyah (Keburukan-keburukan Aliran Kebatinan), dan Mawahim Al-Bathiniyah (Prasangka-prasangka Kebathinan). Aliran ini lebih berbahaya daripada filsafat karena mereka-sebagaimana disitir Al-Ghazali dan Ibnul Jauzi menggunakan Islam sebagai kedok, padahal keyakinan dan prilaku mereka yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Kalau filsafat hanya berada di menara gading dan bersifat elitis, aliran kebatinan bisa merasuki masyarakat luas dalam berbagai bentuk sesuai dengan yang dirasukinya.
Tuhan, kehendak tertinggi dan obyek cinta tertinggi, ideal bagi diri manusia, dipahami Al-Ghazali sebagai realitas akhir yang benar-benar mandiri. Tuhan ada dengan sendirinya dan bebas dari segala sifat antropormorfostik. Tuhan sadar dan memiliki kesadaran dengan sendirinya, dan kesadaran-Nya meliputi pengetahuan terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi atau bisa menjadi. Tuhan bukanlah sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri Tuhan. Dia adalah satu-satunya sebab sejati.
Hubungan antara Tuhan dengan alam semesta dipahami Al-Ghazali sebagai hubungan identitas sejati tetapi dengan perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari Tuhan seperti mengalirnya sungai. Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti. Maksud yang mendasarinya adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya Al-Ghazali meyakini kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab sangat diperlukan, tetapi akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi segala akibat. Selain Tuhan, sama sekali tak ada satupun wujud yang memiliki perbuatan. Dunia dan segala peristiwa di dunia dipandang sebagai mukjizat abadi. Semua obyek di dunia bukan saja telah diciptakan oleh Tuhan, tetapi dari waktu ke waktu selama obyek-obyek itu ada, semuanya diciptakan atau dipertahankan eksistensinya melalui perbuatan pribadi Tuhan secara langsung. Maka Tuhan menciptakan segalanya dalam suatu rangkaian tanpa akhir dengan cepat dan Dia menciptakan setiap kondisi dan situasi baru yang dibutuhkan oleh perubahanperubahan di dunia ini. Andaikan Tuhan menghentikan aktivitas-Nya mencipta, dunia serentak akan lenyap eksistensinya. Dalam realitas, tidak ada sesuatu pun seperti alam. Esensi benda sesungguhnya ada dalam Wujud tertinggi. Sebab-akibat adalah ciptaan langsung Tuhan dan perbuatan-Nya. Keterkaitan wajib hanya bisa dipahami sebagai sesuatu bergantung kepada kehendak Tuhan. Tuhan berkehendak bahwa kita, diri-diri yang terbatas ini, mesti membayangkan sebuah hubungan antara dua peristiwa. Di luar ini, kausalitas tidak berarti.



b)        Tasawuf
Dalam pandangan Al-Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian penting, Pertama mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian Kedua mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu tasawuf yang mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diuraikan dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun menjadi empat bab utama dan masing-masing bab utama dibagi lagi kedalam sepuluh fasal keempat bab utama itu adalah pertama tentang ibadah, bab kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat, bab utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang mencelakakan, dan bab utama keempat berkenaan dengan maqamat dan ahwal.
Menurut Al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itulah, maka Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun disisi Tuhan.
Menurut Al-Ghazali, hati (qalbu) ibarat cermin yang mampu menangkap ma’rifat keTuhanan. Kemampuan hati tersebut tergantung pada bersihnya dan beningnya hati itu sendiri. Apabila ia dalam keadaan kotor atau penuh debu dosa maka ia tidak akan bisa menangkap ma’rifat itu.
Metode pencapaian yang digunakan adalah metode kasyf . Dengan kasyf yaitu terbukanya dinding yang memisahkan antara hati dengan Tuhan karena begitu bersih dan beningnya hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki. Ibarat seorang, bukan hanya mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia sudah berada dalam rumah itu menyaksikan dan merasakannya.
Di bidang tasawuf, Al-Ghazali dianggap sebagai penengah dalam mengartikulasikan konsep tasawuf dan syari’at. Sebab, kalangan muslim sendiri masih terjadi pertentangan antara kajian yang dilakukan oleh para sufi dan ulama fikih. Kajian mengenai ilmu bathin sebenarnya pernah dialami AlGhazali dan diungkapkan melalui ritual ibadah yang dilakukannya.

c)        Kalam
Sebagai salah satu tokoh Al-Asy’ariyah pada generasi kelima, AlGhazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
Qadim alam yang dikemukakan oleh para filosof merupakan salah satu masalah yang sangat ditentang oleh Al-Ghazali, bahkan beliau mengkafirkan para filosof karena menganggap alam qadim. Menurut Al-Ghazali, kalau alam qadim berarti tidak ada arti Tuhan mencipta karena Tuhan dan alam semesta sama qadim. Lagi pula, kalau alam hanya dipahami lewat sebab akibat, Tuhan sebagai pencipta tidak dapat dibuktikan. Teori emanasi, demikian Al-Ghazali memberi kesan bahwa alam terus berproses tanpa henti-hentinya. Hal ini akan mengakibatkan bahwa materi itu sudah ada sejak qadim. Padahal, menurut AlGhazali, alam diciptakan Tuhan dari tidak ada pada waktu yang lalu secara terbatas, baik dalam bentuk maupun materi.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawah kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu. Demikian juga halnya dengan masalah mana yang baik dan mana yang buruk menurut Al-Ghazali akal tidak dapat mengetahuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perbuatan baik kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah akhirat yang hanya diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya diketahui melalui wahyu.



d) Moral / Akhlak
Al-Ghazali memberikan sebuah definisi terhadap akhlak / moral sebagaimana berikut, “Akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan ika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”
Al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan moral yang utama adalah dengan cara berperilaku baik. Artinya, membawah manusia pada tindakantindakan yang baik. Al-Ghazali menetapkan bahwa mencari moral dengan perantaraan bertingkah laku moral merupakan korelasi yang menakjubkan antara kalbu dengan anggota tubuh. Untuk itu al-Ghazali menyusun argumentasi sebagai berikut: “Setiap sifat yang nampak pada kalbu akan memancarkan pengaruhnya ke dalam semua anggota tubuh. Sehingga anggota tubuh tidak bisa bergerak kecuali harus sesuai dengan pengaruh tersebut. Dan setiap aksi harus berjalan pada anggota tubuh yang daripadanya suatu pengaruh naik ke kalbu. Sebagai bukti, ialah bahwa orang yang hendak menjadikan kecerdikan menulis sebagai sifat psikologis bagi dirinya maka dia harus membimbing tangan seperti yang dilakukan oleh seorang penulis yang genius dan mengkontinyukannya dalam waktu yang lama, menirukan tulisan yang baik hingga menjadi sifat yang mesti bagi dirinya, setelah pada mulanya dia rasakan sulit”.
Penggerak utama dalam sebuah tindakan dalam pandangan Imam AlGhazali memang nampak pada sebuah hati terlebih dahulu, yang artinya apabila segumpal daging itu baik maka baiklah semuanya. Sebagaimana seorang remaja saat ini yang seharusnya mendapatkan bimbingan hati mulai dari kecil tampaknya tidaklah didapatkan dalam dirinya. 
Al-Ghazali membagai dalam sebuah tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
(1)     mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilaku orang yang mempelajarinya.
(2)     Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.
(3)     Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Moralitas yang jelek, menurut Al-Ghazali adalah penyakit kalbu. Jika ignorasi diobati dengan cara belajar, sakit bakhil diobati dengan cara berlapang dada, maka moral yang jelek harus diobati dengan kesungguhan. Itulah atensi yang mengagumkan dari Al-Ghazali. Sebab, setiap jiwa punya kondisi dan tempramen khusus. Jika dalam mendidik jiwa tidak menjaga situasi, tempramen dan kesiapan psikologis, maka sang pendidik tidak akan berhasil mencapai tujuannya. Demikian pula para propagandis moral tidak akan berhasil mencapai cita-citanya.
Dewasa ini pengertian kenakalan remaja berkembang lebih luas lagi, yakni meliputi pengertian yuridis, sosiologis, moral, dan susila. Perbuatanperbuatan tersebut menyalahi undang-undang yang berlaku sebagai hukum positif, melawan kehendak masyarakat, tidak mengindahkan nilai-nilai moral dan anti susila. Akibatnya perbuatan-perbuatan anak tersebut sering menimbulkan keresahan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain. Gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari perbuatan-perbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain ditengah masyarakat, antara lain :
(1)     Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan, dan penggelapan.
(2)     Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan dan penganiayaan.
(3)     Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tindak susila, yakni: pemerkosaan dan perzinahan.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama, yang dibentuk sejak si anak lahir, akan menjadi dasar pokok dalam pembentukan kepribadian si anak. Apabila kepribadiannya dipenuhi oleh nilai-nilai agama, maka akan terhindarlah dia dari kelakuan-kelakuan yang tidak baik. Cara mendidik anak dengan jalan memberi contoh langsung sangat berat untuk dilakukan para orang tua yang dangkal imannya, akan tetapi sangat mudah dan ringan bagi orang tua yang benar-benar beriman dan taat beribadah kepada Allah SWT. Cara ini memerlukan ketekunan dan control yang baik dari orang tua, juga menuntut tanggung jawab vertical maupun horizontal.
Moralitas itu tidak dapat terjadi, hanya melalui pengertian-pengertian tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan berangsur-angsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah si anak diberi pengertianpengertian tentang moral.
Umur remaja adalah umur peralihan dari anak menjelang dewasa, yang merupakan masa perkembangan terakhir bagi pembinaan kepribadian atau masa persiapan untuk memasuki umur dewasa, problemanya tidak sedikit. Di antara problema yang dulu dirasakan dan sekarang semakin tampak dengan jelas ialah :

(1)     Masalah hari depan
Setiap remaja memikirkan masa depannya, ia ingin mendapatkan kepastian, akan jadi apakah ia nanti setelah tamat. Kecemasan akan hari depan yang kurang pasti, itu telah menimbulkan problema lain, yang mungkin menambah suramnya masa depan remaja itu.
(2)     Masalah hubungan dengan orang tua
Sering kali terjadi pertentangan pendapat antara orang tua dan anakanaknya yang telah remaja atau dewasa. Kadang-kadang hubungan yang kurang baik itu timbul, karena remaja mengikuti arus mode seperti : rambut gondrong, pakaian kurang sopan, lagak lagu terhadap orang tua kurang hormat.
(3)     Masalah moral dan agama
Kemerosotan moral disertai oleh sikap menjauh dari agama. Nilai-nilai moral yang tidak didasarkan kepada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat. Keadaan nilai-nilai yang berubah-ubah itu menimbulkan kegoncangan pula, karena menyebabkan orang hidup tanpa pegangan yang pasti. Nilai yang tetap dan tidak berubah adalah nilainilai agama, karena nilai-nilai agama itu absolut dan berlaku sepanjang masa, tidak terpengaruhi oleh waktu, tempat, dan keadaan.
Adat kebiasaan, menurut al-Ghazali berpengaruh besar dalam memproses pembentukan moral, hingga moral dengan hukum  kebiasaan menjadi istilah tentang suatu kondisi yang ada di dalam jiwa secara stabil yang dari padanya perbuatan-perbuatan keluar secara mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan yang teliti. Sedangkan moral merupakan istilah mengenai kondisi dan potret batin dari jiwa. Oleh sebab itu, kita melihat AlGhazali menekan aspek-aspek ini yang berkaitan dengan moral, karena AlGhazali berkeyakinan bahwa aspek-aspek itu akan menjadi langkah awal bagi tindakan yang lebih jelek dan akan menjadi bentuk yang imperative.
Al-Ghazali menetapkan bahwa ketika jiwa secara adat bergelimang dan cenderung kepada hal yang bathil, maka bagaimana jiwa itu tidak akan menikmati kebenaran andaikata didatangkan kepadanya dan harus dikontinyukan. Sebagaimana Al-Ghazali menetapkan bahwa jiwa dengan fitrahnya adalah baik dan cenderung kepada kebaikan. Sedangkan kecenderungan ini kepada tindakan yang jelek adalah persoalan yang berada di luar batas dari pengertian tempramen, seperti kecenderungan untuk makan tanah liat.
Al-Ghazali beralih pada pemerincian potensi-potensi psikologis yang harus dididik. Oleh Al-Ghazali potensi psikologis yang harus disimpulkan menjadi tiga potensi fundamental: potensi kognitif, potensi syahwat, potensi marah.
(1)     Potensi Kognitif : jika potensi ini dididik semestinya, maka akan menghasilkan hikmah yang disebutkan oleh Allah sebagai berikut: “Barang siapa diberi hikmah, berarti diberi banyak kebaikan”. Sebagai hasilnya, dia mudah untuk membedakan antara keyakinan-keyakinan yang benar dan yang salah, perkataan dan tindakan yang baik dan buruk.
(2)     Potensi Syahwat : dengan memperbaiki potensi syahwat ini, maka tercapai sifat iffah (bersih diri) sehingga jiwa mampu membantai kejelekankejelekan baik yang nampak maupun tidak nampak mata, menghindari kejelekan dan sekuat mungkin mendahulukan tindakan yang terpuji.
(3)     Potensi Marah : dengan menaklukan dan memperbaiki sifat ini akan menghasilkan sifat rendah hati yaitu menahan marah. Demikian pula, akan menghasilkan keberanian (Al-Syaja’ah), yaitu menahan jiwa dari rasa takut dan semberono.
Al-Ghazali berpendapat mengenai akhlak adalah gambaran atau perwujudan dari sikap jiwa seseorang, dari padanya muncul perilaku dengan mudah dan otomatis tanpa berhajat kepada pikiran dan penundaan. Jika sesuatu yang muncul dari sikap jiwa itu adalah perilaku yang terpuji menurut akal dan agama, maka sesuatu yang muncul itu dikatakan akhlak yang baik. Dan jika perilaku yang muncul dari sikap jiwa itu adalah perilaku yang jahat, maka sesuatu yang muncul tersebut dikatakan akhlak yang buruk. Oleh karena itu yang pokok menurut Al-Ghazali, bukan masalah baik dan buruk itu sendiri. Tetapi bagaimana untuk melatih jiwa supaya mempunyai sikap, atau agar terbiasa siap dan rela berkorban sesuai dengan keyakinan, pendapat atau keyakinan yang tersembunyi dalam jiwanya. Serta sesuai dengan apa yang diharapkan.
Memang usia-usia remaja sangtlah perlu butuh sebuah pengawasan yang lebih dari orang tua dan juga lingkungannya, dalam membimbing dan mengarahkan prilaku mana yang baik dan buruk sehingga nantinya tidak salah melangkah agar kelak di masa depan para remaja tidak ada kata penyesalan yang berakibat pada putus asa dengan mengatakan “ya sudahlah kalau sudah begini mau bagaimana lagi”.
Al-Ghazali memandang manusia sebagai makhluk yang mulia, seluruh unsurnya adalah mutiara-mutiara. Diantara mutiara-mutiara itu ada yang paling cemerlang dan paling gemerlapan sehingga sangat menarik, yakni qalb atau jiwa. Qalb sangat berharga, bersih dari semua ukiran dan gambaran, condong kepada semua yang dicondongkan kepadanya. Manusia sejak lahir di dunia ini menjadi amanat bagi ibu dan bapaknya. Al-Ghazali memandang manusia sebagai proses hidup yang bertugas dan bertujuan, yaitu: bekerja, beramal shaleh, mengabdikan diri dalam mengelola bumi untuk memperoleh kebahagiaan abadi sejak di dunia hingga di akhirat.
Mengenai kehidupan sosial dalam pendidikan sosial bagi anak-anak, AlGhazali memberikan petunjuk kepada kedua orang tua dan para guru umumnya, agar anak-anak dalam pergaulan dan kehidupannya mempunyai sifat-sifat yang mulia dan etika pergaulan yang baik, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan membatasi pergaulannya.  
Menghormati dan patuh kepada kedua orang tua dan orang dewasa
lainnya.
Al-Ghazali menjelaskan: “sangat penting sekali jikalau anak itu diajarkan bagaimana ia harus patuh kepada kedua orang tuanya, guru, juga setiap orang yang lebih tinggi usianya daripada anak itu sendiri, tanpa memandang apakah orang tua itu masih sekeluarga dengannya atau orang lain. Suruhlah anak itu memandang anak itu dengan mata penghormatan dan sikap memuliakan sebagaimana mestinya dan dihadapan mereka janganlah dibiarkan main-main. Biasakanlah anak itu mendengar ucapanucapan yang baik diwaktu orang lain yang usianya lebih tua dari padanya, dan hendaklah ia dibiasakan suka menghormati dan meluaskan tempat duduk untuknya dan boleh saja ia duduk dihadapannya untuk belajar kesopanan.”
(1)     Merendahkan diri dan lemah lembut.
(2)     Membentuk sikap dermawan.
(3)     Membatasi pergaulan anak.
Al-Ghazali memberikan nasehat-nasehat: “maka bergaul dengan kawan yang dianggap jahat, buruk dan tidak sopan wajib dilarang sama sekali, karena akan dapat mempengaruhi anak yang baik, dan hal ini pasti menjalar dan ditirukan.”
Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan. Berdasarkan pendapatnya ini, dapat dikatakan bahwa akhlak yang dikembangkan AlGhazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengaca kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadah seperti shalat dan zakat adalah amal baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Mengenai tujuan pokok etika / moral Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhluq bitakhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bishifatirrahman ala thaqalil-basyariyah. Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan sifat-sifat keTuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini beliau sama sekali tidak cocok dengan filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

D.    Ibnu Rusyd
1.        Riwayat Hidup Ibu Rusyd
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan  Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”, huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.
Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.

2.        Karya-karya Ibu Rusyd
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
a)        Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.
b)        Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama).
c)        Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
d)       Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).

3.        Pemikiran Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
a)        Pemikiran Epistemologi
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
(1)     Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika).
(2)     lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika).
(3)     Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif).
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’:85
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
85. dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

b)        Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan mereka.
Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
(1)     Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.
(2)     Dalil ‘inayah al-Ilahiyah  (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya QS. Al-Naba’:6-7.
óOs9r& È@yèøgwU uÚöF{$# #Y»ygÏB ÇÏÈ   tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ  
6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,
7. dan gunung-gunung sebagai pasak?,
(3)     Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj:73
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããôs? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs $\/$t/èŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o Ü>$t/%!$# $\«øx© žw çnräÉ)ZtFó¡o çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$# Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ  
73. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.



(4)     Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
(5)     Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
c)      Tanggapan Terhadap Al-Ghazali
Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah.  Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.
Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:
(1)          Alam qadim (tidal bermula).
(2)          Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak.
(3)          Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan ini bersifat metaforis.
(4)          Demonnstrasi/pembuktian eksistensi Penciptaan alam.
(5)          Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud.
(6)          Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,
(7)          Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
(8)          Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
(9)          Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).
(10)      Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak   dapat   berubah).
(11)      Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal.
(12)      Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
(13)      Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
(14)      Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya.
(15)      Tujuan yang menggerakkan.
(16)      Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula.
(17)      Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
(18)      Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh.
(19)      Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
(20)      Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
(1)          Pedapat Filosuf tentang  Qadimnya Alam
Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.
Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuka pada al-QS. Ibrahim ayat 47-48:
Ÿxsù ¨ûtù|¡øtrB ©!$# y#Î=øƒèC ¾ÍnÏôãur ÿ¼ã&s#ßâ 3 ¨bÎ) ©!$# ÖƒÍtã rèŒ 5Q$s)ÏFR$# ÇÍÐÈ   tPöqtƒ ãA£t7è? ÞÚöF{$# uŽöxî ÇÚöF{$# ßNºuq»yJ¡¡9$#ur ( (#rãtt/ur ¬! ÏÏnºuqø9$# Í$£gs)ø9$# ÇÍÑÈ  
47. karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa, lagi mempunyai pembalasan.
48. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.
Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran. Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
(a)      Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
(b)     Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.
(c)      Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.
(2)              Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan
Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu
Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan ”Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran manusia “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.
Jadi, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?
(3)     Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani
Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.
Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan “…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu”.
Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut: “… perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.
Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi.

III.         PENUTUP
Pemikiran al-Farabi tentang filsafat adalah mengetahui semua yang wujud karena ia wujud.(al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah). Tujuan terpenting mempelajari filsafat adalah mengetahui tuhan, bahwa ia esa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada , bahwa ia mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan-Nya, Seorang filosof atau al hakim adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang zat yang ada dengan sendirinya (al-wajibli-dzatihi), Wujud selain Allah, yaitu mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut) dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran agama.
Jika menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al-kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah al-Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.
Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 1999.
Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Islam and The World, Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979.
Abduh, Muhammad. Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah. Bandung; Diponegoro, 1992.
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Mesir: Dar al-ma’arif, t. t.
Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976
----------------------,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
----------------------,”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973.
______________, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967.
Rusyd, Ibnu. Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal Tahkik Muhammad Immarat, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972
----------------. Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963.
Shiddiqi, Nauruzzaman. Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Qasim, Mahmud. Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967.
Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

0 komentar:

Posting Komentar